YEAY!
INI BAGI AUTHOR SEBENARNYA UDAH ENDING, TAPI ENTAH MENGAPA RASANYA TIDAK ADIL JIKA MELEPASNYA BEGITU SAJA.
JADI, TUNGGU UNTUK EKSTRA CHAPTERNYA...
SEKALI LAGI, TERIMAKASIH READER'S...●●●
"Pradipta ikhlas...:
■■■Kini mereka bertiga duduk melingkari meja bundar tersebut. Lia menatap mereka berdua bergantian, karena dari 5 menit yang lalu, Yudha dan Dipta juga tak kunjung berbicara.
"Kenapa? Sekalian aja kalian berdua yang jelasin, biar makin jelas." Yudha menatap Dipta dengan tatapan nyalang.
"Gue rasa pacar lu udah selesai ngobrolnya. Kali ini gantian gue," ucap Dipta dengan nada ketus. Ia memberi kode pada Lia agar memberikannya ruang dan waktu untuk Dipta dan Yudha berbicara.
Lia menatap Dipta bingung tak tau harus bereaksi Bagaimana. Apakah Dipta salah paham? Ataukah ia ada maksud lain? Apapun itu, ucapan Dipta membuat Lia merasa sedih. Dipta tau jika itu akan menyakiti Lia. Lagipun ini akan terjadi, so, Dipta akan melakukannya sekarang.
Yudha tertawa sejenak, "pacar gue? Lu nyerahin Lia ke gue?" tanya Yudha sarkas dengan nada ejekan.
Kedua tangan Dipta yang ia simpan di bawah meja mengepal erat.
"Dari awal. Dari awal, dia emang milik lu," balas Dipta sedikit lebih tegas.
Lia yang berada di situasi menyakitkan ini memilih pergi segera. Pandangannya kabur karena air matanya yang sudah menggenang. Ia berjalan keluar kafe dengan tergesa-gesa. Ia melepaskan Yudha, namun, Dipta melepaskannya.
Yudha tak tau akan seperti ini. Ia menyilangkan tangannya di atas meja dan mendekatkan dirinya ke Dipta meminta penjelasan lebih. Harusnya Yudha membuat mereka berdua menyesal, bukan membuatnya menjadi lara.
"Gue nggak bakal jadi penghalang lagi. Kali ini gue beneran janji. Lu nggak usah mutusin Lia, biar gue aja. Karena yang harusnya dihukum itu gue. Jadi, gue minta tolong untuk terakhir kalinya, jaga Lia." Matanya memerah menatap tulus manik Yudha.
Dipta mengucapkannya dengan nada rendah dan terdengar putus asa. Ia sudah merencanakannya semalam, bahwa jauh sebelum ini semua, ia harusnya tak ada. Mengapa ia diciptakan jika akhirnya ia hanya menghacurkan hidup banyak orang. Mengapa ia tetap bernafas jika ia menyusahakan orang-orang di seklilingnya.
"Gue ikhlas," tambahnya.
Dipta tersenyum, meskipun genangan air matanya mulai menebal.
Dipta memperlihatkan giginya, meskipun matanya kian memerah.
Bahkan ia sedikit tertawa, meskipun kedua tangannya bergetar hebat menahan rasa sakitnya.
"Maksud lu apaan bangsat?! Lu nggak mikir gimana perasaan Lia?! Bangun lu!" Yudha menyentak tangan Dipta agar ia beranjak dari kursinya.
Ia sungguh tak habis fikir. Apakah Dipta kira perasaan orang di sekiatrnya itu mainan? Setelah ia memulai semuanya, ia memilih keputusan bangsat seperti ini. Ia kira ini akan membaut suasana lebih baik? Justru Yudha yakin itu akan memburuk.
Yudha marah tentu karena hubungan konyol mereka. Namun ia masih memiliki akal sehat. Karena mau segimanapun mereka memulai, faktanya mereka kini saling mencintai. Mendengar ungkapan putus asa seperti ini, membuat Yudha ingin memukul Dipta sekeras Mungkin.
"Sadar bego! Lia, dia cinta sama lu! Dan gue sama dia udah selesai, lu tau?!" bentak Yudha.
"Dia bahagia waktu sama lu," balas Dipta.
bug!
"Jadi orang jangan goblok amat! Semua orang juga tau kalau kalian saling mencintai, berapa banyak lagi yang harus nyadarin lu?!" tambah Yudha setelah memukul wajah Dipta cukup keras.
Dipta memilih untuk tidak berdiri. Ia kini berjongkok dan menatap Yudha lamat. Pukulan Yudha tak terasa menyakitkan. Tidak, ia bahkan tak merasa sakit sedikitpun.
"Lu tau? Lu tau gimana beratnya gue ambil keputusan buat nikahin Lia? Kalo gue nggak nikahin dia, hidupnya bakal gimana? Dan kalau gue nikahin Lia, gue juga nggak bisa ngejamin dia bahagia. Namun akhirnya gue milih jalan ini," ucap Dipta.
Yudha mendengarkannya. Ia juga baru pertama kali menemui sisi Pradipta yang seperti ini. Sama halnya dengan Rifki. Ia tak terlalu memerhatikan apa yang Dipta ucapkan ketika mabuk. Karena setau Yudha, semua kehidupan Dipta itu baik-baik saja.
Yudha berfikir bahwa ini adalah kenakalan remaja biasa, bukan karena stress atau apapun. Dan ternyata selama ini ia salah tangkap. Ia merasa bahwa kehidupan temannya ini sangat sempurna. Meskipun Dipta tak sepintar dirinya, akan tetapi ketika Yudha memenangkan sesuatu ia tetap saja merasa kalah dari Dipta.
Ia mengabaikannya, karena itu bukan masalah baginya. Maka dari itu mereka berteman sampai sekarang.
"Gue hampir mati di tangan bokap sendiri karena pera*os anak orang. Dari awal gue ambil jalan ini, itu artinya gue udah seluruhnya nyerahin diri gue ke orang lain. Jadi, gue nggak peduli soal apapun yang bakal terjadi sama diri gue, Bahkan ketika gue hampir dibunuh," tambah Dipta.
Yudha masih setia mendengarkan. Kini hatinya ikut merasakan apa yang Dipta rasakan. Sesakit ini?
"Gue sadar kalau gue cinta sama Lia. Tapi kembali lagi, dia punya lu juga. Lu pikir gue nggak pernah berjuang buat dapetin hati Lia? Pernah. Dan sekali lagi, gue nggak berani, karena Lia milik lu. Gue nahan setengah mati buat balas pelukan Lia. Gue nahan berbagai kata romantis buat dia." Dipta kali ini berdiri.
Menatap yakin manik Yudha, "gue ikhlas," akhir kata dari Dipta yang membuat hati Yudha mencelos dipenuhi rasa khawatir.
Dipta menepuk pundak Yudha dua kali secara perlahan, " jagain Lia."
Dan dua kalimat itu menjadi penutup percakapan panjang mereka berdua. Dipta meninggalkan Yudha yang masih melamunkan sesuatu. Ia menaiki motornya dengan bringas karena ini sangat menyakitkan. Ia sedikit lega, namun itu dominan berat. Ia sudah mengikhlaskannya.
Mulai dari ketika ia menggenggam mawar berduri dengan sangat erat, dan ia menahannya hingga berbulan-bulan agar bunga itu terbang menjauh. Ia sudah terbiasa dengan duri, bahkan mungkin ia sudah berteman. Mengikhlaskannya tiba-tiba, itu lega karena telapak tangannya tak terasa sakit lagi.
Tapi itu menyesakkan, karena ternyata mawar itu memiliki tempat tersendiri di hatinya.
Itu bahkan mengisi penuh ruangan hampa di dalam hatinya.
Dan kini, ia harus membiarkannya kosong.
Ini terasa seperti ia hidup tanpa apa dan tanpa siapa.
Tak apa, meski begitu, ini memberi beberapa pelajaran bagi Dipta. Sesuatu yang bukan miliknya, memang harus ia lepaskan atau ia akan menyakiti orang lain. Sebesar apapun perjuangan dan rasa cintanya, jika itu bukan miliknya, maka itu bukan takdirnya.
Brak!
Brak!
Truk besar dengan muatan kosong menabrak motor gede milik Pradipta.
Hari ini, tepat saat ulang tahun Lia. Di hari yang cerah ini, menyimpan banyak kisah menyedihkan. Pradipta, seorang siswa hebat dan multitalenta telah menyelesaikan misinya di kehidupan ini. Ia berhenti melaksanakan tugasnya untuk melindungi Lia. Ia berhenti berpijak pada dunia.
Terimakasih, Pradipta.
KAMU SEDANG MEMBACA
PRADIPTA (END)
Teen FictionKisah sederhana tentang dua siswa yang terjebak dalam kebejatan yang Dipta buat. Ini berawal dari kesalahan orangtua dalam mendidik anaknya. Takdir yang entah baik atau buruk itu datang pada Dipta dan Lia. Tak ada yang tau bagaimana akhir dan prose...