part 6

56K 3.6K 67
                                    

ENJOY!!!

••••••

Aku pertama kali mengenal Mas Damas saat ada pekerjaan di Jogja, kerja sama dengan sebuah kafe dan aku diminta sebagai brand ambasador kafe tersebut.  umurku saat itu masih duapuluh tahun, belum tamat kuliah. Karna orang tuaku, terutama Ibuku, sangat panik aku pergi keluar kota sendirian, dia meminta bantuan teman dekatnya yang saat itu tinggal di Jogja. Ibunya Mas Damas. Itulah awal pertama kali aku bertemu Maas Damas, di stasiun Jogja ia menjemputku dengan pakaian serba hitamnya. Mungkin sudah takdir, ternyata kafe yang mengajak bekerja sama dengaku merupakan kafe milik Mas Damas. Sudah hanya sampai itu saja, setelah pulang dari Jogja dan kontrak kerja sama dengan kafe itu berakhir aku tak pernah bertemu Mas Damas.

sampai akhirnya Ibuku memintaku untuk mengenal Mas Damas lebih dalam. Aku masih mengingatnya pertama kali kita bertemu di luar pekerjaan, masih dengan pola yang sama Mas Damas menjemputku tapi kali ini dari rumah orang tuaku, dia sangat sopan meminta izin kepada kedua orang tuaku dan jangan lupakan tatapan berbinar kedua orang tuaku, belum pernah aku melihat mereka seberbinar itu saat ada laki-laki yang menjemputku.

kencan pertama kami sungguh biasa saja, Mas Damas mengajakku menonton lalu makan dan di sana lah mengalir cerita tentangnya, perbedaan usia kami yang terpaut sepuluh tahun, dia yang duda tanpa anak, pekerjaannya. Awalnya itu semua membuatku kaget, aku kira perbedaan usia kami hanya lima tahun, tapi ternyata dua kalinya.

"Nasi goreng di sini enak," Ungkapnya kala itu. Dan nasi goreng di restoran itu menjadi favoritku hingga kini.

aku tersenyum tipis, menatap nasi goreng di hadapanku. Nasi goreng yang sama dengan nasi goreng tujuh tahun lalu. 

"Kenapa tiba-tiba senyum?" Mas Damas menatapku heran.

"Mas inget ngga? ini restoran yang kita datengin waktu pertama kali kita kencan."

"Loh? ini, 'kan tempat makan kesukaan mbak Anin."

aku melirik perempuan itu, perempuan yang sama yang memanggil Mas Damas tadi. Dia namanya Ana, adik bungsunya Anin. perusak suasana!

"Oh, ya? aku ngga nanya tuh." 

dapat kudengar Mas Damas menghela napas. Namun, sepertinya dia memilih tak peduli.

Ana melihatku dengan tatapan yang aku sendiri tak paham apa maksudnya, lalu tatapannya langsung beralih ke Mas Damas lagi.

"Mas, aku di Jakarta sampai lusa. Ibu titip pesan sama aku, kalau ketemu Mas Damas dia undang Mas ke acara peringatan hari meninggalnya mbak Anin bulan depan."

bulan depan? itu ulang tahunnya Rayhan!

"Sejak Mas berkeluarga lagi, Mas jarang hadir ke acara itu. Padahal kita tetep saudara, 'kan Mas? Nggak baik memutuskan tali silahturahmi."

aku memutar bola mata, silahturahmi taik kucing!

"Mas kayanya aku mau dibungkus aja makannya, perutku tiba-tiba mual. Kasian juga Rayhan nggak nyaman tidurnya."

mual itu hanya alibi, tapi kalo kasian sama anakku itu serius. beberapa kali aku lihat ia menggeliat tidak nyaman di pangkuan ayahnya.

"Ana, nanti aku kabari lagi ya. Maaf nggak bisa lama ngobrolnya, makasih juga buat undangan makan siangnya."

Mas Damas bersuara, dapat aku liat raut kecewa di wajah perempuan itu. Ya ampun harusnya dia sadar, Anin sudah pergi sangat lama. Dan Mas Damas sudah melanjutkan hidup denganku. Untuk apa raut kecewa itu? 

••••

"Masih mual?"

Aku menoleh lalu menggeleng ke arah Mas Damas. Sekarang kami sudah sampai rumah, Mas Damas baru saja kembali dari kamar Rayhan untuk meletakkan anak itu yang masih saja tertidur pulas. Sedangkan aku sudah berbaring nyaman di ranjang.

Aku merasa hari ini energiku terkuras sangat banyak.

Jadi gini, Ana itu ternyata juga salah satu model Alya. Aku baru tau kalau Alya akan menjual pakaian berhijab sekarang dan aku juga baru tau kalau Ana ternyata selebgram. Well, aku memang nggak punya lingkaran pertemanan sesama selengram, sih. Jadi wajar ngga tau.

"Engga, cuma capek dikit."

"Lain kali ga usah diterima lagi."

"Aku baru tau, Ana model."

Mas Damas yang sekarang sudah ikut duduk di ranjang bersamaku menoleh.

"Aku juga baru tau. Nggak usah dibahas, nanti kamu marah. Repot."

Aku merenggut tak terima, tapi karna energiku sudah terlalu banyak terkuras dan malas mengeluarkan energi lebih aku memilih bungkam.

"Siapa yang mau ajak ribut," Gumamku.

"Sini," Panggil Mas Damas. Ia memintaku mendekat ke arahnya yang sekarang kedua tangannya terbuka lebar untuk merengkuhku.

"Ibu hamil, jangan sering marah-marah. Nggak baik."

Aku mendengar rangkaian kata Mas Damas saat aku sudah berada di dalam pelukannya, laki-laki ini paling tau cara meredamkan emosiku. Pelukan. Hanya itu.

Tangannya yang melingkar di pinggangku bergerak lembut ke atas dan ke bawah memberikan efek menenangkan untukku, belum lagi tangan yang satunya mengelus lembut perutku yang semakin terlihat membuncit.

"Kayanya adek cewek," Ujar Mas Damas tiba-tiba.

"Loh, kenapa?"

"Kamu jadi manja, emosian, banyak maunya."

Aku mendelik, "Itu kamu sebutin semua sikap aku yang ngga kamu suka!"

"Marah lagi."

Aku mendengus, tapi tetap saja aku malah mengeratkan pelukanku ke Mas Damas, aku rasanya ingin semakin tenggelam di dalam dada bidangnya itu.

Aku mendongak dan Mas Damas merunduk, tatapannya teralih ke bibirku lalu tanpa waktu yang lama satu ciuman panjang dan dalam menghampiriku. Aku melenguh di sela-sela ciuman itu apalagi saat Mas Damas dengan sengaja menggigit bibir bawahku.

Gilak, ini siang-siang loh!

Mas Damas menarik diri saat napasku sudah tersenggal-senggal.

"Tiba-tiba kamu sudah di atas."

Aku nggak sadar kapan tepatnya aku duduk di pangkuan Mas Damas, padahal aku merasa ciuman tadi tidak sepanjang ciuman biasanya.

"Ayo tidur siang," Ajak Mas Damas sembari menurunkanku dari pangkuannya.

"Eh, kamu nggak kerja Mas?"

"Kerja, nanti."

"Kapan?"

Mas Damas mengelus puncak kepalaku lalu mengusapnya lembut, "Setelah kamu tidur."

Tatapan lembut itu, kamu yakin nggak cinta sama aku Mas?

*****

Terimakasih!

Kalian tipe pembaca yang suka baca banyak narasi atau banyak dialog?

-selamat memasuki bulan Ramadhan bagi yang merayakan❤

Jangan lupa tinggalkan ❤👣

Can I Be Her [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang