UDAH END AJA NIHH CERITA...
BTW, TERIMAKASIH BANYAK YANG UDAH SUPPORT DARI AWAL. AUTHOR TAU SUSAH BUAT DAPETIN VIEW YANG BANYAK. TAPI AUTHOR BUAT CERITA KARENA AUTHOR SUKA, JADI BUAT YANG UDAH VOTE DAN KOMEN, MAKASIH BANYAK YAAA...
HAPPY READING AND SEE U DI CERITA BARU KU■■■
"Bener kan kata gue?"
_Rifki
●●●Kedua orang tua Lia pamit untuk pulang karena mereka harus mengerjakan suatu hal yang tak bisa ditinggalkan. Berbeda dengan kedua orang tua Dipta yang masih setia menunggu kesadaran Pradipta meskipun banyak pekerjaan menumpuk dan harus dikerjakan saat itu. Mereka tak akan mengulangi kesalahan yang sama lagi setelah berkali-kali memprioritaskan pekerjaan daripada anaknya.
"Tante sama om kalau mau bersih-bersih dulu gapapa kok. Dipta biar kami yang jaga," tawar Yudha melihat bagaimana kondisi mereka yang sudah cukup lusuh.
Lia melihat ke arah mertuanya,"Iya, bunda sama ayah kalau mau bersih-bersih nggak papa. Lia yang akan jaga Dipta," tambah Lia.
Kedua orang tua Dipta saling menatap dan setuju, mereka juga harus mengambil beberapa barang Pradipta karena kemungkinan Dipta masih harus di-opname. Mereka soalnya langsung ke rumah sakit tanpa berpikir panjang dan tanpa menyiapkan apapun. Mendengar anaknya kecelakaan, memang itu hal yang pantas untuk dilakukan.
Mereka pun pamit pergi dan menitipkan Dipta pada teman dan istrinya.
***
20 menit berlalu.
"Makan dulu, Li. Gue mohon atas nama Dipta," pinta Rifki yang diangguki oleh Yudha.
Lia masih kekeh tak mau makan. Dipta dari kemarin juga belum makan, jadi Lia pikir ia bahkan tak bisa makan dengan layak melihat kondisi suaminya. Lagipun ia belum merasa lapar dan tidak mood untuk makan.
"Gue beliin, lu pada mau makan apaan?" tawar Yudha.
"Nasi ayam aja 3, nitip ya bro," jawab Rifki.
Kini didalam hanya tinggal Rifki dan Lia serta Dipta yang masih terbaring lemah. Yudha pergi keluar untuk membeli makanan, karena jujur mereka belum makan apapun sedari kemarin. Rumah sakit ini berada di tengah kota dan jaraknya cukup jauh dari rumah Rifki maupun Yudha dan Dipta.
"Li?" panggil Rifki untuk menanyakan apa yang terjadi kemarin karena ia tau-tau Dipta sudah dilarikan ke rumah sakit setelah beberapa jam Dipta klarifikasi ke rumahnya.
"Ki, kemarin Dipta mau ngelepasin gue buat Yudha," kata Lia tepat setelah Rifki memanggil namanya.
Rifki mendekat ke arah Lia untuk mendengar ceritanya dengan saksama agar dirinya juga bisa menenangkan Lia. Lia juga pasti sangat terguncang atas kejadian kemarin. Tak mudah baginya untuk cerita seperti ini.
"Gue udah selesaiin urusan gue sama Yudha, dan gue udah tau dimana kesalahan gue," lanjut Lia dengan tatapannya yang kini kosong.
Lia menunduk dan memegang tangan Dipta dengan lembut. Ia menghembuskan nafasnya perlahan dan memaksa bibirnya agar tetap tersenyum. Ini sulit, memaksakan hal yang tak bisa ia lakukan adalah hal paling sulit.
"Ki, harusnya gue sadar lebih cepat dan segera mengakuinya. Lalu semua hal ini nggak akan terjadi, kan?" tanya Lia tanpa menatap wajah Rifki.
Benar. Tapi itu juga tak sepenuhnya salah. Rifki atau siapapun itu tak bisa menyalahkan semuanya pada Lia. Karena ia juga tak tau apa yang sebenarnya rasakan kemarin-kemarin. Jika ia tau pun ia tak akan melakukannya. Karena pasti ada banyak alasan yang membuat Lia berkali-kali menyangkal perasaanya pada Pradipta.
Saat itu ia takut akan kenyataan bahwa jika semua ini tak berakhir dengan baik. Dan mengenai Yudha, dia sangat excited mengenai cinta pertamanya. Kalian pasti tau bagaimana kalian akan bertindak jika orang yang sudah disukai sejak lama mengajakmu membangun suatu hubungan. Beberapa pasti juga akan bersikap seperti Lia.
Dari sini saja kita bisa mengambil kesimpulan bahwa tak semua manusia memiliki sifat kepekaan dan naluri yang baik. Memang ini takdir dan hal yang harus ia lalui. Mau sebanyak apapun seseorang menghindar, tetap saja yang akan terjadi maka akan terjadi. Malang juga tak berbau.
Ini proses untuk sebuah kebahagiaan. Kesulitan apapun pasti akan selalu berakhir indah. Kapan? Itu ketika seseorang ikhlas akan masa lalu dan prosesnya, maka dia bisa menjadi orang yang paling bahagia di dunia ini.
"Gue nggak mau Dipta kenapa-napa lagi, Ki. Gue nggak mau ngelepasin Dipta, tapi gimana kalau nanti Dipta yang mutusin hubungan ini? Gue takut, Ki..." Kali ini air matanya tak bisa keluar karena ia sudah menangis sangat banyak. Hanya saja matanya menyiratkan kekhawatiran dan ketakutan. Nadanya juga semakin lesu.
"Nggak," lirih Dipta.
Rifki dan Lia tanpa ragu menoleh ke arah dimana Pradipta berbaring. Dipta mendengar ucapan Lia sedari tadi sebenarnya. Ia ingin menggumamkan sesuatu namun ia belum cukup tenaga, jadi ia menunggu sejenak.
"Aku nggak bakal ngelepasin kamu," tambah Dipta dengan nada yang lemah.
"Lu mau minum?" tawar Rifki sedikit linglung.
"Kamu udah bangun?! Aku panggilin dokter," kata Lia berbarengan dengan Rifki.
Dipta bangun, dan dia masih normal.
"Lu gimana sih bego nyetirnya?! Dibilang apa-apa jangan pakai ngebut, tau kan akibatnya?! Bangsat! Bikin anak orang khawatir aja lu!" Rifki ingin sekali mencubit gemas temannya ini. Bisa-bisanya dia si king nya jalanan malah kecelakaaan.
Plak!
Lia menabok punggung Rifki sekeras mungkin, namun naas, itu hanya terasa seperti elusan bagi Rifki karena nyatanya Lia sudah kehabisan tenaga.
"Jangan marahin suami gue, Ki!" seru Lia tepat di samping telingan kanannya.
Lia segera mendekat ke arah ranjang Dipta dengan sedikit terhuyung karena menahan rasa pusingnya. Namun itu tak akan menjadi halangan buat Lia. Dia mengabaikan semua yang bergerak disekitarnya. Ia tersenyum haru menahan rasa rindunya pada Pradipta. Satu malam saja terasa sangat lama bagi Lia.
klek!
Itu suara pintu terbuka, dan Yudha adalah pelakunya. Yudha sadar apa yang barusan terjadi di dalam ruangan ini. Ia bernafas lega melihat Dipta yang sudah membuka matanya. Kalau ada apa-apa yang terjadi kepada sahabatnya ini, sungguh Yudha tak akan memaafkan dirinya.
Harga persahabatan dan percintaan itu sangatlah mahal hingga uang tak bisa menjadi barang layak untuk menukarnya. Ia tak akan membiarkan, oh tidak! Dia sudah melakukannya. Tak apa, kesalahan setiap tokoh dalam cerita selalu bisa dimaklumi karena mereka memiliki alasannya sendiri. Ini hanya tentang sudut pandang masing-masing orang.
Ini bukanlah hal naif ketika kita memaklumi setiap perbuatan buruk orang lain, kita menghukum setiap orang untuk diri kita sendiri dan orang lain. Dan semua juga memiliki bayaran yang pantas, entah itu dua kali lipatnya atau bahkan bisa lebih. Apapun itu, kembali pada tingkat ke-egoisan masing-masing.
"Kenapa?" tanya Dipta ketika melihat mereka memejamkan matanya dan membuang nafasnya bersamaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
PRADIPTA (END)
Teen FictionKisah sederhana tentang dua siswa yang terjebak dalam kebejatan yang Dipta buat. Ini berawal dari kesalahan orangtua dalam mendidik anaknya. Takdir yang entah baik atau buruk itu datang pada Dipta dan Lia. Tak ada yang tau bagaimana akhir dan prose...