MALAM YANG PANJANG

42 4 0
                                    

CIEE HAMPIR END CERITA PRADIPTA, TERIMAKASIH SEBELUMNYA BUAT YANG UDAH NEMENIN DARI AWAL.
HAPPY READING AND DON'T FORGET TO VOTE AND COMMENT...

●●●
"Cinta? Itu hadiah yang paling sempurna bagi Dipta."
■■■

Hari ini Lia tidur disamping Dipta. Ini sudah menunjukkan pukul sebelas malam namun Lia sedari tadi tak berniat untuk memejamkan matanya untuk tidur. Ia masih betah mengamati tiap lekukan yang terukir di wajah suaminya. Meski sesekali meringis ketika tatapannya sampai di titik luka-luka yang ia dapat.

"Aku baru sadar, bahwa semua luka ini karena aku," lirih Lia dengan tangannya yang ia julurkan ke arah helaian rambut Dipta.

"Lucunya, aku yang selalu nyalahin kamu," tambah Lia dengan menyisiri perlahan luka Dipta.

Matanya mulai memerah. Mengapa ia baru saja sadar mengenai hal ini. Itulah yang saat ini membuatnya sangat jengkel. Ia tak tau lagi harus berada dimana dan dengan siapa. Karena kini, posisinya, Lia adalah orang yang seharusnya tak ada.

"Harusnya aku ada sebagai teman hidup kamu. Maaf, Dipta..." Lia beranjak dari tempat tidur mereka perlahan. Ia tak mau membangunkan Dipta dengan tangisannya yang berisik.

Tak lama setelah Lia keluar dan menutup pintu kamar Dipta, sang pemilik kamar terbangun. Ia sudah terbangun sedari Lia mulai menyisisri wajahnya, karena itu terasa sedikit geli.

Setelah dibuat banyak berfikir dan lelah atas pertengkaran tadi, jujur itu membuat Dipta tertidur sedikit lebih nyenyak dari biasanya. Namun, tetap saja, kala ia terbangun, semuanya terulang dan terekam kembali. Ia sebenarnya takut akan kejadian seperti itu. Ketika sesama sahabat yang selalu ada, berantem. Dan itu adalah hal terburuk yang pernah ada di hidup Dipta.

Entah mengapa, Dipta memang merasa itulah yang harus ia dapatkan. Yah....

Mau segimanapun Dipta berbuat yang menurutnya hal baik, tetap saja dia memulai hal dengan cara yang salah. Semakin ia berusaha untuk memperbaikinya, semakin ia merusak ya. Harusnya ia tak melakukannya, atau harusnya ia tak memperbaikinya. Mungkin jadi orang jahat adalah judge yang harus Dipta bawa seumur hidupnya.

Dipta berjalan perlahan untuk mengambil minuman di dapur. Rasanya haus dan tubuhnya sangat lengket karena ia berkeringat sedari tadi.

Lia yang mendengar suara dentingan gelas, segera berlari keluar. Ia melihat Dipta yang berusaha meraih gelasnya dengan kaki yang bahkan tak bisa ia tegakkan secara sempurna. Mungkin tadi kakinya terpentuk sesuatu atau apa, yang pasti, tadi Lia sempat mengobati kakinya yang ikutan berdarah dan lebam di beberapa bagian.

"Aku ambilin," tawar Lia dan segera mengambil alih gelas yang sudah berada di tangan Dipta.

Setelah mengambil minuman, ia meletakkannya di meja ruang keluarga. Lia kemudian kembali dan menopang tubuh Dipta untuk menuntunnya berjalan. Dipta pasti lapar karena sedari tadi ia belum makan.

Untungnya Lia sudah sempat pesan beberapa lauk tadi, jadi ia tak usah membuat makanan secara dadakan.

"Mau makan?" tanya Lia.

"Nggak usah, masih sakit," jawab Dipta.

Memang luka di sudut bibirnya masih terasa nyeri, bahkan ketika ia hanya berusaha untuk membuka mulutnya sedikit, itu sangat terasa sakit.

Lia mengangguk mengerti. Ia menemani Dipta di ruang keluarga ini.

"Nggak usah banyak bicara dulu, nanti tambah sakit. Kalau mau apa-apa, panggil aku. Aku nggak mau ngeliat kamu berusaha sendiri kayak tadi, padahal ada aku di rumah ini," kata Lia.

Dipta mengangguk mengerti. Mata Lia masih terlihat sedikit sembab. Dipta juga tak mau menanyakan serta membahas hal hal yang terjadi hari ini. Ia akan menyelesaikannya besok. Jadi hari ini ia akan berusaha untuk sembuh.

Lia menundukkan kepalanya tiba-tiba. Hari ini ia berharap ada keajaiban untuk menghapus cerita hari ini. Hari ini ia berharap bahwa semuanya hanyalah mimpinya. Harusnya seperti itu, tak apa meskipun itu mimpi yang sangat menyakitkan bagi Lia. Hanya saja jangan biarkan itu menjadi kenyataan dan melukainya.

Bahunya mulai naik-turun dan suara isakan mulai terdengar dari Lia. Ia lagi-lagi menangis. Hari ini ia banyak sekali mengeluarkan air mata.

Dipta yang menyadarinya, ia mengepalkan kedua tangannya erat. Haruskah ia memeluknya dan menenangkannya? Sedangkan ia sendiri tak pantas melakukan hal itu. Melihat Lia banyak menangis hari ini, membuat Dipta melupakan lukanya dan itu beralih ke perasaanya. Hati Dipta sangat sakit meski hanya melihat mata Lia yang kemerahan.

"A-aku ta-takut," tangis Lia mulai terdengar beruntun.

"Ka-kamu terluka, Di-Dipta... Ke-kenapa kamu nggak ngelawan?" Lia mulai mendongakkan kepalanya menatap manik Dipta.

Lia memeluk Dipta erat.

Dipta tak membalasnya, ia memalingkan wajahnya yang tak tahan mendengar suara-suara isakan Lia. Karena itu akan membuat Dipta ikut menangis juga.

Dipta membiarkan Lia menangis sepuasnya di pelukannya. Dan ia masih setia menahan agar tak membalas pelukan Lia.

Iya, Dipta harus segera menyelesaikannya, karena ini melukai mereka berdua. Mereka masih terlalu bocah untuk berada di hubungan pernikahan. Harusnya mereka menunggu kesiapan mental dan fisik. Harusnya mereka memulai dengan cinta dan kasih saying. Dan Harusnya mereka memulainya dengan baik baik.

Ini tentang keluarga, bukan hanya tentang pertanggungjawaban semata. Mungkin jika Dipta berfikir lebih banyak, ada jalan lain selain pernikahan. Mungkin jika ia meminta saran kepada teman-temannya, semua juga tak akan seperti ini.

Hari demi hari yang Dipta lalui terasa hukuman baginya. Meskipun ia merasa bahagia, itu tetap saja terasa berat. Pikiran dan hatinya sangat penuh akan banyak hal yang telah terjadi selama ini. Sebanyak apapun Dipta Bahagia, ia tak pernah merasakan bahagia yang sesungguhnya.

Mulai dari keluarga, cinta, hingga pertemanan dan masa depannya, itu hancur bahkan sebelum ia memulainya. Mengapa harus ia yang merasakan semua ini?

Harusnya ia disisakan sedikit waktu untuk benar-benar melepaskan rasa stressnya. Harusnya ia diberi teman untuk tempat bersandar. Bahkan Ketika sampai ke puncak masalah saja, masih belum ada yang berada di sisinya.

Mungkin ia tak pantas mengharapkan hal-hal seperti itu. Cinta? Itu hadiah yang terlalu sempurna bagi Dipta. Ia, manusia jahat yang tak boleh merasakannya.

Ia harus melepasnya.

PRADIPTA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang