CIE AUTHOR UPDATE LAGI..
BELAKANGAN INI AGAK RAJIN YA..
MUNGKIN EFEK KARENA SEDANG LIBUR JUGA DAN BANYAK WAKTU LUANG.
BTW, TERIMAKASIH ATAS VOTE AND COMMENT NYA BUAT CERITA PRADIPTA INI.
STAY AND ENJOY IN THIS STORY..
DON'T FORGET TO VOTE AND COMMENT READER'S■■■
"Mereka ini kayaknya harus dipukul kepalanya biar sadar atas kenyataan yang terjadi. Heran, ada gitu orang munafik kayak mereka."
Author●●●
"Mau kemana lagi?" tanya Lia
Jam sudah menunjukkan pukul 17.00, dan Dipta yang baru saja pulang bergegas untuk keluar lagi. Lia merasa hari ini Dipta menghindarinya. Seharusnya Lia yang harus merajuk atas kesalahan yang Dipta buat semalam.
"Keluar sebentar," jawab Dipta singkat tanpa penjelasan dimana tempat yang akan Dipta kunjungi.
Lia tak tahan lagi. Mulai dari notif pesannya yang diabaikan, hingga panggilan dan sapaan dari Lia pun Dipta tak memberi respon bagus.
"Kamu kenapa sih, Dip?! Tiba-tiba nggak pulang, nggak ngasih penjelasan juga! Dan hari ini kamu menghindar dari aku. Coba jelasin apa yang sedang terjadi?!" Lia menaikkan oktafnya dari nada normal.
Dipta yang baru saja menenteng tasnya membalikkan badan dan tersenyum. Menjelaskannya pada Lia menurut Dipta bukanlah ide yang bagus. Lucu jika Dipta mengaku bahwa ia menyukai Lia dan kini ia menyerahkan Lia pada Yudha sepenuhnya. Lagipun itu hanya menambah beban pikiran Lia.
"Aku mau belajar bareng Karin. Dia udah nunggu lama di sekolah. Boleh aku pergi sekarang?" tanya Dipta dengan nada lembut.
Tujuan utamanya adalah untuk menghindar dari Lia. Dipta takut perasaanya semakin jauh, dan resiko yang Dipta dapatkan adalah dia semakin sakit hati. Dipta takut, Dipta juga tak mau menyerah seperti ini. Bahkan belum ada perjuangan yang ia lakukan pada Lia.
Keadaan menjawab semua pertanyaan Dipta. Yah, memang dirinya yang tak pantas untuk berada diposisi ini.
"Kalau aku minta kamu tetap dirumah, bisa? Aku nggak suka liat kamu berduaan sama Karin," sahut Lia.
Egois. Dulu Lia tak pernah seperti ini. Mungkin karena ini kisah cinta pertamanya. Katanya, masa-masa remaja ini adalah untuk mencari jati diri sendiri. Melangkah untuk menjadi dewasa atau tetap diam tanpa mendapat perubahan apapun.
"Kenapa nggak suka?" Dipta sedikit berharap.
"Nggak tau. Aku juga nggak suka liat kamu meluk Karin, liat kamu ngobrol sama Karin. Jadi, dirumah aja, ya?' tanya Lia lagi.
"Cemburu?" Dipta semakin berharap lebih. Mungkin saja Lia menyukainya atau cemburu kepadanya. Jika benar, detik ini juga dia akan mengubah keputusannya semalam.
"Nggaklah! Gila aja! Aku udah punya Yudha," sangkal Lia.
Sungguh, itu berkebalikan dengan apa yang Lia rasakan. Selalu saja kemunafikan yang Lia keluarkan. Padahal jujur pun tak ada bayarannya. Bukankah dunia lebih indah jika manusia-manusianya pada jujur?
"Aku duluan. Nggak usah nungguin aku pulang, nanti aku sekalian makan sama Karin juga soalnya," akhir kata dari Dipta lalu meninggalkan Lia begitu saja.
Lia berdiri masih tak bergeming. Dipta lagi dan lagi mengingkari janjinya. Katanya kebahagiaan Lia adalah prioritasnya, nyatanya zonk. Katanya juga mau mutusin Karin, nyatanya malah makin lengket. Padahal dari awal pernikahan semuanya lancar-lancar saja. Tak ada gangguan dari Karin juga.
Dipta menyalakan motornya dan mengendarainya menuju ke sekolah lagi. Karin benar-benar sudah menunggu disana.
Karena Lia tak bisa diam begitu saja, dia sempat berencana untuk mengikuti Dipta. Namun kelihatannya malah mencurigakan. Jadi, ia urungkan saja niatnya.
Lia memilih untuk ke café EL-CAFE setelah memesan grab. Tak jauh dari rumah, sekitar 25 menit mereka sampai di café. Dengan balutan kemeja cokelat dan celana putih serta tas samping berwarna hitam membuat Lia tampak manis. Yah memang cantik dan manis dengan menggunakan apapun.
Lia belum pernah turun langsung menangani Café. Jadi ia tak tau apa saja yang Dipta kerjakan hingga cafenya sekarang sudah memiliki cabang. Yah, meskipun baru satu, namun itu patut diacungi jempol. Meskipun hanya siswa SMA, namun ternyata untuk mengembangkan suatu bisnis bukanlah hal yang mustahil.
Setelah kesana kemari mengecek dan mencoba memahami pekerjaan Dipta, yang semoga saja sedikit membantu, Lia keluar dari Café.
"Li? Ngapain disini? Sama Dipta?" tanya Rifki.
"Hah?"
Rifki keceplosan. Kesalahan yang agak fatal karena dia tidak bisa menutupinya.
"Nggak, bercanda doang gue. Mau kemana emangnya? Kok sendirian," tanya Rifki mengalihkan pembicaraan.
"Mau pulang, udah malam juga." Lia keluar dari Café sekitar pukul 19.30.
"Gue anterin sekalian mau ke market sebelah," tawar Rifki.
Meskipun Lia sebenarnya bisa mengendarai motor, namun semenjak menikah, ia tak mengendarainya lagi. Lagipun sudah ada pacar juga.
"Nggak ngrepotin?" tanya Lia.
Rifki menggeleng sebagai jawaban. Arah pulangnya pun juga tak terlalu jauh meskipun beda jalur. Membiarkan seorang wanita apalagi temannya sendiri, pulang sendirian di malam hari adalah perbuatan seorang pengecut.
Rifki perlahan menarik gas motornya.
"Ke market bentar ya," kata Rifki lalu membelokkan motornya menuju ke market.
Tunggu.
Itu Dipta dan Karin?
Mereka benar-benar belajar bersama di suatu restoran. Dan restoran ini letaknya berhadapan dengan market tempat mereka mampir.
Lia tak mengalihkan pandangannya sedikitpun. Melihat Dipta tertawa gembira di seberang bersama Karin, itu hal yang menyakitkan, lagi. Sesekali Dipta terlihat mengangguk karena penjelasan Karin. Tatapan lekat Dipta ke Karin, membuat suasana malam yang dingin menjadi panas bagi Lia.
Rifki hanya menggeleng pelan mendapati Lia yang menatap lekat ke arah restoran tersebut. Rifki tau, masing-masing dari mereka sedang membuat jarak. Tapi bagi Rifki justru ini mendekatkan. Ia tak mau ikut campur selagi mereka tak melakukan aneh-aneh. Menyadarkan mereka juga sudah Rifki coba, akan tetapi hasilnya nihil.
Jadi, sebagai teman yang baik, ia akan berperan sebagai pengamat yang bijak. Mungkin sesekali menjadi tempat sandaran mereka berdua.
"Lu nangis?" tanya Rifki terlambat menyadarinya.
Rifki tanpa pikir panjang memeluk Lia agar tak melihat kemesraan Dipta dan Karin lagi. Pelukan teman ya..
"Udah, nggak usah diliatin. Makin sakit hati ntar," kata Rifki berharap sedikit menenangkan.
Tangisan Lia justru semakin keras.
"G-gue nggak suka liat mereka berduaan, hati gue sakit banget, Rif..." kata Lia dengan nafas agak tersengal.
Rifki menepuk perlahan Pundak Lia.
"Kenapa? Bukannya lu udah punya Yudha? Harusnya liat Dipta dan pacarnya bermesraan bukan apa-apa buat lu," pancing Rifki agar Lia sedikit memiliki kesadaran.
"Lu nggak bisa milih mereka berdua sekaligus," tambah Rifki.
Setelah agak mereda mendengar kata-kata dari Rifki, Lia mengusap air matanya. Dua kali Lia menangis dihadapan Rifki dan dua kali juga Rifki menenangkannya.
"Iya, gue punya Yudha. Gue juga milih Yudha, kok!"sahut Lia.
Ingin rasanya Rifki memukul kepala Lia. Orang bodoh mana yang bisa ngomong gitu padahal udah jelas-jelas hatinya berpihak pada Dipta.
Sabar, Rif. Nggak boleh mukul cewek. Kadang orang pinter kalau ketemu cinta kayak gini, IQ-nya jadi 0. Batin Rifki.
KAMU SEDANG MEMBACA
PRADIPTA (END)
Teen FictionKisah sederhana tentang dua siswa yang terjebak dalam kebejatan yang Dipta buat. Ini berawal dari kesalahan orangtua dalam mendidik anaknya. Takdir yang entah baik atau buruk itu datang pada Dipta dan Lia. Tak ada yang tau bagaimana akhir dan prose...