part 13

62.8K 4.2K 188
                                        

ENJOY!!

******

"Saya nggak janji untuk selalu buat kamu bahagia, saya cuma manusia dan sangat berpotensi menyakiti kamu. Tapi saya akan berusaha untuk selalu ada di sisi kamu, apapun keadaannya. Saya nggak akan ninggalin kamu, Raiya."

Ujaran Mas Damas lima tahun lalu selepas akad berputar bagaikan kaset rusak yang menyakitkan telinga.

Satu tetes air mataku turun tanpa aku sadari, dan dengan sigap Mas Damas mengusapnya.

"Sakit?" Tanya Mas Damas.

Aku diam saja tak sudi untuk membalas. Dan air mata itu turun lagi, yang awalnya hanya sebuah titik kini mengalir begitu deras sampai-sampai tubuhku bergetar hebat.

Mas Damas merengkuhku erat, aku yang pada awalnya hendak menolak Mas Damas akhirnya luruh karna tak mampu menahan rasa sakit ini sendirian.

"Nggak apa-apa, cuma keguguran aja."

Tangisanku terhenti, keguguran aja katanya? Tapi itu bukan keguguran! Dia bahkan sudah berbentuk bayi...

Aku menelan ludahku susah payah, lalu mendorong Mas Damas menjauh dengan kedua telapak tanganku yang diperban karna mengelupas akibat bergesekan saat aku jatuh.

Aku benar-benar benci laki-laki ini. Aku mengunci mulutku rapat-rapat, aku takut mengeluarkan kata-kata yang mungkin akan menyebabkan diriku menyesal di kemudian hari.

"Raiya, aku minta maaf nggak bisa jaga kamu sama adik. Kita harus ikhlas—"

"Diam kamu. Aku nggak mau denger satu kata pun dari mulut kamu."

Mas Damas terkejut mendengar ucapan dari mulutku, namun setelahnya ia terlihat maklum lalu ia kembali merengkuhku. Aku tidak ingin berada di dalam rengkuhannya, tapi aku tidak mempunyai banyak tenaga lagi untuk melawan. Aku benar-benar butuh istirahat panjang tanpa ada Mas Damas di sisiku.

"Aku mau pulang, ke rumah Mama."

*****

Setelah menginap beberapa hari di rumah sakit akhirnya aku pulang, aku meminta pulang ke rumah Mama dan Mas Damas tanpa banyak bertanya langsung mengiakan.

Saat aku keluar dari mobil dengan Mas Damas yang setia merangkulku Mama langsung berlari ke arahku dan memelukku.

"Yang tabah ya, Nak." Mama menangis kecil di balik pundakku. Mama saja menangis hebat, tidak seperti Damas yang entahlah respon apa itu.

"Rayhan mana, Ma?"

"Lagi main di tetangga sebelah, mau dipanggilin?"

"Nggak usah, biarin aja dia main. Aku mau tidur."

"Buna!"

Itu suara teriakan Rayhan, aku menoleh ke belakang dan bocah itu berlari cepat dari arah pagar yang terbuka lebar.

"Buna udah sembuh?" Tanya Rayhan penuh antusias saat berada di hadapanku.

"Udah, kamu nggak kangen?"

"Kangen!" Rayhan mengangguk penuh antusias, "Perut Buna kok kecil? Adiknya mana? Kok gak ada?"

Rayhan menatapku bingung, dan lagi-lagi hal itu membuat mataku memanas, aku tak bisa menjawab apapun lalu aku memilih mengusap pelan rambut Rayhan sebelum beranjak pergi dari sana.

Can I Be Her [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang