12. Ketakutan Kirana

804 131 27
                                    

Deers, nggak nyangka ada yang baca cerita ini🙈 Paling seneng itu update di wp karena bisa baca komen reader. Jadi, pastikan kalian kasih jejak yak

💕💕💕

Kepala Kirana meneleng ke kiri dengan alis yang mengernyit. "Apa?" Kirana meyakinkan pendengarannya.

Bisma mendengkus, menahan tawa. "Kamu percaya?"

Seketika Kirana membeliak karena tersadar lagi-lagi dia tertipu oleh Bisma. "Nyebelin banget sih jadi orang. Aku serius!" 

Bisma terkekeh menyentil dahi Kirana yang membuat wanita setinggi 150 cm itu semakin memberengut. "Aku serius juga tentang tawaran itu."

"Tapi, kenapa?"

"Kenapa …?" Suara Bisma tercekat. Ucapannya terjeda.

Kirana masih menatap Bisma lekat, menanti kelanjutan kata yang menggantung. 

"Karena … kamu hamil dan keluargaku ingin anak itu tetap berhubungan erat dengan kami."

Kirana menelan ludah. Yang diutarakan Bisma memang alasan logis karena tidak mungkin ada alasan lain. "Mas Bisma nggak perlu khawatir. Lagian, dalam hal ini aku sudah berbuat kesalahan besar. Sudah seharusnya aku bertanggung jawab terhadap konsekuensi dari apa yang aku lakuin." 

Bisma tersenyum sendu, melenyapkan sorot jailnya. "Aku ngerti. Seperti yang aku bilang sebelumnya, sebenernya ini juga nggak gampang buatku. Kamu terbiasa sayang sama Bima. Dan, walaupun kami mirip … aku bukan Bima. Aku nggak mau jadi pelarian."

Mereka sama-sama membisu sesaat. Riuh air hujan yang menggerojok payung, mengisi keheningan mereka. Tatapan mereka saling beradu, seolah ingin menyelisik kedalaman hati masing-masing.

Pada akhirnya, Bisma mengangkat tangan yang terkepal ke depan mulut sambil berdeham. Dia mengerling ke arah Papa yang masih menatap mereka. "Kamu pasti tahu, apa yang terjadi pada kamu adalah pukulan telak buat Papa. Dalam ketegarannya, aku tahu beliau merintih. Bahkan beliau yang … sori … seorang pemuka agama dan mengenal hukum Tuhan, beliau tetap mengambil jalan pintas untuk menyelamatkan muka putrinya. Bila Papa mengatakan untuk menutupi aib keluarga … aku rasa salah. Beliau ingin kamu nggak dipermaluin. Beliau ingin melindungimu walau sebenernya hatinya juga ikut patah."

Kirana melengos, menatap pohon kamboja yang berderet di tepian jalan pemakaman. Sekali lagi, ucapan Bisma menohok batinnya. Dia paham, tidak mudah Papa menerima kenyataan ini. Dalam kondisi kalut, Papa yang bijak, tak lagi bisa menggunakan nalar. Beliau justru berusaha menghalalkan dosa yang dia buat dalam sebuah pernikahan. Untuk menyelamatkan putrinya … tapi menjerumuskan anak laki-laki orang lain.

"Aku paham itu. Tapi aku nggak bisa terima ide absurd Papa. Walau rasanya sekarang aku hampir gila, aku nggak mau dicap bener-bener gila dengan nikahi kembaran mantan calon suamiku yang nggak menghamili aku. Dalam sebuah janji pernikahan itu, nggak boleh ada unsur paksaan atau ketakutan. Kalau sampai itu terjadi, bukannya aku tambah dosa karena berjanji di depan Tuhan tapi bukan dari hati?" Suara Kirana bergetar, dengan pandangan yang mulai kabur karena bulir bening kembali menggenangi bola matanya.

"Makanya itu tawaranku masih berlaku. Aku mau menikahimu … setelah kita berproses bersama. Apakah aku memang sudah yakin untuk nggak bakal ngelepasin tanganmu? Dan apa tangan yang akan aku gandeng di altar nanti juga sudah mantap untuk melangkah bersamaku. Tadi Romo sempat memanggilku setelah misa arwah, beliau meminta kita menemukan 'jalan' sebelum memutuskan menikah," terang Bisma. 

"Jalan? Maksudnya?"

"Ya, kita harus sama-sama saling membuka diri. Aku mau nerima kamu dengan ikhlas, dan kamu juga gitu."

Hold My Hand (Completed-Pindah Ke KK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang