KESADARAN

36 8 3
                                    

HAI HAI HAII
AUTHOR COMEBACK LAGIII
INI MEMANG AUTHOR LAMA UPDATE TAPI SEKALI UPDATE BERTURUT TURUT, xixiix
TERIMAKASIH SEBELUMNYA YANG SUDAH VOTE AND COMMENT
TETAP STAY DI CERITA INI YAA
DON'T FORGET TO VOTE AND COMMENT READER'S
HAPPY READING!

■■■

"Ini adalah teguran sekaligus petunjuk yang terlalu menakutkan untuk dijadikan kenyataan."
Adellia

●●●

Sudah sehari penuh, Lia tak kunjung bangun juga. Meski kini ia berbaring lemah, rasa yang sesak kian menjalar dalam dirinya. Bahkan dalam ketidaksadarannya, Lia masih saja menangis. Kedua matanya yang terpejam itu mengeluarkan air membasahi pelipisnya.

"Dipta~"

Berkali-kali Lia menggumamkan nama suaminya. Harusnya ia sadar sejak awal. Harusnya Lia mengakui perasaanya tanpa banyak sangkalan. Harusnya ia mendengarkan apa yang Rifki katakan. Lia bersedia hidup bersama Dipta ternyata bukan hanya karena empati.

Perasaan ini mucul perlahan entah sejak kapan. Lia tak suka melihat Dipta melakukan hal buruk. Tetapi Lia tak tau bahwa luka Dipta ternyata cukup menyakitkan. Lia tak tau bahwa Dipta menyimpan penderitaan ini sendiri. Harusnya ia menjadi penghibur Dipta, bukan menambah masalah bagi Dipta.

Tinggal serumah dan berada dalam hubungan seperti ini ternyata tak cukup menyelesaikan masalah.

Kedua mata Lia mengerjap pelan.

"Dipta?" panggil Lia.

Tidak, itu bukanlah Dipta. Kini, yang berada di samping Lia adalah Rifki, sahabat Dipta. Lia kembali menajamkan matanya yang agak buram. Benar, itu bukan Dipta.

"Dipta dimana?" Lia bertanya dengan tatapan kosong dan air matanya yang lagi-lagi menetes tanpa seizinnya.

"Gue nanya, Dipta dimana, Rifki?!" Lia menaikkan satu oktafnya.

Tangisan Lia kini sudah tak bisa ia tahan.

Rifki dalam keadaan capek dan pusing karena beberapa hal belakangan ini. Namun, itu sudah tak penting lagi. Rifki kini sudah berada di hadapan Lia, istri sahabat bajingannya ini.

"Kenapa? Baru sadar lu?" jawab Rifki asal.

"JAWAB GUE RIFKI! GUE NGGAK MAIN-MAIN!" bentak Lia mendengar jawaban dari Rifki. Itu bahkan bukan jawaban, melainkan pertanyaan.

"Ini pasti mimpi kan, Rif? D-Dipta ninggalin gue, d-dia kecelakaan dan udah ng-nggak bisa" tangisan menyakitkan itu membuat Rifki menghela nafas. Mata Lia makin sembab, kantung matanya sudah terlihat membesar.

"Lu kenapa nangis? Bukannya lu suka sama Yudha. Harusnya lu nggak sedih kayak gini kecuali lu suka sama Dipta." Rifki sedikit menentang dan memancing Lia.

Lia menelungkupkan kakinya dan menangis sekeras mungkin. Dia menyesalinya. Itu sakit. Itu menyesakkan. Kenapa tak ada kesempatan bagi dia dan Dipta untuk merasakan bahagia yang lebih lama. Kenapa juga ia melakukan hal bodoh ini.

"Tiap kali Dipta mengambil langkah buat ngejar lu, detik itu juga Dipta melangkah mundur ngeliat kebahagiaan lu ternyata bukan dia. Dipta udah nggak ada hubungan apapun sama Karin. Dipta menepati keputusannya. Dia emang bodoh ngebiarin istrinya pacaran sama orang lain. Udah sakit juga malah nyari penyakit," tambah Rifki membiarkan Lia menangis sejadi-jadinya.

Yah, bodoamat soal menjadi baik atau nggak. Sudah Rifki kasih tau juga, bahwa hal tabu harus di perjelas. Tak ada untungnya menjadi orang munafik apalagi itu untuk dirinya sendiri. Rifki mengatakan ini karena Lia terlalu keras kepala.

Terkadang Lia sadar bahwa ia menyukai Dipta tapi dengan sekeras mungkin Lia menyangkalnya. Entah mengapa ia menjadi sebodoh ini.

"Gue mau ke makam Dipta, bisa anterin gue?" tanya Lia lesu.

brrrmm....

brrrrmmmm....

"Makam apaan si kutil?! Tuh suara motor Dipta," Rifki beranjak dari kursi di sebelah kasur Lia dan pergi keluar.

Baru saja dirinya pulang sekolah, ia di suruh Dipta untuk ngecek keadaan Lia. Rifki yang goblok bin lemah ini merasa capek. Tapi ia teteap melakukannya. Dan yah... Rifki menemukan Lia pingsan di dalam rumahnya.

Ini mana tubuh Lia berat lagi. Untung saja Rifki pernah olahraga meski itu hanya di sekolah.

"Sekarang tau kan lu sukanya sama siapa? Udah di kasih petunjuk lewat mimpi, kalau lu masih aja nyangkal, semoga ga beneran terjadi," ucap Rifki sebelum benar-benar keluar dari kamar Lia.

Lia masih mencerna ucapan Rifki.

Tanpa pikir panjang lagi, Lia mencari Dipta. Ia tak peduli dengan rasa pusingnya. Ia berlari memastikan bahwa ini bukanlah kenyataan.

Dipta baru saja menutup pintu dan ia dikejutkan dengan Lia yang berdiri dengan tersenyum lebar di depannya dengan jarak yang agak jauh. Mungkinkah ada hal yang terjadi?

brak!

Lia tanpa ba-bu-bu melompat dan terjun ke dalam pelukan Dipta. Dipta terhuyung ke belakang beberapa langkah. Ia menahan agar tak jatuh dalam keadaan bingung. Hal ini tak luput dari pandangan Rifki yang sedang duduk di ruang keluarga.

"Hei? Kenapa?" tanya Dipta. Sebenarnya ia merasa sedikit sesak karena pelukan Lia sangat erat.

"Jangan pergi gitu lagi. Jangan ninggalin aku sendiri lagi, Dipta." Lia menangis takut dan haru dalam pelukan Dipta.

Dipta menaikkan alisnya sebagai kode bertanya pada Rifki. Rifki hanya mengendikkan bahunya tak tau.

"Lu apain, Rif? Kok nangis gini?" tanya Dipta sembari berjalan seperti koala yang sedang menggendong anaknya.

"Tanya sendiri noh! Mana bayarannya! Laper gue dari tadi nungguin lu," Rifki menodong bayaran pada Dipta seperti yang sudah ia janjikan.

Setelah Dipta meninggalkan rumah tadi karena emosi dan marah, berkilo-kilo meter Dipta lalui dan tiba di tengah perjalanan, ia merasa ini tak Benar. Istrinya belum sepenuhnya sembuh, Harusnya ia tak meninggalkan Lia sendiri. Ia lebih takut terjadi apa-apa dengan Lia daripada memerdulikan emosinya.

Nah, dari situ, ia meminta tolong Rifki untuk kerumahnya mengecek keadaan Lia. Karena Dipta butuh beberapa jam untuk sampai kerumahnya.

"Nanti gue transfer. Thank you, bro!" ucap Dipta.

Rifki mengangguk dan bergegas pulang karena ini hamper malam.

"Baek-baek dah lu berdua. capek sendiri gue liatnya," kata Rifki sekaligus pamit undur diri dari rumah pasangan rumit ini.

"Kenapa, Li? hmm?" tanya Dipta mendudukkan Lia yang masih setia bergelantung di gendongannya.

Dipta mengusap air mata Lia dengan lembut. Ia merasa bersalah tentu melihat Lia seperti ini. Beruntung ia tak pergi terlalu jauh dan beruntung juga ia memiliki Rifki.

"Udah jangan nangis lagi. Kenapa? Pusing ya?" tanya Dipta lagi.

Lia menggeleng lucu. Ia kini sama sekali tak merasa pusing lagi. Memang cinta adalah obat dari segala obat.

Dipta tersenyum, "Laper? Mau cari makan?" tanya Dipta mendengar suara geraman dari perut Lia.

sroot!

Lia menarik ingusnya lalu mengangguk. tentu saja lapar, pagi tadi ia hanya makan beberapa suap saja. Mana ada acara mimpi kayak gitu lagi. Sangat menguras tenaga dan perasaan. Lia namun bersyukur itu hanyalah sebuah mimpi. Kedepannya, ia ingin bahagia dengan orang yang sedang berada di depannya ini.

Dan sesegera mungkin Lia akan mengungkapkannya pada Dipta bahwa ia menyukainya.

PRADIPTA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang