HAI HAI HAI......
MMFF YA READERS KARENA AUTHOR BELUM BISA RUTIN UPDATE. TAPI TENANG SAJA, AUTHOR BERENCANA AKAN MENAMATKAN CERITA INI DI AKHIR BULAN MEI...
VOTE DAN KOMEN DARI KALIAN BISA MENJADI FAKTOR AUTHOR UP CEPAT■■■
"Aku memang kehilangan banyak hal, tapi aku menemukan siapa diriku. Jadi, dalam hal ini, aku pemenangnya."
_Pradipta●●●
Setelah sekitar seminggu mereka fokus pada tryout, kini hari libur sekaligus hari yang akan menjadi saksi mengenai sah nya hubungan Dipta dan Lia telah datang. Lia dan Dipta sempat ikut mempersiapkan dan fitting pakaian bersama sesuai intruksi dari kedua orangtua mereka. Tak ada paksaan pada hari hari yang seharusnya kedua mempelai sedang dilanda stres-stresnya. Mereka tenang dan enjoy ketika melakukan beberapa persiapan pernikahan. Memang benar bahwa pernikahannya tidak semewah yang dibayangkan. Hanya menghadirkan kerabat dekat dan teman orangtua terdekat, itu bahkan bisa dibilang private wedding.
Di ruangan dengan luas 4×5 meter ini, terlihat Lia yang sedang sibuk berkutat dengan gaunnya. Sesekali Lia menatap cermin yang ada didepannya, "beneran sekarang gue nikah? Semoga ini adalah jalan terbaik yang gue dan Dipta ambil, gue nggak mau pernikahan ini berubah menjadi musibah."
Dipta dan Lia kini duduk berdampingan dengan sampur putih menutupi kepala mereka. Detak jantung diantara mereka sama-sama tak terkontrol. Dipta bersiap mengucapkan ijab kabul di depan penghulu dan orangtuanya serta para tamu undangan. Semoga latihan ijab kabul Dipta semalam membantu prosesi hari ini.
"Saya terima nikah dan kawinnya Adellia Azzahra bin Antoni Mahendra dengan mas kawin yang telah disebutkan, dan saya rela atas hal itu. Semoga sang maha pencipta selalu memberikan anugerah."
"Sah?"
"SAH!"
Alhamdulillah...
Acara dilanjutkan dengan bertukar cincin dan berdoa bersama. Dipta reflek menjulurkan tangan kanannya karena seperti film yang Dipta tonton dan tutorial ijab kabul yang telah dilihat, seharusnya sesi setelah bertukar cincin adalah mempelai wanita salim kepada mempelai pria. Dan mempelai pria mencium kepala si wanita. Untung saja Lia paham apa yang dimaksud dengan Dipta. Dengan perasaan canggung, Lia menyalami tangan Dipta.
Acara istimewa ini diakhiri dengan sesi foto bersama.
***
Erik, ayah dari Pradipta memberikan hadiah pernikahannya berupa sebuah rumah dan Café kepada Dipta. Erik memberi Dipta sebuah Café sebagai sumber mata pencaharian Dipta kelak serta rumah yang cukup luas untuk mereka berdua tinggali.
Dipta sadar bahwa hadiah ini merupakan suatu kode untuk dirinya agar kelak dia bisa bertanggungjawab atas dirinya sendiri dan keluarga kecilnya. Karena bagaimanapun itu adalah jalan yang Dipta ambil. Ini juga berarti dirinya sudah tidak bisa meminta uang saku kepada kedua orangtuanya lagi. Entah bagaimana caranya dia harus pandai dalam menggunakan uang dan mengelola café tentunya.
Sedangkan dari orang tua Lia, mereka menerima hadiah berbagai perabotan rumah tangga dan banyak macam kebutuhan rumah tangga yang jika dilihat itu cukup untuk menghidupi mereka selama kisaran 3 bulan. Hari ini, malam ini juga, mereka sudah mulai tidur di rumah milik mereka sendiri. Mulai dari kamar dan isiannya, ternyata para orangtua sudah mempersiapkannya. Tugas Dipta dan Lia adalah membawa barang pribadi mereka ke rumah barunya.
"Lu tidur dimana, Dip?" tanya Lia Ketika melihat Dipta sibuk mengeluarkan barang dikopernya.
"Mau pisah ranjang? Gue terserah lu aja kalau gitu," jawab Dipta.
Ya gimana ya.... Lia juga belum siap kalau harus tidur berduaan bareng Dipta meskipun itu merupakan sebuah pahala.
Lia akhirnya memilih kamar sebelah kanan. Lagipun kamar mereka hanya terpisah oleh ruang keluarga dan itupun kamar mereka saling berhadapan.
Berbeda dengan Dipta, Lia sibuk berkutat mencari buku biologinya. Dia sudah berencana akan belajar materi biologi hari ini, karena besok minggu dia ingin full istirahat. Dipta yang melihat Lia mengeluarkan buku hanya menggeleng heran. Bisa-bisanya malam pertama pernikahan mereka, Lia sibuk dengan materi pelajaran
"Gue tau lu belum nyiapin kisi kisi buat ujian sekolah nanti, daripada lu sibuk ngurusin pakaian, mending belajar bareng gue. Paling nggak suami gue ada peningkatan di beberapa mapel," kata Lia tiba-tiba.
"Suami?" tanya Dipta reflek karena terkejut dengan kalimat Lia barusan.
Lia yang menyadari itu memalingkan wajahnya malu.
"Anjir! bisa-bisanya gue bilang gitu," kata Lia lirih. Tapi dia tak boleh seperti itu, ini untuk tujuan baiknya.
"Sini dulu, Dip," pinta Lia sembari menepuk tempat duduk kosong di sampingnya. Dipta tanpa pikir panjang segera duduk di samping Lia.
"Gue bukannya nggak mau punya suami yang bodoh. Gue tau lu orangnya multitalent, gue tau kalau lu orangnya cepat tanggap. Mungkin lu nggak ada goals di akademik, dan itu sebenarnya gue fine-fine aja. Cuma, gue mau lu jadi orang yang lebih baik, gue nggak bisa ngeliat suami gue sendiri nyia-nyiain otaknya. Lu punya potensi sukses yang besar, bukannya gue sok tau, tapi tanpa sadar lu emang gitu. Bahkan, tanpa lu sadari anak-anak yang dapet rank iri sama lu, karena meskipun lu nggak unggul di akademik, tadi diluar itu lu embat semua," jelas Lia panjang lebar mengungkapkan kesan pesannya pada Dipta.
Namun, percaya nggak percaya, hati Dipta sedikit tersentuh karena perkataan Lia. Tak bisa dipungkiri bahwa Dipta memang anak yang serba bisa. Hanya saja dia seringkali tak punya tekad dalam melakukan sesuatu. Dipta juga masih diselimuti oleh perasaan-perasaan buruk di masa lalu. Jujur dia masih sakit hati dengan apa yang terjadi di masa lalu. Kata maaf saja tak bisa sepenuhnya menyembuhkan luka hati Dipta.
"Sekarang mau belajar biologi? Bentar gue ambil bukunya," kata Dipta menyetujui sembari tersenyum kearah Lia.
Lia mengangguk dan mulai membuka bukunya.
Dipta kembali duduk disamping Lia. Lia yang melihat itu, segera merapatkan duduknya disamping Dipta. Bukannya apa, ini supaya belajarnya lebih nyaman aja. Lagian mereka juga sudah sah. Jika mereka lebih dekat dari sekedar duduk saja itu sangat sah.
"Gue bukannya nggak ada pendirian atau malas belajar, cuma banyak hal yang terjadi diluar kendali gue. Gue kadang mikir, apa masa depan dan bahagia masih ada buat gue? Apakah masih ada waktu dimana gue bisa tertawa? Dan dari banyak hal itu, gue nggak tau gimana ceritanya, ternyata itu merusak pikiran gue, bikin kebiasaan gue jadi buruk banget. Gue baru sadar akan hal itu," ungkap Dipta tiba-tiba yang membuat Lia berhenti menulis ringkasan kisi-kisi pelajaran.
Entah mengapa Lia merasa puas dengan ungkapan Dipta barusan. Dipta bisa sadar sejauh ini saja merupakan perkembangan yang jauh dari seseorang ketika dirinya berada dalam fase berdamai dengan diri sendiri. Hal yang bisa Dipta lakukan selanjutnya adalah bertanggung jawab atas perbuatan yang entah itu baik dan buruk bagi Dipta. Lalu dengan itu, Dipta bisa dengan mudah melewati fase mengikhlaskan semua hal yang terjadi tanpa ada prasangka yang buruk kedepannya. Masih banyak waktu luang bagi Dipta untuk membenahi diri sendiri.
Dan tentu disamping itu ada Lia yang pastinya akan mendukung Dipta melakukan hal-hal yang terbaik.
"Gue bersyukur karena sejatinya lu bukan orang yang basic mannernya buruk. Gue bersyukur lu hanya manusia yang tersesat. Dan gue bersyukur, lu nggak terlalu jauh tersesatnya," tambah Lia.
Malam ini mereka sadar akan sesuatu. Sadar bahwa semua hal yang terjadi itu mempengaruhi setiap Tindakan bahkan kebahagiaan kita di masa depan.
ting!
+6281234567890
Lia? Lagi sibuk?
Ini aku, Yudha
21.58 ✔ ✔
KAMU SEDANG MEMBACA
PRADIPTA (END)
Teen FictionKisah sederhana tentang dua siswa yang terjebak dalam kebejatan yang Dipta buat. Ini berawal dari kesalahan orangtua dalam mendidik anaknya. Takdir yang entah baik atau buruk itu datang pada Dipta dan Lia. Tak ada yang tau bagaimana akhir dan prose...