8. Insecure

883 130 33
                                    

Pagi, Deers. Makasih banget udah baca cerita2ku. Semoga kalian bisa terhibur di hari Jumat penuh berkat ini. Jangan lupa untuk tinggalin saweran vote n komen buat authornya biar semakin semangat nulisnya😘

💕💕💕

Tumis daun pepaya, tempe goreng, dan nila goreng yang sudah tersaji di meja makan, biasanya membuat nafsu makan Kirana meningkat. Namun, kali ini, makanan kesukaannya itu terlihat tak menarik karena sejak bangun pagi tadi, perutnya tak nyaman. Bahkan saat membaui uap nasi putih ketika Kirana mengambil nasi dari magic com, dia harus mengerutkan hidung.

"Kenapa, Mbak?" tanya Mama saat melihat wajah Kirana pucat dengan pipi menggelembung.

Kirana menggeleng. Dia pantang mengeluh setelah semua yang terjadi. Bukankah ini konsekuensi dari kesalahan yang dia lakukan?

"Mual?" Mama mengambil sesendok sayur di piring yang berisi nasi dua centong.

Anggukan kecil Kirana menjawab pertanyaan Mama.

"Nggak pa-pa. Itu biasa. Ntar kalau udah empat bulanan biasa lagi." Mama menyodorkan piring ke hadapan Papa.

Walau dia tak ada nafsu makan, tetap saja Kirana memaksakan diri untuk melahap makanan yang sudah dimasak Mama. Dia lalu bergabung dengan Mama dan Papa di sekeliling meja makan kaca itu

Biasanya saat sarapan, Kirana akan berceloteh panjang lebar seraya melahap makanan yang dia masak bersama Mama, sementara Papa akan menanggapi dengan komentar aneh yang membuat Mama terkekeh melihat interaksi suami dan putri sulungnya. Namun kali ini, tak ada percakapan renyah. Hanya suara denting sendok dan garpu yang sesekali beradu dengan piring yang memeriahkan waktu makan mereka.

Awalnya Kirana ingin menghindar makan bersama kedua orang tuanya, tapi di dalam rumah sederhana yang sempit itu, Kirana tak ada tempat untuk bersembunyi. Bahkan kamarnya pun sekarang tak lagi nyaman ditempati sejak Papa mencopot daun pintunya.

Dalam keheningan, tiba-tiba suara dehaman berat terdengar. Kalau sudah sepertinya, semua mata akan memandang ke arah Papa yang sudah meletakkan sendok dan garpu telungkup di atas piring yang telah kosong.

“Ran, Papa dengar dari Mama, kamu menolak Bisma?” tanya Papa tanpa basa-basi.

Makanan yang masih separuh di dalam mulut Kirana, seketika susah ditelan. Dia harus meraih gelas di sisi kanannya, untuk menggelontorkan semua makanan ke lambungnya. Sementara itu, Papa masih sabar menanti reaksi putrinya, hingga semenit kemudian Kirana mengangguk lemah.

Rahang Papa mengerat. “Kenapa?”

“Mas Bisma nggak berkewajiban untuk bertanggung jawab, Pa. Dia nggak ngelakuin apapun. Justru apa yang kita lakukan ini sangat nggak waras! Papa nggak sadar kalau Papa itu pemuka agama? Bisa-bisanya ngasih ide konyol itu!”

“Jangan bawa-bawa itu, Mbak!” Suara Papa terdengar berat. Kirana tahu, Papa memang jarang marah, tapi gadis itu ngeri bila amarah Papa meledak.

“Lalu … apakah tindakan kita bener, Pa? Kita sama aja penjahat yang menjebak masa depan Mas Bisma!” Nafsu makan Kirana kini sama sekali hilang. Walau dia tak berhak marah, kali ini dia harus meluruskan keadaan. Dia tidak ingin berbuat kesalahan lagi.

“Tanpa kamu beritahu, Papa pun tahu apa yang kita lakukan ini salah. Lantas, apa yang mau kamu lakukan? Melahirkan anak tanpa bapak?” Suara Papa sudah meninggi. Wajahnya pun perlahan memerah di wajahnya yang kuning.

Kirana menggeleng. Matanya memerah, tapi dia berusaha untuk tidak menitikkan air mata. “Kalau iya, Papa mau ngapain? Kiran berhak menentukan apa yang akan Kiran lakukan selanjutnya. Biar dosa ini, Kiran yang tanggung! Jangan libatkan Mas Bisma!”

Hold My Hand (Completed-Pindah Ke KK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang