3 Mendua / 18+

4.4K 259 20
                                        

"Kamu yakin?" Levin kembali memastikan sebelum Pamela masuk ke kamarnya.

"Kenapa? Cuma olesin salep kan?" Jawab Pamela dengan wajah polosnya yang sangat cantik. Levin garuk-garuk kepala sambil mengangguk, lalu mempersilahkan Pamela masuk.

"Buka piyamamu, cepat! Mana salepnya?" Pamela lagi-lagi bertanya dengan entengnya seperti tanpa dosa.

Tapi meski demikian, Levin tidak berpikiran buruk atau menganggapnya murahan saat ini. Tidak seperti saat dia memandang wanita lain yang suka mencari kesempatan atau perhatian padanya.

Memang Pamelanya saja yang terlalu polos dan percaya dengan sembarang orang. Bayangkan jika dia pria lain. Jadi apa wanita ini? Levin yakin jika kepolosan Pamela akan dimanfaatkan. Levin harap mantan berandalannya itu tidak pernah mengambil kesempatan.

Sedangkan Pamela, dia sangat berdebar saat Levin memberinya saleb memar tersebut. Berbeda dengan Levin yang menilai sikapnya sangat santai, jauh di dalam lubuk hatinya begitu kacau dan ingin segera pergi.

Terlebih ini pertama kali Pamela satu kamar dengan seseorang. Bahkan dengan Hero sekalipun, ia masih menjaga batasan.

"Masih nyeri?" Pamela berbicara untuk mengalihkan suasana sunyi diantara mereka. Untuk mengalihkan rasa gugupnya, saat tubuh kekar bagian atas pria itu tak tertutup apapun.

"Masih." Jawab Levin singkat.

"Sebentar yaa..." Pamela duduk disamping Levin dan mulai mengeluarkan isi salep tersebut di ujung jari telunjuknya. Perlahan ia membelai luka yang ada di punggung bossnya tersebut, dan meratakan salep disetiap bagian lukanya.

"Aduh...." Kenny meringis.

"Sakit?"

"Sedikit nyeri."

"Maaf ya? Gara-gara aku punggung kamu memar sampai selebar ini. Pasti sakit saat di pakai untuk merebah atau bergerak."

Levin tersenyum manis karena perhatiannya. Lihat kan? Pamela itu berbeda. Dia tidak seperti kebanyakan wanita yang suka mencari kesempatan kepadanya. Dia benar-benar tulus. Sejak kekasihnya meninggal, hanya Pamela yang bisa membuatnya merasakan hal separti ini.

"Sini lengan kamu." Setelah mengolesi punggungnya, kini giliran sikunya. Pamela sesekali meniupinya dan berharap dapat meringankan rasa sakit yang mungkin Levin rasakan.

Namun kenyataanya mau Pamela meniupinya sekalipun, tidak akan berpegaruh terhadap luka memarnya. Justru tiupan itu membuat Levin merasakan hal lain. Yang pasti tidak berkaitan dengan luka-luka yang ia miliki.

"Udah aku olesi semuanya!" Ujar Pamela seraya mengambil atasan piyama yang Levin letakkan didekatnya.

"Terimakasih."

"Pakai lagi." Pamela berusaha keras untuk bersikap tenang walau tangannya gemetar. Tinggal satu langkah lagi dia bisa segera pergi dari kamar itu.

Levin menurut saja saat wanita itu membantunya memakaikan atasan piyama. Padahal dia sendiripun sebenarnya bisa. Tapi karena Pamela memaksa, ya sudah. Menerima bantuan orang itu mengalirkan pahala bukan?

Pamela terpaku saat posisinya berdiri diantara kedua kaki Levin dan membantu pria itu mengancingkan piyamanya. Sungguh, ini pertama kalinya ia sedekat ini dengan seorang pria. Berada di satu kamar yang sama, dan membantunya berpakaian.

Pamela akui dia sering berciuman dengan Hero. Tapi dia tidak pernah melakukan hal lain lagi selama pacaran. Pamela selalu menjaga batasannya. Apalagi Hero juga tidak terlihat serius dengannya. Dia hanya mementingkan karir diatas segala hal.

"Sudah!" Ujarnya seraya berjalan mundur menjauhi Levin, namun pergerakannya itu segera di tahan.

"Mata kamu sembab banget. Kamu menangis lagi untuk pria itu?"

Wicked ChoiceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang