24. GARIS AKHIR

18 0 0
                                    

"Gue suka sama lo, Nay."

Nayanika terkejut, ia tidak percaya dengan semua yang diucapkan Askara barusan.

"Lo bohong kan, Ra?" Nayanika mencoba untuk tertawa, ia berharap jika lelaki itu tidak benar serius.

"Enggak Nay, gue serius." Nayanika menatap lelaki itu, memang tidak ada raut candaan di wajahnya.

"Sejak kapan Ra?" tanya Nayanika, kini dirinya juga serius menanggapi ucapan itu.

"Sejak awal kita masuk sekolah." Nayanika semakin tak percaya mendengar itu.

"Lo tahu, kenapa gue selalu ngisengin dan buat lo marah ke gue? Bahkan gue juga nyuruh lo buat nuruti lima permintaan gue yang nggak masuk akal itu?" Nayanika menggeleng.

"Itu semua supaya gue bisa dekat sama lo, Nay." Nayanika terdiam mendengar pernyataan itu.

"Gue tau lo nggak akan nerima gue Nay, karena di hati lo udah ada Shaka."

"Tapi, gue nggak akan pernah berhenti buat mencintai lo Nay, karena gue emang sayang sama lo. Gue nggak peduli hati lo sekarang buat siapa, gue cuma pengen lo tahu kalau hati gue buat lo dan selamanya akan selalu milik lo, Nay." Askara menatap wajah Nayanika lekat.

"Ra, lo harus ngerti, gue nggak akan pernah suka sama lo, karena hati gue cuma buat Shaka, gue nggak mau nyakitin lo. Jadi gue mohon, berhenti untuk suka sama gue," mohon Nayanika.

"Gue nggak bisa Nay, semakin gue buang rasa itu semakin besar juga rasa itu tumbuh," ujar Askara.

"Ra, jangan pernah menjadi rumah untuk seseorang yang tidak ingin memiliki rumah."

"Kenapa?"

"Karena itu cuma ngebuat lo sakit."

Askara tersenyum tipis."Gue udah kebal sama rasa sakit."

"Tapi, rumah yang dia inginkan bukan lo Ra, lo harus sadar akan hal itu!"

"Gue akan tetap setia menunggu kedatangannya, karena gue yakin, nggak ada yang mustahil di dunia ini selagi kita mau berusaha."

"Dan gue yakin, suatu saat nanti gue akan menjadi rumah ternyaman untuk dia berpulang," lanjut Askara.

Nayanika terdiam, ia tidak tahu harus menjawab apa, lelaki di hadapannya ini benar-benar keras kepala, Nayanika bingung sekarang, ia tidak mau menyakiti Askara karena rasa cinta itu.

****

"Den Kara, ini obatnya jangan lupa di minum," ucap Bi Mirna.

"Makasih ya, Bi."

Mirna tersenyum, ia melihat Askara saat ini tengah meminum obatnya. Wanita paruh bayah itu kasihan melihat Askara, di usianya yang masi remaja ia harus mengalami cobaan yang begitu berat.

"Den, apa sebaiknya kita kasi tahu Papah tentang penyakit Den Kara saat ini?"

Askara langsung menggeleng. "Jangan Bi, Askara nggak mau Papah khawatir, biar Kara sama Bibi aja yang tahu masalah ini."

"Tapi, penyakit Den Kara semakin parah, dan Papah Den Kara harus tahu tentang masalah ini," ujar Mirna.

Askara menatap wanita paruh bayah itu. "Bi, Kara pasti akan baik-baik aja, Bibi nggak usah khawatir ya. Bibi doain aja semoga Kara bisa sembuh, Bibi pasti senang kan kalau Kara sembuh?"

Bi Mirna mengangguk. "Hampir setiap hari, Bibi selalu doain Den Kara supaya cepat sembuh, Bibi cuma mau liat Den Kara sehat seperti dulu lagi," ucap Bi Mirna, bahkan saat ini mata wanita itu sudah berkaca-kaca.

"Bibi kenapa jadi sedih, Kara nggak apa-apa Bi, kan tadi Bibi udah doain Kara supaya sembuh, jadi Bibi tenang aja," ucap lelaki itu, kemudian dirinya memeluk Bi Mirna.

Ting Nung.

"Sepertinya Papah Den Kara sudah pulang," ujar Bi Mirna setelah mendengar bunyi bel rumah.

"Bibi, mau bukain pintu dulu," ucapnya sebelum pergi meninggalkan Askara di ruang makan.

Askara juga ingin pergi ke kamarnya segera beranjak, tetapi sebelum itu, ia terlebih dahulu menyembunyikan semua obat-obatnya.

"Siapa wanita itu?" Askara bertanya-tanya setelah melihat seorang wanita yang saat ini bersama Papahnya.

Tanpa pikir panjang Askara langsung menghampiri Tama, ia ingin tahu siapa wanita yang saat ini bersama Papahnya.

"Pah, siapa perempuan ini?" tanya Askara.

"Dia calon istri saya," jawab Tama.

Askara terkejut, ia tidak menyangka jika Papahnya akan menikah lagi.

"Kara nggak setuju, Pa!" bantah Askara. Ia tidak rela jika posisi ibunya digantikan oleh wanita itu, apalagi jika dilihat-lihat, wanita itu  hampir seumuran dengannya.

"LANCANG SEKALI KAMU BERKATA SEPERTI ITU!" sentak Tama.

"PUNYA HAK APA KAMU BERBICARA SEPERTI ITU KEPADA SAYA? SAYA MAU MENIKAH LAGI ATAU TIDAK ITU BUKAN URUSAN KAMU!"

"PAH!"

"KARA ANAK PAPAH, JADI KARA BERHAK MENENTANG PAPAH UNTUK MENIKAH LAGI!" ucap Askara dengan lantang.

"KARA NGGAK MAU ADA ORANG LAIN YANG MENGGANTIKAN POSISI MAMAH DI RUMAH INI!"

"TERMASUK WANITA INI!" Askara menunjuk tepat ke arah wanita itu.

"KURANG AJAR KAMU!"

Tama langsung menampar Askara, ia benar-benar naik pitam karena ulah anak itu.

Askara meringis, ia tidak percaya Papahnya tega menampar dirinya demi wanita itu. Sementara Bi Mirna terkejut melihat kejadian ini, ia tidak menyangka jika Tama akan menampar Askara.

"Semakin hari anak ini semakin lancang kepada saya! Entah kenapa Sinta rela mengorbankan dirinya demi kelahiran anak ini!" ucap Tama.

"Kalau saja saya tahu kamu akan menjadi anak kurang ajar seperti ini! Mungkin dari dulu sudah saya buang kamu!"

"Biarkan saja kamu hidup di luar sana, menjadi anak sebatang kara! Biar kamu tahu seperti apa kerasnya hidup di luar sana!"

Kata-kata yang begitu menyakitkan keluar begitu saja dari mulut Tama, ia tidak memikirkan tentang perasaan anaknya saat ini, karena dirinya sudah dipenuhi dengan emosi dan juga kebencian.

"PAH! KARA ANAK PAPAH!"

"KENAPA PAPAH TEGA BERBICARA SEPERTI ITU PADA KARA PAH?" Askara  tidak habis pikir, kenapa Papahnya selalu saja menyakiti perasaannya dengan ucapannya.

"KARENA SEJAK DULU SAYA TIDAK PERNAH MENYUKAI KAMU!"

Askara terdiam, dadanya kini serasa sesak, ia tidak menyangka jika selama ini Papahnya sendiri membenci dirinya.

"Asal kamu tahu, kamu adalah penyebab dari kematian istri saya! Jika saja saat itu Sinta mau mendengarkan saya untuk tidak meneruskan kehamilannya, mungkin saat ini dia masi hidup dan masi ada bersama saya!"

Tama mengingat kejadian tujuh belas tahun yang lalu, di mana Sinta yang merupakan ibu dari Askara rela mengorbankan nyawanya demi kelahiran Askara, karena saat itu kondisi kandungannya begitu lemah. Tama sudah menyarankan Sinta untuk tidak meneruskan kehamilannya, tetapi Sinta masi nekat untuk mempertahankan janin di dalam kandungannya.

"KELAHIRAN KAMU ADALAH MALAPETAKA BAGI SAYA!"

"Jika saja Sinta tidak memilih untuk mempertahankan kamu, mungkin situasinya tidak akan seperti saat ini!"

Askara tidak tahan mendengar cacian yang di lontarkan langsung oleh Tama untuknya, ia langsung berlari keluar untuk mencari ketenangan. Bahkan di saat Bi Mirna memanggil-manggil namanya, lelaki itu tidak menggubris, ia melajukan motornya dengan kecepatan tinggi.

Ucapan yang dilontarkan Tama, terus memenuhi pikirannya, di tengah dinginnya angin malam Askara melajukan motornya, ia tidak tahu harus kemana. Hatinya bagitu rapuh, dadanya sesak, ketika tahu kebenaran dari semuanya, ditambah lagi ketika lelaki itu tahu jika penyebab kematian Mamanya adalah dirinya sendiri.

"Nayanika."

Askara mengingat gadis itu, ia merasa jika Nayanika adalah pilihan yang tepat untuk nya saat ini, karena cuma gadis itu yang mampu menenangkan pikiran Askara sekarang.

GARIS AKHIR ~SUDAH TERBIT~Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang