part 8

46K 3.3K 36
                                    

ENJOY!!!

..................

Setelah kencan pertama yang aku lakukan dengan Mas Damas, aku tidak tau disebut apa hubungan kami dulu, tapi sejak saat itu kami sering pergi keluar bersama meski kegiatannya hanya itu-itu saja, menonton, makan, pulang. Mas Damas memang manusia yang monoton, hubungan kita pun di situ-situ saja, sampai aku yang harus bertanya hubungan kita ini apa? dan pada saat itu aku melabeli hubunganku dengan Mas Damas dengan pacaran.

"Geli dengernya," ujar Mas Damas saat aku mendeklarasikan hubungan kami.

"Tapi itu lebih baik daripada nggak ada status sama sekali."

'berpacaran' dengan Mas Damas sebenarnya tidak ada perbedaan yang berarti, Mas Damas buka tipe yang sering mengirimi pesan, lebih aku yang sering melakukan karna bukankah kabar itu merupakan hal yang sangat penting saat menjalankan sebuah hubungan?

kejadian itu terjadi setahun setelah peristiwa Mas Damas mengajakku berkencan, lihat berkenalan mana yang perlu waktu satu tahun? sejak berpacaran dengan Mas Damas, aku sangat-sangat menggantungkan hidupku dengan Mas Damas. Hal-hal kecil dan sepele, aku selalu melibatkan dirinya.

"Mas, perutku sakit," aduku saat aku menelpon di jam makan siang.

"Hm? di rumah sendirian?"

aku menggeleng walaupun aku tau Mas Damas tidak melihatnya, namun aku yakin dengan diamku dia bisa memahami maksudku.

"Ke mana?" tanyanya lagi.

"Rumah saudara, pulang malam kayanya."

"Lagi datang bulan ya? mau apa?" tebak Mas Damas to the point.

"Mas Damas mau ke sini?"

"Enggak, nanti pakai ojek."

aku mengeluh dari balik telpon, aku mau dia hadir ke sini bukan yang lain.

helaan napasnya terdengar, "Aku ke sana, tunggu sebentar. Tulis aja mau apa."

panggilan tertutup. Aku mengiriminya pesan apa yang ingin aku inginkan, yang sebenarnya buka mau-mau banget, aku cuma kangen dia aja karna waktunya untukku sedikit sekali.

ini sudah tahun kedua, di mana orang tuaku sudah sangat percaya sekali dengan Mas Damas, dan Mas Damas tetap saja tidak ingin masuk ke dalam rumahku jika tidak ada orang, ia memilih duduk di teras depan.

"Masuk aja gapapa, kalo orang tuaku tau mereka nggak marah, kok."

"Enggak, Raiya. Nggak baik, gimana pun juga saya sama kamu belum sah nggak boleh berduaan di ruang tertutup."

"Kalo di ruang terbuka boleh?" tanyaku sambil menahan tawa, pertanyaaku hanya untuk menggodanya.

"Nggak gitu."

"Yuadah, makanya nikahin aku, dong." ucapanku saat itu cuma spontan saja, tidak mengira dia bakal serius, karna saat itu di mataku pernikahan masih sangat jauh dari pikiranku.

"Kamu mau?"

detak jantungku tidak dapat disembunyikan, walaupun aku tau apa yang laki-laki itu maksud tetap saja aku menanyakan ulang.

Can I Be Her [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang