TETAP PEDULI

50 8 2
                                    

CIE YANG MALAM LEBARAN UPDATE WATTPAD...
MINAL AIDZIN WAL FAIDZIN READER'S
MALAM PENUH BERKAH DAN SEMANGAT MENULIS
SEMOGA READER'S JUGA SEMANGAT MEMBACA
BTW, JANGAN LUPA VOMENT YAA GUYS..
ENJOY IT

■■■

"Nyatanya aku gagal menciptakan jarak karena rasa sayangku lebih besar dari sekedar mengikhlaskanmu."
Pradipta

●●●

Wait?

Bagaimana Rifki bisa tau rumahnya dan Dipta?

Awalnya Lia berfikir dirinya akan diantar ke rumah orang tuanya, namun jalan yang dilalui Rifki menuju kearah rumahnya dan Dipta. Dari awal Lia sudah curiga jika orang ini sudah tau mengenai pernikahannya dengan Dipta. Rifki terlalu tau soal perasaan Lia, dan itu bukan suatu kebetulan.

"Lu tau?" tanya Lia setelah Rifki dan dia sampai di depan rumah 'baru'nya.

Rifki sebenarnya melupakan hal ini. Dia begitu ceroboh menwarakan Lia tumpangan dan mengantarkannya ke rumah mereka. Tak apa. Bangkai yang di sembunyikan lama-lama juga akan tercium baunya. Mungkin ini saatnya dia memberitahu kepada Lia.

"Iya. Tadinya gue mau rahasiain ini dari lo, sesuai perjanjian gue sama Dipta. Sorry, Li, lu jangan marahin Dipta, gue yang mau tau soalnya," ungkap Rifki.

Lagipun Lia sudah tak terlalu terkejut.

"Li? Badan lu panas," ucap Rifki karena sentuhan tak sengaja barusan.

Bibir Lia pucat, dan tubuhnya panas. Rifki khawatir terhadap temannya yang satu ini. Mana dirumah sendirian lagi. Tak ada jalan lain selain menelpon Dipta agar segera pulang. Gila saja jika dirinya menemani Lia semalaman hingga Dipta pulang. Rifki masih waras ya..

Setelah mengantar Lia masuk, Rifki segera memberi kabar pada Dipta. Dipta tak bisa mengabaikan mengenai hal ini tentu saja. Mana ada move on secepat ini. Meski keputusan Dipta tampak bodoh, Rifki tau apa yang Dipta rasakan sebenarnya.

"Mau minum apa, Rif?" tanya Lia menawarkan minuman pada Dipta karena sebenarnya dirinya belum terlalu merasakan pusing yang amat.

"Air putih aja, Li. Gue udah panggilin Dipta, dia lagi on the way pulang. Lu tenang aja," jawab dan jelas Rifki.

Jujur Lia memang lebih tenang jika bersama dengan Dipta. Rasanya ketika bersama Dipta, Lia benar-benar menemukan obat penenangnya. Lia merasa Dipta adalah rumahnya. Tentu saja secara nyata, dibanding Yudha, Diptalah pemenangnya. Hanya saja terlalu banyak ini itu untuk lebih jujur satu sama lain.

Lia segera mengambil air putih dan beberapa camilan untuk disajikan kepada temannya itu.

Sekitar 30 menit, suara motor Dipta bergema di garasinya. Itu menandakan bahwa Dipta sudah pulang. Sedikit lama dari waktu yang seharusnya karena Dipta mampir ke apotik terlebih dahulu.

Mengenai Karin? Tentu saja Dipta mengantarnya terlebih dahulu. Kebetulan juga saat Rifki mengabari hal ini, sesi belajar mereka sudah selesai.

"Lia mana?" tanya Dipta pada Rifki yang sedang duduk di ruang tamu.

"Katanya lagi buat nasi goreng," jawab Rifki.

Tanpa basa-basi lagi, Dipta menghampiri Lia ke dapur. Benar saja, Lia sibuk meracik di dapur. Lagi sakit juga masih sempat-sempatnya buat makanan.

"Sini aku gantiin. Kamu istirahat aja, tadi udah aku beliin obatnya. Di minum sekalian, biar nggak makin parah," titah Dipta.

Sebelum Lia melepas apronnya, Dipta mengecek suhu Lia dngan menempelkan tangannya ke jidat Lia. Istrinya sakit, dan dia baru sadar. Mengapa kondisi tak mendukungnya. Disaat Dipta ingin menciptakan Jarak, namun kondisi ini membuat Dipta tak bisa mengabaikan Lia.

Dia sangat khawatir. Bahkan dijalan pulang tadi, Dipta mengendarai motornya diatas rata-rata.

"Pusing?" tanya Dipta.

Lia memeluk Dipta. Sangat erat.

Lia tak ingin Dipta pergi lagi.

Sudah cukup belakangan ini Dipta pulang terlambat. Lia sudah menahannya, menahan ketakutan dan menahan suatu perasaan yang tak bisa didefinisikan. Lia merindukan sosok Dipta waktu pertama kali bertemu. Lebih banyak ngobrol dan sesekali main ke café bareng. Kalau dilihat memang mereka berdua belum pernah pure dating bersama. Selalu keluar ketika ada hal yang dibutuhkan.

Dipta terkejut tentu. Dia senang dipeluk seperti ini. Tetapi pikiran mengenai Yudha dan Lia yang ugh! Dipta tak bisa berada dihubungan seperti.

Dipta membalas pelukan Lia dengan lembut. Mengelus-elus punggungnya perlahan dan menikmatinya. Biarkan Dipta memiliki momen ini, meskipun hanya beberapa menit.

"Ke kamar ya? Badan kamu panas banget, Li." Dipta segera memapah pelan Lia menuju kamar Lia.

Dipta keluar untuk menemui Rifki, dia melupakan sejenak keberadaan Rifki. Prahara rumah tangga muda ini memang sedang gencar dilanda masalah. Dan saksi dari semuanya rata-rata adalah si Rifki.

"Gue mau pamit pulang dulu, bro! Udah malam juga, bilangin ke Lia, semoga cepat sembuh," pamit Rifki Ketika melihat Dipta keluar.

"Lia udah buatin nasi goreng masa mau pulang?" kata Dipta.

Rifki tertawa sebentar, "lu rawat Lia aja dulu, nasi gorengnya buat lu sama Lia. Gue duluan," Rifki beranjak dari tempat duduknya dan menepuk pundak Dipta sebagai salam perpisahan ala-ala.

"Thank you udah nganter Lia pulang. Ati-ati, bro!" kata Dipta berterimakasih.

Rifki sempat menceritakan sedikit kronologi mengapa dirinya bisa berada dirumahnya dan bersama Lia. Namun, Rifki tak menceritakan bagian Lia yang melihat Dipta dan Karin sedang belajar bersama. Rifki Sebenarnya berniat untuk bercerita, tetapi waktunya saja yang tidak pas.

Setelah mengantar Rifki keluar, Dipta bergegas merapikan dapur sebentar dan mengambil obat serta air putih untuk dibawa ke kamar Lia. Hampir semua jenis obat demam Dipta beli, dan tiap obat bukan satu atau dua tablet, akan tetapi satu jenis obat satu pack. Terserah orang kaya saja...

"Minum dulu." Dipta membantu Lia untuk duduk. Panasnya semakin tinggi, Dipta sangat khawatir.

"Temenin tidur..." pinta Lia lemah. Lia tak tau kalau sakitnya semakin parah seperti ini. Lia sedari siang tadi sudah pusing, namun ia mengabaikannya karena Lia kira itu adalah pusing yang nantinya juga bakal sembuh secepatnya. Ternyata bertambah parah.

Harusnya dia mengenakan jaket waktu ke Café agar tidak menambah parah demamnya. Namun ini sudah terjadi.

Dipta mengambil kursi di ruang keluarga untuk menemani Lia, namun dicegat oleh Lia.

"Tidur disini," tambah Lia.

Dipta mengernyit sedikit heran dan dengan ragu naik ke ranjang Lia.

"Nggak papa?" tanya Dipta memastikan. Mungkin saja Lia hanya mengigau, jadi ngomongnya nggak jelas.

"Jangan pulang larut lagi, aku takut sendirian, Dipta," ungkap Lia. Air matanya menetes dengan mata tertutup karena sedikit tertidur.

Rasanya lebih sakit melihat Lia menangis seperti ini. Rasanya lebih sesak melihat Lia terbaring sakit seperti ini. Sejenak Dipta melupakan masalah yang ada. Dia tak ingin Lia sakit lagi.

Dipta berbaring di samping Lia dengan tetap menjaga jarak.

Lia berbalik dan memeluk Dipta yang membuat mereka tidur tanpa Jarak sedikitpun. Lagi-lagi Dipta terkejut dengan perlakuan Lia. Dan lagi-lagi Dipta membalas pelukannya. Dipta dengan lembut mengelus pucuk kepala Lia dan mengecupnya pelan. sangat pelan agar Lia tak sadar.

"Cepat sembuh, Li."

PRADIPTA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang