25. GARIS AKHIR

20 0 0
                                    


Nayanika terkejut ketika membuka pintu rumahnya, Askara langsung memeluk tubuhnya begitu saja, lelaki itu menangis di dalam pelukannya.

"Ra, lo kenapa?" Nayanika masih bingung, apa yang terjadi pada lelaki itu.

Askara tidak menggubris ucapan dari Nayanika, saat ini yang ia butuhkan hanyalah sandaran, ia ingin meluapkan semua isi hatinya di dalam pelukan gadis itu.

"Menangislah Rah, karena tangisan yang lo tumpahin sekaran akan ngebuat lo merasa lebih tenang."

Nayanika membalas pelukan dari lelaki itu, ia mengerti jika saat ini bukan waktu yang tepat untuk menanyakan semuanya.

"Makasih, Nay."

Askara merasakan kenyaman yang begitu hangat saat bersama Nayanika, dirinya seperti menemukan rumah untuk berpulang.

"Sayang, siapa yang datang, Nak?" Suara itu membuat Askara melepaskan pelukannya.

Askara segera menyalami Aruna ketika melihat wanita itu. "Ini Askara Tante," ucapnya.

Aruna mengangguk, "Oh, Nak Askara, ayo, silahkan masuk," ajak Aruna.

"Nggak usah Tan, Askara ke sini mau ngajakin Nayanika keluar sebentar, apa tante mengizinkan?"

Aruna mengangguk. "Iya silahkan, tapi, pulangnya jangan larut malam ya," ujar Aruna.

"Iya tante, kalau begitu Askara sama Nayanika pergi dulu."

Askara menyalami tangan Aruna begitupun dengan Nayanika.

"Ra, kita mau kemana?" tanya Nayanika, pasalnya sedari tadi Askara hanya mengajak Nayanika keliling tidak jelas.

"Gue juga nggak tahu Nay, gue cuma mau berdua sama lo," ucap Askara.

"Tapi, sebentar lagi akan turun hujan, Ra!" ucap Nayanika sedikit berteriak, karena angin malam yang begitu kencang mengharuskannya sedikit berteriak.

"Nggak apa-apa Nay, gue suka hujan!" jawab Askara yang juga sama sedikit berteriak.

Nayanika mengembuskan napasnya dengan gusar. Lelaki ini memang sejak dahulu tidak pernah berubah. Ia selalu menyukai hujan, padahal ia sendiri sering sakit karena sering bermain hujan.

"Ra, kita berhenti di situ dulu, gue takut hujannya semakin deras," ucap Nayanika, ia melihat halte bus di depan ujung jalan sana.

Askara mengangguk dan menurut, benar saja, ketika sampai di halte bus itu hujan semakin deras. Nayanika sudah merasakan kedinginan, ia menggosok dan meniup telapak tangannya untuk menghangatkan, Askara segera melepas jaketnya dan memakaikannya pada Nayanika, ia tahu jika gadis itu tengah kedinginan saat ini.

Nayanika terpaku, ia menatap lekat Askara ketika lelaki itu memakaikan jaket di tubuhnya.

"Makasih, Ra," ucap Nayanika sedikit canggung.

Askara mengangguk, kemudian lelaki itu menatap ke arah hujan, dengan perlahan kakinya melangkah ke tengah-tengah hujan. Askara mengangkat kepalanya, membiarkan air hujan mengalir membasahi tubuhnya, Askara merasakan ketenangan, dirinya seakan melupakan masalah yang sedang ia alami.

"Askara, lo ngapain main hujan-hujanan," ucap Nayanika.

"Ini udah malam Ra, nanti kalau lo sakit gimana?" Nayanika sangat khawatir, ia takut jika lelaki itu jatuh sakit lagi.

"Gue udah biasa sama rasa sakit Nay, dan sekarang gue lagi menikmati kesenangan gue sendiri," jawab Askara, lelaki itu masi setia menikmati hujan di malam ini.

Nayanika memutar matanya malas, ia tidak tahu jalan pikiran dari lelaki itu. Dengan perlahan Nayanika melangkah mendekati Askara, ia tidak peduli jika bajunya akan basah saat terkena hujan.

"Ayo Ra, udah cukup main hujan-hujanannya." Nayanika mencoba mengajak Askara untuk berteduh, ia memegang pergelangan tangan lelaki itu.

Namun, hal yang tidak terduga terjadi, Askara justru mengajak Nayanika berdansa di tengah derasnya hujan malam saat ini. Nayanika seolah terhipnotis dan mengikuti semua gerakan yang dilakukan Askara, mereka berdansa bak pasangan yang sedang memadu kasih.

"Askara, apa yang ngebuat lo begitu menyukai hujan? Padahal lo tahu jika akhirnya hujan akan ngebuat lo jatuh sakit,"

"Tidak semua hujan sejahat itu Nay, terkadang ada juga hujan yang bisa memberikan kita sebuah kesenangan."

"Tapi, lo terlalu sering bermain hujan Ra, apa lo nggak takut sakit?"

Askara tersenyum getir. "Kan gue udah pernah bilang Nay, gue udah kebal sama rasa sakit."

"Bahkan, tanpa terkena air hujan pun. Setiap harinya gue udah ngerasain semua rasa sakit itu, jadi apa yang harus gue takutin?"

Nayanika diam, ia tidak tahu harus menjawab apa, karena memang benar lelaki itu terlalu sering berteman dengan rasa sakit.

"Nay, kapan ya gue bisa ngerasain bahagia seperti kebanyakan orang lainnya?"

Nayanika terkejut, ia tidak menyangka jika Askara akan berkata seperti ini. Setau dirinya Askara adalah lelaki kuat, bahkan ia tidak pernah melihat Askara mengeluh dan juga serapuh ini.

"Ada masalah lagi ya, Ra?" Askara mengangguk.

"Lo tau Nay, siapa penyebab dari kematian ibu gue? Ternyata penyebabnya itu gue Nay, gue sendiri penyebabnya."

"Mungkin benar kata bokap gue, seharusnya gue memang nggak usah lahir ke dunia ini, karena kelahiran gue membawa mala petaka," lirih Askara.

"Seharusnya nyokap gue dengerin omongan bokap gue, untuk nggak maksain keadaannya buat ngelahirin gue."

"Coba aja kalau gue nggak lahir, mungkin ibu gue masi ada sekarang."

"Lo nggak boleh ngomong gitu Ra, gue yakin ibu lo pasti udah bahagia di sana, dia pasti juga bangga kok sama lo sekarang."

"Karena pengorbanannya buat nyelamatin lo dan mempertaruhkan nyawanya nggak sia-sia, nyokap lo udah berhasil ngelahirin anak berhati malaikat seperti lo, Ra," lanjut Nayanika.

Nayanika menatap lekat wajah Askara. "Coba lo bayangin, kalau misalnya lo nggak lahir ke dunia ini. Siapa yang akan ngajarin anak-anak di perkampungan kumuh itu? Siapa yang akan ngasi sembako setiap harinya sama anak-anak panti asuhan Tali Kasih? Terus siapa yang akan nyekolahin Daniel dan adiknya? Dan Lo juga harus ingat ini Ra, siapa yang akan nyemangatin Ciko supaya sembuh dari penyakitnya?"

Askara terpaku, ia mengingat semua kenangan bersama anak-anak itu.

"Lo juga harus tahu ini Ra." Askara menatap Nayanika, sebelum gadis itu melanjutkan ucapannya. "Lo juga berperan penting di dalam kehidupan gue, karena tanpa lo mungkin gue nggak akan bisa seperti sekarang, gue bisa berubah dan berdamai dengan masa lalu gue, semuanya karena lo, Ra." Saat ini kedua bola mata mereka saling bertemu.

"Banyak pembelajaran berharga yang nggak pernah gue dapat dari orang lain di  lo, Ra," jelas Nayanika.

Askara hanya diam dan memikirkan semua perkataan Nayanika.

****

"Gue mau ke perpustakaan dulu Mir, gue baru ingat kalau belum balikin buku." Nayanika beranjak dari tempat duduknya.

"Mau gue temenin nggak?" Amira menawarkan diri.

"Nggak usah Mir, gue sendirian aja." Mendengar itu Amira mengangguk mengerti.

Saat di koridor, Nayanika samar-samar mendengar suara, ia seperti mengenal suara kedua remaja itu.

"Sepertinya dari arah taman belakang," ujar gadis itu, Nayanika mengendap-endap menyelusuri arah suara itu berada.

"Itukan, Shaka sama Amara!"

GARIS AKHIR ~SUDAH TERBIT~Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang