13. Keputusan Para Orang Tua

734 134 26
                                    

Deers, makasih udah mampir di cerita ini. Boleh dong ngasih saweran vote n komennya. Semoga kalian terhibur.

💕💕💕

Kirana terdiam. Dia membalas tatapan teduh Papa yang berduka. Sama seperti dirinya, Papa dihantam gelombang kekecewaan saat Kirana jatuh dalam dosa dan dalam waktu yang bersama separuh nyawanya menghilang.

"Pa, kenapa Papa memilih Mama?" Kirana tidak pernah mempertanyakan hal seintim itu dengan Papa. Walau Mama lebih galak, tapi Mama tetap menjadi tempat curhat terbaik.

"Karena Papa mencintai Mama. Apa alasan itu nggak kuat?" tanya Papa.

"Cinta karena apa?"

"Cinta nggak butuh alasan. Cinta datang dengan sendirinya, ketika kita bertemu dengan orang yang tepat. Coba kalau Papa cinta dengan alasan Mama imut, trus setelah melahirkan kalian mama kalian jadi bulat kaya bola. Apa cinta Papa jadi luntur karena alasan dulu udah nggak ada? Yang ada, Papa tambah cinta sama Mama karena dari rahimnya lahir malaikat-malaikat kecil kami."

"Yang ada Mama ngelahirin satu setan kecil!" dengkus Kirana.

Derai tawa Papa memecah sunyi malam. "Kamu tahu cerita Papa dulu bertemu Mama?" 

Walau Kirana mengangguk Papa tetap bernostalgia dengan kenangannya. Ya, sekarang malam Papa akan menjadi sepi. Kini lelaki itu hanya bisa memeluk memori indah bersama Mama. 

"Dulu, waktu Papa diminta Yangkung mengantar bancakan sewaktu sepupumu lahir. Dalam perjalanan, Papa lihat ada gadis yang tasnya dicopet. Bukannya nangis dan teriak minta tolong, dia lari ngejar copet itu dan ambil batu buat lempar ke copet." Seperti berkhotbah di mimbar, Papa bercerita dengan ekspresi yang bersemangat. "Sayangnya, batu itu malah kena Papa." Papa kembali terkekeh. Sorotnya penuh kerinduan mengenang Mama. "Waktu itu Papa marah banget. Bukannya minta maaf, Papa malah disangka komplotan copet karena dianggep menghalangi si copet. Padahal 'kan Papa nggak sengaja nyeberang. Tapi, pas lihat muka Papa penuh darah, mau nggak mau Mama ngobatin Papa ke puskesmas. Kamu tahu, Mbak. Seandainya tas kesayangan Mama nggak dicopet, mungkin kamu nggak bakal lahir. Ya, kadang kita harus kehilangan sesuatu yang kita sayangi dengan cara menyakitkan, untuk menemukan sesuatu yang lebih berharga."

Kirana masih menatap lekat muka berkeriput Papa. Otaknya masih berusaha mencerna apa yang ingin Papa katakan.

"Seperti kamu. Mungkin kamu …" Papa menyibak anak rambut Kirana ke belakang telinga. "harus kehilangan Bima dan Mama. Tapi, di balik itu semua, kamu menemukan sesuatu yang sangat berharga. Akan menjadi Ibu … dan menemukan seseorang yang akan menggandengmu dengan tulus."

"Papa …." Kirana merintih. Kalau Papa bersikap lembut seperti ini, dia menjadi merasa sangat bersalah. 

"Maaf, Mbak. Dalam kondisi kalut, Papa malah ngasih solusi aneh." Papa mendesah. Dia menarik tangan Kirana dan mengecup punggung tangannya. "Tapi, Papa nggak sembarang ngasih usulan."

"Gimana bisa nggak sembarang kalau tiba-tiba Papa nyeret Mas Bisma buat tanggung jawab?" 

Bibir Papa tertarik ke samping. Ditepuknya punggung tangan Kirana dengan lembut tapi tak menjawab Kirana. "Tidur gih. Kita perlu istirahat untuk mengembalikan tenaga."

***

Seandainya waktu bisa memulihkan luka, Kirana berharap detik demi detik bisa berputar lebih cepat. Nyatanya menanti kemunculan matahari malam ini terasa menjemukan. Seolah Kirana terkurung kelam malam bertahun-tahun lamanya. 

Ketiadaan Mama seperti juga mematikan waktu. Layaknya Kirana yang tak ada daya untuk sekedar merangkak dan berpindah tempat dari posisi terpuruknya.

Hold My Hand (Completed-Pindah Ke KK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang