HAPPY

38 6 0
                                    

HAI HELLO READERS
SEMANGAT MENJALANI KEHIDUPAN YANG RUMIT INI READERS
TERIMAKASIH ATAS DUKUNGANNYA
HAPPY READING READER'S
DON'T FORGET TO VOTE AND COMMENT!

■■■

"Gue masih belum siap untuk berharap sama manusia lagi."
Pradipta

●●●

"Udah kenyang?" tanya Dipta melihat Lia yang baru saja menyendokkan suapan terakhir baksonya.

Dengan pipinya yang sedikit menggembung, Lia mengangguk menjawab pertanyaan Dipta bahwa dirinya sudah kenyang. Pipinya sedikit merah merona karena hari ini Lia sangat senang. Dia selalu menantikan masa-masa seperti sekarang ini. Hanya berdua, tenang dan bahagia. Ini sangat membahagiakan melebihi ketika pengumuman SNBP minggu lalu.

"Kita pulang ya? Takut nanti sakitnya tambah parah," ajak Dipta.

Mata Lia masih sedikit sembab, dan kantungnya juga masih cukup tebal seperti tadi. Tak bisa dipungkiri, hari ini Dipta juga sedikit bahagia. Hanya sedikit, karena jujur Dipta terlalu takut untuk berharap lagi pada seseorang di depannya ini.

"Masih mau jalan jalan, boleh?"

Sial! Batin Dipta.

Bagaimana ia bisa menolak permintaan gadis manis nan lucu di depannya ini. Memang belum terlalu malam, karena ini masih jam 7. Namun, tetap saja angin malam tidak terlalu baik untuk kesehatan Lia sekarang ini.

"Tapi ga boleh kelamaan," jawab Dipta.

Mereka pun memilih untuk sekedar duduk di sekitar taman dekat tempat makan mereka. Itu tidak jauh, karena mereka hanya perlu berjalan beberapa langkah hingga sampai pada tempat yang dituju.

Cardigan yang di pakai Lia menurut Dipta itu terlalu tipis sebagai penghangat tubuh. Lia hanya memakai kaos pendek dengan balutan cardigan berbahan rajut yang tak terlalu tebal dan celana panjang. Tanpa pikir panjang Dipta melepaskan jaket kulitnya yang cukup tebal dan menyampirkannya pada kedua pundak Lia.

Lia agak terkejut namun segera membenarkan jaket Dipta yang agak miring. Tak memikirkan apapun, Lia menggandeng tangan Dipta dan mengayunkannya perlahan. Dia terlalu bahagia.

"Gini lebih hangat," kata Lia tanpa memandang Dipta yang tak sempat berkata-kata.

Mereka mencari tempat duduk dengan penerangan yang cukup.

Dengan menyenderkan kepalanya pada bahu Dipta, Lia memandang ke arah depan. Itu pemandangan kota yang sangat indah. Didepannya berdiri banyak pepohonan dan beberapa gedung yang lampunya masih menyala terang serta lampu jalan yang menambah manis suasana malam ini.

"Tadi kenapa nangis?" tanya Dipta.

"Aku mimpi kamu ninggalin aku, itu sangat menakutkan. Namun, hari ini aku sangat senang karena itu bukan hal yang nyata," jawab Lia.

Tanpa sadar air mata Lia menetes kembali. Rasanya sangat sesak hingga tak ada ruang untuk bernafas kala mengingat mimpi itu. Sungguh itu terasa sangat nyata dan menakutkan. Lia semakin mengeratkan genggaman tangannya pada Dipta.

"Itu terasa sangat nyata, dan a-aku..." tangis Lia sayup sayup kian terdengar.

Dipta memeluk Lia dengan lembut, "sssst~ aku udah disini, sama kamu. Nggak usah takut lagi, ya?" pinta Dipta.

"Dipta?" tanya Lia.

Pelukan Dipta membuat Lia merasa menemukan rumah keduanya. Itu sangat nyaman dan dirinya merasa aman ketika bersama Dipta. Pelukan Dipta hangat dan itu membahagiakan. Ini membuat Lia yakin bahwa dia memang mencintai orang ini. Jantungnya berdetak cukup kencang sedari tadi, namun Lia menyukainya.

"Aku sayang banget sama kamu. Aku nggak suka tiap liat kamu lebih banyak menghabiskan waktu sama Karin. Aku takut kamu mencintai Karin. Atau mungkinkah itu benar (?) Semoga saja tidak, " tambah Lia melirihkan kalimat terakhir namun masih terdengar oleh Dipta.

Memang benar Rifki sudah menjelaskan bahwa Karin dan Dipta kini sudah tak ada hubungan apapun. Namun tetap saja, Lia dengar hubungan mereka bukan hubungan yang singkat. Karin mungkin lebih banyak mengenal Dipta daripada Lia. Dan momen mereka tentu saja lebih banyak darinya.

Memikirkan betapa mesranya mereka sedari dulu membuat Lia semakin kesal dan sedih. Lia tau, Karin adalah orang yang baik. Bahkan Karin adalah siswi yang cantik dan rajin. Karin adalah orang yang tak pernah membosankan.

"Aku sama Karin udah nggak ada hubungan apapun. Aku menepati janjiku untuk terus bersama kamu," sahut Dipta.

Meskipun kamu tetap memilih bersama Yudha. Batin Dipta.

Dipta mengusap sisa air mata Lia. Mengusapnya lembut, menatap manik Lia lekat. Dia menyayangi istrinya. Bermula dari kesalahan yang membuatnya sampai berada di hari ini.

Dipta sudah tak ingin memikirkan bagaimana akhir hubungannya dengan Lia. Entah kedepannya Lia akan memilih Yudha ataupun dirinya, itu bayangan yang membuat Dipta tak sanggup merasakan rasa sakitnya. Sekarang Dipta juga sedang tak ingin banyak berharap. Dipta bukannya lelah, hanya saja saat ini, mengenai perjuangan untuk mendapatkan Lia, Dipta belum bisa memulainya lagi.

Dipta bukannya menyerah. Dia tetap akan membahagiakan Lia. Dipta akan berusaha agar tak ada lagi pertengkaran seperti tadi pagi. Dipta dan Yudha itu berbeda.

Bagi Dipta, Yudha bukanlah orang sembarangan. Sama halnya dengan Rifki, mereka bertiga adalah teman hidup bersama. Kemanapun selalu bertiga atau terkadang bersama anak-anak LV. Yudha adalah sahabat Dipta.

Jadi, mungkin yang parasit disini adalah dirinya.

Mungkin yang tak tau diri adalah Pradipta.

Mungkin yang memang seharusnya tak ada adalah Pradipta Arya Daniswara.

"Aku sayang kamu, Dipta," ucap Lia dalam dekapan Dipta.

Dipta tersenyum tanpa menjawabnya. Ia mencium lembut kening Lia. Dipta merasakannya, Dipta merasakan harapan itu. Bukan sekarang, melainkan lain kali.

Bulan purnama menjadi saksi dua insan yang bodoh nan rumit ini merasakan perasaan cinta.

Tunggu, ini bukan hanya bulan purnama yang menjadi saksi mereka berdua. Namun, seseorang di seberang jalan juga menyaksikan hal ini. Seseorang mengepalkan tangannya kuat melihat mereka. Matanya menatap tajam penuh amarah.

Mengapa pacar dan sahabatnya berduaan dan bermesraan malam-malam? Bukankah pacarnya ini sakit? Lalu yang ia lihat saat ini siapa?

Itu jelas jelas Dipta dan Lia.

Yudha. Dia hanya memantau, tak berniat untuk menghampiri mereka. Harusnya ini menjadi malam yang melegakan bagi Yudha. Lagi lagi realita tak semanis ekspektasi.

"Gue harap itu bukan kalian," kata Yudha lalu meninggalkan tempat ini.

PRADIPTA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang