Chapter Enam Belas

7.9K 694 52
                                    


Makanan untuk makan malam telah selesai Gracia masak, di taruh semua makanan itu kedalam lemari makan, kegiatan selanjutnya adalah membersihkan tubuhnya, Gracia melirik jam dinding di atas, jam sudah menujukan pukul setengah enam, namun tumben Shani belum tiba di rumah.

Gracia berjalan keluar dari dapur, mengambil ponselnya yang ada di atas meja, sekedar mengecek apakah ada yang mengiriminya pesan, dari detektif suruhannya misalnya.

Detektif yang dia bayar untuk menemukan Handika.

Meski mungkin seharusnya Gracia berhenti, harusnya dia tidak lagi perlu bertemu dengan Dika, lagipula untuk apa?

Jelas-jelas lelaki itu telah meninggalkannya, apalagi yang harus di harapkan dari laki-laki tidak bertanggung jawab seperti Dika.

Begitulah seharusnya pikiran seorang Gracia,  namun dia tidak seperti itu, dia masih begitu penasaran, dia masih mau bertemu dengan Dika.

Gracia masih berharap pada laki-laki itu.

Shani belum bisa menggantikannya.

Atau tidak akan pernah bisa.

Namun sayang, yang dia dapat adalah pesan dari si Indira, Gracia membaca pesan tersebut, pesan yang menjelaskan jika Shani akan pulang terlambat malam ini.

Dan apakah Gracia perlu tau, dia tidak masalah bahkan jika Shani tidak pulang?

Benarkah Gracia tidak peduli.

Gracia tidak menjawab, hanya membaca pesan yang Shani kirimkan, dan kembali meletakan ponselnya, matanya melirik ke bawah ke arah perutnya yang makin membesar, dia usap perut buncit itu.

"Maafin mamah Nak, tapi mamah janji bakalan bawa papah kamu pulang, mamah yakin dia pasti seneng punya kamu, mamah yakin itu".

Gracia yang bodoh, naif, dan munafik, itulah yang pantas di katakan untuk wanita itu.

Bodoh sekali masih mau pada Dika padahal sudah ada Shani yang jauh lebih dari kata Baik jika di bandingkan dengan Dika.

Jika saja Gracia bisa memaksa hatinya untuk menerima Shani dia pasti bisa, tapi sekeras apapun Gracia mencoba dia masih tidak bisa, tidak bisa apa tidak mau, itu tidak jauh berbeda.

*****

Shani hanya memejamkan mata, dia masih tidak bisa tidur, meski pijatan di kepalanya begitu enak di rasa,  kepala Shani yang semula begitu pusing pun perlahan mulai lebih baik, Abby benar telaten Shani akui itu jika pijatan wanita ini memang enak.

Di atas pangkuan Abby Shani berharap jika orang yang saat ini merawatnya adalah Gracia,  bahwa tangan yang saat ini menyentuh dahi dan kepalanya adalah Gracia, bahwa tatapan khawatir itu terlihat dari mata Gracia,  bukan Abby atau wanita lain.

Shani mau yang sekarang ada bersama nya adalah Gracia.

Namun akankah itu terjadi, apakah Gracia akan peduli jika mengetahui Shani tengah sakit, atau apakah wanita itu tidak akan bereaksi apa-apa.

Atau bahkan tidak peduli.

Mengingat itu seketika saja kini hatinya merasa nyeri, mata Shani perlahan terbuka, wajah pertama yang ia lihat adalah wajah Abby.

Wanita cantik yang masih telaten merawatnya, Shani tidak salah, Abby memang cantik, setara mungkin dengan Gracia namun Abby tidak mampu membuat dadanya bergemuruh seperti saat bersama Gracia.

Dan mungkin tidak akan pernah bisa.,  namun kali ini Shani menarik sudut bibirnya ke atas, tersenyum menatap Abby,  senyum tulus seolah berterimakasih karena tidak meninggalkan Shani.

"Tanggung Jawab" Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang