28

2.1K 210 9
                                    

Belum sempat Gracia mengeluarkan jawabannya, pintu apartemen Chika terbuka dan hidung Gracia dapat mencium wangi khas parfum Shani. Benar saja, perempuan itu muncul dari balik pintu sambil berbicara dan tertawa kecil di ponsel.

"Hmm, iya Kak aku sudah sampai di apartemen Chika." ujar Shani. Kakinya melangkah ringan menuju dapur, tempat Gracia, Chika dan Desy duduk bersama. Ia mendatangi mereka hanya sekadar untuk menyapa. Dan Gracia merasakan aliran darahnya mengalir deras sedangkan jantungnya seperti berhenti berdetak.

"Wajahnya tampak segar. Kurasa dia sudah menemukan makan siangnya." kata Chika

"Baik baiklah di sana, Kak. Kalau ada seseorang yang mengganggumu, hubungi saja aku. Aku tidak akan biarkan kulitmu disentuh oleh laki-laki hidung belang." lanjut Shani, yang tengah membuka jaketnya dan meletakkannya asal di atas sofa ruang tamu.

"Sepertinya dia menelepon Kakak kesayangannya." imbuh Desy sambil lagi lagi tersenyum kecil, senyuman yang hanya–dia–sajalah–yang–tahu–apa–maksudnya.

Gracia mengarahkan tatapannya ke Desy, mencerna ucapannya dan memandang punggung perempuan yang tengah menelepon itu. Kakak kesayangan Shani? Pikiran Gracia berkelebat dan wajah Yona muncul di alam bawah sadarnya.

Ia tersenyum kecut. Kakak kesayangan Shani siapa lagi kalau bukan Yona Vivi? Bukankah Jinan dan Sisca selalu berkoar koar hal itu?

"Aku mau istirahat dan setelah itu rehearsal. Kakak saja yang tutup duluan teleponnya." sambung Shani. "Ah, sebelumnya. Aku ingin minta sesuatu."

Ekor mata Gracia tetap memandang punggung Shani walaupun ia menundukkan wajahnya, jari-jemarinya menari di dalam gelas yang ada di hadapannya. Kedua telinganya terfokuskan pada pembicaraan yang dilakukan Shani daripada perbincangan yang dilakukan Chika dan Desy.

"Kiss me." dan setelahnya Shani masuk ke dalam salah satu kamar apartemen Chika

PRANG!!!

"Astaga Ci Gre!" pekik Chika dengan suara nyaring

Gracia tersentak kaget. Ia mengerjapkan kedua matanya, antara bingung dan baru kembali dari alam bawah sadarnya, seakan-akan baru tertampar oleh tangan yang tak terlihat. Gelas yang sejak tadi dimainkan oleh tangan Gracia terjatuh begitu saja ke lantai, pecah berkeping-keping, menaburkan serbuk kaca bening di sekitar area dapur.

"Ah maaf maaf." cicit Gracia. Ia mendorong kursinya dan langsung mengambil vacuum cleaner.

"Ci biarkan saja." cegah Chika. "Biar asistenku saja yang membersihkannya. Lebih baik kita menghindar saja."

"Gre coba lihat apa ada pecahan kaca yang menempel di kulitmu?" Tanya Desy dan ia langsung menuntun Gracia untuk duduk di atas sofa ruang tamu. Sedangkan Chika menelepon asistennya untuk segera ke apartemen.

✨✨✨

"Apa yang sebenarnya cici lamunkan?" Tanya Chika cemas bercampur kesal pada Gracia sembari mengobati luka di jari-jari Gracia yang tertancap pecahan kaca. Mereka berdua duduk di ruang tamu hanya berdua. Desy permisi untuk main games bersama Ara dan Jinan di dalam kamar.

"Tidak ada. Tanganku agak licin." jawab Gracia asal.

"Ck, cici sama sekali tidak bisa berbohong padaku. Kita sudah hampir sepuluh tahun berteman, jadi tidak ada gunanya cici menyembunyikan beberapa hal." tangkas Chika. Ia menatap tajam Gracia.

"Sepertinya ini sudah selesai." ujar Gracia. Ia menatap jari-jarinya dan menghela nafas pelan. "Kapan mereka akan rehearsal? Sepertinya aku harus memejamkan mata dulu selama beberapa belas menit."

"Ci Gre," panggil Chika pelan dan penuh penekanan. "Cici begitu peduli pada Ci Shani benarkan? Saking pedulinya cici sama sekali tidak sadar kalau cici suka padanya."

The Leader's SecretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang