Rekkan berjalan masuk ke kamar, ditangan kirinya membawa piring berisi kue buatan istrinya.
Saat sudah didalam, pintu kaca menuju balkon nampak terbuka. Hmmm, seperti nya istrinya ada diluar sana.Ia berjalan pelan, dan melihat Anita berdiri berpegang pada pagar besi, memandang kearah langit yang gulita. Bahkan satu bintang pun tiada tampak sama sekali.
Ia meletakkan piring kue itu dimeja samping pintu, ada dua buah kursi disana, dan salah satunya menjadi tempat istrinya meletakkan ponsel.Rekkan menghampiri Anita yang masih belum menyadari kedatangan nya. Perempuan itu masih berdiri diam. Rambut panjangnya dicepol asal asalan. Sesekali helaian nya tertiup angin malam.
Anita terkejut saat merasakan tengkuknya dikecup oleh seseorang. Matanya memejam meresapi kecupan yang masih belum lepas dari kulit tengkuknya.
Tanpa menoleh pun ia tahu jika itu perbuatan Rekkan.Tubuhnya kini sudah sepenuhnya dipeluk oleh Rekkan dari belakang. Ia yang awalnya kesal dengan gadis itu pun perlahan lahan mulai luluh. Pelukan dan kecupan dari istrinya memang obat paling mujarab untuk rasa kesal nya. Bagaimana bisa ia tahan mendiamkan Rekkan lama lama. Sementara gadis itu selalu punya cara untuk meluluhkan nya.
"Istriku kenapa disini? Malam ini dingin banget anginnya, nggak baik buat kesehatan" Rekkan berbisik di telinga Anita. Membuat perempuan itu merasa merinding. Tangannya mengusap-usap tangan Rekkan yang melingkari perutnya.
Anita masih saja diam. Meski sebenarnya ia merasa tersipu dan wajahnya merona setiap kali mendengar Rekkan memanggil nya ISTRIKU. Tapi sepertinya ia masih gengsi untuk mengakui nya. Ia masih ingin berpura-pura marah.
"Jangan marah lagi ya, aku minta maaf soal yang tadi. Aku nggak ada maksud buat bentak kakak" Rekkan mencoba membujuk nya.
"Kamu nyebelin" Anita menekan ucapannya.
Mendengar itu, Rekkan justru mempererat pelukannya. Ia benar benar menyesal telah membuat istrinya marah.
"Akhir akhir ini kamu nggak perhatian lagi sama aku, tadi juga marah marah. Padahal aku nggak tahu kesalahan ku apa" ucap Anita masih merajuk.
Rekkan kembali mengecup tengkuk Anita. Sesekali juga mengecup bagian belakang telinga istrinya. Jujur saja, sebenarnya Anita merasa merinding dengan kecupan kecupan itu. Tapi ia masih gengsi mengakuinya. Apalagi sebelumnya Rekkan tak pernah melakukan hal ini.
"Kamu lagi ngerayu aku ya?" Anita sedikit memiringkan wajahnya agar dapat melihat Rekkan.
"Heem, siapa tahu rayuan ku berhasil" jawab Rekkan sekenanya.
"Kalau lagi ngerayu aja mau nyosor duluan. Biasanya disuruh cium duluan aja susah banget" Anita menepuk pelan tangan Rekkan yang melingkari perutnya. Ia hanya mencoba untuk menutupi rasa gugupnya karena perlakuan Rekkan.
"Idih, pake diungkit ungkit. Padahal muka udah merah begini masih aja gengsi. Nanti juga ketagihan" Rekkan menggoda nya.
"Apaan sih, pede banget" Anita berusaha menyembunyikan senyum nya. Namun tetap saja Rekkan bisa melihatnya.
"Hahahaha nggak mau ngakuin dia. Udah ah, yang penting aku udah dimaafin"
"Idih, kata siapa udah dimaafin?"
"Aku sendiri yang bilang"
"Aku belum maafin kamu"
"Tapi wajah dan mata kakak udah menjawab semuanya tanpa kakak bilang sendiri"
"Emang iya?"
"Iyain. Udah yuk, temenin aku makan kue nya. Kelihatannya enak tuh"
Rekkan melepas pelukannya lalu menuntun Anita untuk duduk di kursi.
Kedua nya pun duduk, hanya terpisah oleh meja kecil diantara mereka. Angin yang sesekali berhembus semilir seperti nya tidak dapat mengusik sejoli itu. Keduanya sedang dalam suasana hangat.
KAMU SEDANG MEMBACA
MENCINTAI REKKAN 2 : BELENGGU
Ficção AdolescenteKarena tidak semua orang mengerti, BAGAIMANA CARA MENGGUNAKAN HIDUP