Isi Hati : Haura Hayya Nabila

264 13 1
                                    

Awalnya tak ada kata ekspektasi akan dirimu yang lebih dulu menghubungiku. Kukira itu hanya sebatas butuh, karena nyatanya kamu mengatakan alasannya dengan jelas.

Aku bertahan untuk prinsip yang kepegang. Mengingat kembali dulu hati ini pernah patah. Hanya karena terlena dan percaya akan ucap lelaki.

Batasan sudah kubangun jelas. Kukatakan, "katakan yang penting saja, tak perlu membahas yang lain." Tapi, dengan tenangnya kau jawab, "Atas saran dari temanku, lebih baik bicarakan hal lain juga."

Awalnya aku bisa tahan. Membatasi dirimu yang benar-benar kurang kerjaan. Dengan ulahmu yang benar-benar memusingkan.

Nyatanya pertahananku goyah. Dirimu dan perkataan unikmu. Dirimu dan bahasan itu. Dirimu dengan prinsip yang hampir sama denganku. Dirimu yang paham akan bagaimana diriku.

Kau memang bukan lelaki bermulut manis seperti kebanyakan lelaki lain. Yang bahkan setiap saat menyerukan gombalan maut. Bukan, kau justru melontarkan gagasan, pemikiran dan curahan yang cukup membuatku terkesan. Kau dengan perkataan. "Gak papa, nanti aku ajak kamu ngobrol."

Kau dengan segala perhatian yang sayangnya benar-benar menyebalkan. Sampai akhirnya aku tersadar. Kala jarak membentang. Hubungan ini hanya sementara. Padahal kau sukses membuat hatiku bahkan prinsip keistiqamahanku porak-poranda.

Bahkan dipertemuan setelah hampir tahunan itu.

Baiklah biar kukatakan jelas. Kau memang lelaki berbeda. Dari sekian lelaki yang pernah terlibat rasa. Dulu, aku menyesali dan prustasi. Tapi, kini aku tak lagi. Ya, tak lagi sekacau saat dulu kau pergi. Kutegaskan aku sudah tak apa-apa.

Kujabarkan, setelah sekian tahun lamanya. Aku mengerti. Arti dari dirimu yang hadir di hati. Dirimu yang sempat membuatku jatuh hati. Itu semata sebatas ujian dari Sang Pemilik Hati. Iya, Allah subhanahu wata'ala.

Darimu aku belajar bahwa memang menaruh harap pada manusia tak akan berakhir bahagia. Justru kecewa yang ada.

Darimu aku belajar untuk meneguhkan kembali prinsip istiqamah yang sempat terganggu dan hancur karenamu. Menjadikanku lebih waspada atas segala perhatian lelaki diluaran sana.

Darimu aku belajar bahwa aku harus percaya diri. Lebih banyak bersosialisi. Seperti katamu, "Kau perlu bersosialisasi. Karena pasti dikeadaan tertentu kau tetap butuh teman walau untuk sekadar hal sepele."

Darimu aku belajar bahwa tak perlu mempercayai sepenuhnya. Ya, percaya akan 'lelaki berbeda' jika pada nyatanya diri ini masih belum siap ke jenjang pernikahan di sana.

Terakhir, aku katakan sekali lagi. Aku sudah cukup berlapang dada. Sudah cukup ikhlas akan kepergian dirimu. Menjadi asing dan tak lagi saling menyapa.

Kutulis ini, ketika aku memang sudah tak lagi memiliki rasa. Ya, rasaku padamu sudah tak ada. Sudah hilang, bersama dengan panjat doa. Bersama dengan rasa ikhlas menerima. Meski memang kesan tentangmu masih ada.


Untukmu

Raka Praja Aditya

-oOo-

Wkwk me as Haura. Itu emang real dia bilang begitu. Sedikit banyaknya aku berterimakasih sih sama dia. Karena beberapa hal baik berubah dalam diri ini karena dia.

Last part sih ini udah. Tiba-tiba pengen nulis begini aja.

Badai Rasa [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang