part 14

67.2K 4.1K 185
                                        


ENJOY!!!

••••••••

"Raiya, kamu pasti capek jadi pikiran kamu melantur. Duduk dulu, mau minum?"

Mas Damas merangkulku dan membawaku duduk di pinggir ranjang ia juga memberikan segelas air putih yang telah tersedia di atas nakas. Rasa ngilu bekas jaitan itu baru terasa lagi, hingga aku meringis pelan.

"Kamu ke sini naik apa? Harusnya kamu di rumah Mama aja, aku sebentar lagi ke sana."

Aku menggeleng, "Kamu nggak usah ke rumah Mama."

"Kamu jangan ngomong gitu. Itu bukan bercandaan yang lucu."

Aku menatap Mas Damas dengan mata yang memanas, "Aku nggak bercanda. Aku serius, aku udah mikirin ini dan seumur hidup terlalu lama untuk aku habiskan sama kamu."

"Tapi kenapa?"

Aku menatap Mas Damas tak percaya, "Kamu masih tanya kenapa?"

Mas Damas menatapku lama, ia lalu merendahkan tubuhnya dengan menjadikan lututnya sebagai tumpuan di lantai, ia menggenggam pelan kedua tanganku yang masih terbalut perban dan mengusapnya perlahan. Sebuah usapan yang mampu menghadirkan ketenangan.

"Raiya, apa itu karna kejadian tahun lalu?"

Banyak, tidak hanya itu. Kejadian tahun lalu hanya pemicu dari rahasia lain yang seharusnya aku ketahui sejak awal.

"Raiya, aku udah minta maaf waktu itu dan kamu mamaafkan dan aku pikir permasalahan itu udah selesai."

Satu air mataku menetes, jatuh tepat di punggung tangannya yang masih melingkupi jemariku.

"Ya, aku memang memaafkan Mas. Wajar bukan merindukan seseorang yang kita cintai? Tapi Mas, apa Mas pernah mencintai aku sedalam Mas mencintai Mba Anin?" Napasku tercekat, aku menarik tanganku dari genggaman tangan Mas Damas lalu mengusap air mataku.

"Raiya, Mas... Seneng hidup sama kamu, Mas nyaman ada di sekitar kamu, kamu tau Mas bukan orang yang seperti itu, Mas bukan orang yang selalu mengumbar kata sayang. Apa kehadiran Mas di setiap kehidupan kamu belum menjawabnya?"

Aku terdiam sebentar, mengumpulkan tenaga untuk kembali bersuara. "Mas tau kalau Anna menganggap Mas lebih dari Kakak Ipar?"

Mas Damas menatapku penuh keterkejutan. "Mas nggak bisa mengendalikan perasaan orang."

Aku berdecih, laki-laki ini tau tapi dia diam saja bahkan tidak menjaga jarak dengan Anna.

"Tapi Mas bisa tegas bukan? Mas bisa memberikan batasan-batasan untuk dia? Mas selalu nggak tegas! Sama Anna, sama Bi Daya."

Mas Damas menarik satu napasnya lelah. Kukira ia akan mengucapkan kata-kata lain lagi, tapi ternyata tidak. Ia diam membisu.

"Kamu masih sering rayain ulang tahun Anin dengan pergi ke tukang sate itu! Kamu pikir aku nggak tau? Kamu nggak pernah selesai sama masa lalu kamu. Kamu bilang dulu, kamu cuma keinget Anin aja tapi faktanya kamu bahkan masih mencintai dia, itu bukan rindu Mas! Kamu kehilangan bayi kita pun cuma bilang keguguran aja! Kamu pikir hatiku nggak sakit kamu bilang gitu?"

Mas Damas terkejut lagi mendengar ucapanku. "Raiya, maksudku nggak gitu. Maksud Mas itu kamu nggak mengalamin hal lain, rahim kamu nggak kenapa-kenapa dan kamu nggak mengalami hal yang serius setelah keguguran itu. Aku juga sedih ditinggal Adek, tapi kalau aku juga nangis dan larut sama kesedihanku nggak akan ada yang urus kamu. Salah satu di antara kita harus ada yang waras, kamu pikir nggak sakit harus nahan kesedihan di hadapan orang banyak? It hurts me too.

Can I Be Her [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang