YEY HARI INI UJIAN SEKOLAHNYA UDAH SELESAI. DAN INSYAALLAH AUTHOR BAKAL LEBIH RAJIN UPDATENYA..
HAPPY READING READER'S
JANGAN LUPA VOTE AND COMMENT YA..■■■
"Kata Rifkie, tanggungjawab terbaik adalah membalasnya dengan cinta dan kasih sayang, bukan sekedar simpati belaka."
●●●
Katanya, dia akan mengubah kebiasaan buruknya setelah menikah. Katanya dia akan mencoba untuk melakukan banyak hal positif sebagai gantinya. Akan tetapi, hingga pukul 10 malam Dipta tak kunjung pulang kerumah. Lia hanya bisa menunggu dan mondar-mandir tak jelas karena takut Dipta melakukan hal-hal buruk itu lagi. Atau mungkinkah sebenarnya Dipta stress memikirkan sesuatu, apapun itu seharusnya dirinya mengabari seseorang agar tak membuat orang lain khawatir.
Lia juga tak bisa menanyakan keberadaan Dipta pada teman-temannya karena itu akan menimbulkan kecuurigaan. Tapi, Dipta juga sedari tadi tak bisa dihubungi. Setelah beberapa jam Lia menunggu bahkan sampai tak sempat belajar untuk tryout besok, tak lama terdengar suara deruman kendaraan bermotor. Sudah pasti itu Dipta, suaminya.
22.46 WIB
Terdengar suara seseorang sedang membuka pintu. Lia bersiap meneror Dipta dengan banyak pertanyaan.
Dan benar saja, itu Dipta yang masih memakai seragam sekolah lengkap.
"Darimana aja? Mana yang katanya bakalan mengurangi keluyuran sampai malam kayak gini? Mana yang katanya bakal ngelindungi gue? Ini udah hamper jam 11 dan lu seenaknya aja nggak ngasih kabar apapun ke gue?!" serang Lia dengan berbagai pertanyaan sekaligus.
Dipta menghela nafas lalu duduk di kursi tamu tepat disebelahnya. Dengan membanting kasar tas dan sepatunya, Dipta mengambil nafas panjang.
"Maaf, Li. Ada sesuatu yang terjadi, dan lu tenang aja karena itu bukan hal yang buruk. Gue janji nggak bakal ngulangin hal ini lagi," jawab Dipta seadanya.
Sebenarnya dia capek, sangat capek setelah mengurus café dan hari ini banyak hal tak terduga terjadi. Dia ingin menjelaskannya pada Lia, namun dia memilih hari esok ketika capeknya sudah hilang.
"Gue nggak suka orang yang sering ingkar janji. Coba lu contoh temen lu, Yudha." Setelah mengatakan hal itu, Lia Kembali ke kamarnya dan segera tidur.
Setelah mendengar sahutan dari Lia, entah mengapa Dipta merasa sangat benci ketika dirinya dibeda-bedakan dengan Yudha. Meskipun Lia menyukai Yudha dibanding dirinya, tetap saja membeda-bedakan kualitas orang itu bukan solusi baik untuk mengajarkan sesuatu.
***
09.15 WIB
Jam istirahat pertama sedang berlangsung. Seperti biasa anak-anak LV berkumpul dikantin 1 secara bergerombol tak terkecuali Dipta, Nipo, Rifki dan Yudha. Mereka tak memesan makanan berat, hanya membeli minuman dan beberapa camilan kecil yang telah dibeli. Kecuali sang empu yang sering kentut, manusia satu ini membawa kotak bekal warna birunya yang sudah dipastikan berisi ubi rebus.
"Udah gue bilang, jangan keseringan makan ubi. Kentut lu bau!"ucap Dipta yang diangguki anak-anak lain.
"Udah gue bilangin juga ke lu-lu pada kalau gue sedang menjalani program diet, bego!" jawab Nipo sembari memutar bola matanya malas karena sering mendengar banyak complain seperti itu. Lagian makan ubi nggak ada salahnya, selain menghemat uang jajan, rasanya juga sangat manis dan enak.
"Btw, lu tadi malam sama Karin mau kemana? Gue liat lu di tempat makan kota," tanya Sello, salah satu anak LV dari kelas IPS.
Ketika Sello menanyakan hal, entah takdir atau kebetulan, Lia melintas tepat di sebelah tongkrongan mereka. Dipta sadar akan hal itu, begitupun Lia juga secara tak sengaja mendengar fakta itu.
Jadi, semalam gue sia-sia khawatir sama itu orang?! batin Lia.
Dengan berpura-pura seperti tak ada yang terjadi, Lia melengos begitu saja melewati anak-anak LV.
"Pelan-pelan goblok! Ah lu mah!" kata Dipta khawatir.
Jika benar Lia mendengar hal itu, maka Dipta telah berhasil mengecewakan istrinya.
Tak ikut campur, Yudha memilih pergi dan menyusul Lia untuk melancarkan proses pendekatannya. Terlalu banyak lelaki yang mengincar Lia di sekolah dan diluar. Jadi, Yudha harus segera melancarkan aksinya.
Melihat Yudha yang sedang menyusul Lia, itu mengingatkan pada Dipta tentang perkataan Lia semalam yang menyuruhnya untuk mengikuti orang seperti Yudha. Memang Yudha adalah orang baik dan gentleman yang kerap dikagumi dan dijadikan teladan oleh para murid disekolah ini. Ah, mungkin memang benar jika dirinya harus menirukan perilaku dari seseorang seperti temannya itu.
Tapi, kenapa gue sakit hati? Batin Dipta.
"Cemburu sama Yudha, kan?" Lagi dan lagi bisikan Rifki tepat sasaran. Curiga apa sebenarnya manusia satu ini adalah cenayang. Kalau tidak, kenapa dia selalu mengetahui apa yang terjadi di sekitarnya.
"Gue duluan," pamit Dipta tak menghiraukan perkataan Rifki. Perasaan cemburu, sedih dan sakit hati tanpa sadar menggeluti hati Dipta. Nggak mungkin, dia nggak mungkin cemburu.
Niat ingin menjernihkan pikiran, Rifki malah ikut pergi dengan Dipta. Bak seperti induk ayam dan anaknya, Rifki terlihat lucu Ketika berjalan mengikuti Dipta dibelakang.
Bukan ke kelas, namun merek ke taman belakang. Dipta pun membiarkan Rifki mengikutinya.
"Lu dijodohin sama Lia?" tanya Rifki.
Dipta berbalik menghadap Rifki yang sangat ingin tahu tentang kehidupannya.
"Bukan dijodohin, tapi karena kesalahan yang gue buat," jawab Dipta pasrah agar temannya yang satu ini tak mengganggunya terus.
"Jangan bilang lu ngehamilin anak orang?!" seru Rifki terkejut. Pasalnya dirinya tak pernah menduga penyebabnya sampai sejauh ini. Lagian bagi Rifki Dipta adalah orang yang selalu bisa dipercaya dan menjaga kodrat wanita yang seharusnya diindungi, bukannya dirusak. Rifki sangat memahami temannya ini.
"Gue nggak ngeluarin di dalem. Gue mabuk waktu itu dan bener-bener nggak sadar. Gue tau gue salah, gue juga udah ngambil kehormatan dia, jadi gue ngambil jalan buat tanggung jawab." Dipta dengan tenang menjelaskannya.
"Bangsat lu! Kalau bukan temen gue, udah gue habisin beneran, Dip. Bisa-bisanya lu berbuat hal murahan kayak gitu?! Dan kenapa harus Lia? Lu tau sendiri dia anak baik-baik, goblok!" seru Rifki sembari meredam emosinya. Bahkan tangannya sempat mengepal kala mendengar penjelasan dari Dipta.
"Iya, gue bajingan banget. Dan gue tau itu, nggak usah pakek di perjelas, itu buat gue ngingat hal murahan itu." Tanpa sadar air mata Dipta menetes perlahan. Dipta pun mengusapnya dengan kasar.
Rifki tak tega menanyakan kejelasannya lebih lanjut. Puluhan pertanyaan bahkan sudah Rifki siapkan dalam situasi ini.
"Lu nikahin Lia?" tanya Rifki perlahan setelah situasi hening beberapa saat.
Dipta mengangguk, "iya, apapun gue lakuin, karena ini menyangkut masa depan Lia."
"Lu ngebolehin Lia pacaran? Dan lu juga masih terikat hubungan sama Karin, bukan?" tanya Rifki, lagi.
"Gue udah mutusin Karin, gue nggak bohong. Tapi Karin nggak mau. Dan gue nggak mau ngatur Lia soal mau berhubungan sama siapa aja. Gue takut pernikahan gue buat Lia ngerasa dikurung, lagian nggak ada jalan lain yang bisa gue ambil selain itu. Gue tau masih banyak pertanyaan yang mau diajukan ke gue, tapi gue rasa hal ini cukup." Dipta menutup pertanyaan sesi tanya jawab.
"Lu sadar nggak sih kalau lu udah suka sama Lia?! Jadi orang jangan bego-bego amat, Dip. Gue bukannya mau ikut campur, tapi kalau lu ngelakuin hal itu cuma karena simpati, maka itu bakal ngerusak masa depan kalian berdua. Tambahin tanggung jawab lu ke Lia! Beri dia cinta dan kasih sayang yang lu punya. Itu lebih bener daripada cuman diem ngeliat dia sama cowok lain," akhir kata Rifki.
KAMU SEDANG MEMBACA
PRADIPTA (END)
Roman pour AdolescentsKisah sederhana tentang dua siswa yang terjebak dalam kebejatan yang Dipta buat. Ini berawal dari kesalahan orangtua dalam mendidik anaknya. Takdir yang entah baik atau buruk itu datang pada Dipta dan Lia. Tak ada yang tau bagaimana akhir dan prose...