AUTHOR SEDANG BERPROSES MEMBUAT EKSTRA CHAPTER UNTUK CERITA KALI INI. BERI KOMEN KALIAN UNTUK ENDINGNYA NANTI YA GUYS..
HAPPY READING!●●●
"Disini, masa lalu yang buruk adalah akibat dari masalah yang terjadi."
■■■"Apa?" tanya Rifki melihat temannya yang berjalan tertatih ini berada di depan pintu rumahnya.
Dipta memilih untuk menjelaskan semuanya ke Rifki terlebih dahulu karena ia rasa ini akan selesai cepat. Jika ia menjelaskannya pada Yudha, maka itu akan memakan waktu yang sangat lama, karena merekalah pemeran utamanya.
"Menurut lu apalagi yang bisa gue lakuin?" pinta Dipta.
"Gue nggak mau-"
"Gue tau lu paling nggak suka sama hal-hal yang tabu kayak gini. Gue tau, masih banyak pertanyaan yang lu simpan saat ini. Gue nggak peduli lu mau dengerin gue atau nggak. Sebelum gue beneran ngelepas semuanya, lu harus tau apa yang terjadi, meskipun itu nggak bisa lu terima," potong Dipta ketika ia merasa bahwa Rifki tak ingin mendengarkan penjelasannya.
Rifki menghembuskan nafasnya secara kasar. Ia tau cepat akan lambat Dipta akan mendatanginya dan menjelaskannya. Ia tau tabiat seorang Pradipta. Meskipun ini terlalu cepat menurutnya. Tapi, lebih cepat memang lebih baik.
Rifki pun mempersilakan Dipta masuk. Mereka memilih untuk membicarakan hal ini di balkon belakang rumah Rifki. Orang tua Rifki juga sedang tidak berada di rumahnya. Hanya ada beberapa pegawai kebun untuk merawat rumahnya dan satu satpam penjaga.
"Iya, gue tau gua salah. Dari awal juga gue tau, Ki. Lu kira gue ngambil langkah sejauh ini tanpa mikir panjang? Gue udah ngerusak Lia, gue ngerusak masa depan Lia. Gue juga ngerusak kisah sekolah dia," jelas Dipta.
Rifki masih belum mau mendengarkannya. Ia masih tak peduli dengan segala bacotan Dipta. Karena bagi Rifki, apapun yang Dipta jelaskan, itu tetap salah dan tak bisa ia toleransi. Yang ada di benak Rifki hanyalah Dipta merusak kehormatan Lia. Temannya membuat masalah besar seperti ini, dan itu sangat mengecewakannya.
Harusnya dari awal ia curiga. Tak mungkin keluarga Dipta dan Lia saling menjodohkan anaknya. Di lihat dari latar belakang keluarga Lia, seharusnya Lia dibebaskan untuk memilih siapa pasangannya. Dan dari latar belakang keluarga Dipta, seharusnya mereka masih berproses untuk mendidik Dipta. Iya, kira-kira seperti itu.
"Gue mabuk karena hari itu nggak ada satupun orang bahkan keluarga gue sendiri, ngucapin ulang tahun ke gue. Keluarga gue lengkap, tapi gue nggak pernah ngerasa memilikinya. Bahkan dengan kejadian ini dan sampai saat ini pun gue ngerasa nggak pernah punya sandaran," tambah Dipta.
Rifki kali ini menoleh saat mendengar bahwa ia tak merasa tak pernah memiliki sandaran. Dipta sebenarnya bukanlah tipe yang seperti ini. Ia hanya seringkali berbicara omong kosong tentang keluarga dan dirinya ketika mabuk. Jadi, Rifki hanya tau sedikit hal, itupun saat Dipta mabuk. Entah dia sadar atau tidak selama mabuk seringkali berbicara tentang keluarga, namun, memang ia tak terlalu menggubrisnya.
"Banyak hal yang terjadi saat keputusan itu gue ambil. Gue juga nggak ngelarang Lia bersama siapapun meskipun kita terikat. Gue jagain dia, gue bebasin dia, gue bahagiain dia. Itu udah janji gue sama semua orang bahkan diri gue sendiri," kata Dipta.
Resiko? Bukankah ini adalah resiko Dipta? Itu artinya Dipta menyerahkan semuanya pada keputusan itu. Dari awal ia sudah menyerahkannya untuk hidup Lia. Mulai dari kehidupan pribadi, kebahagiaan, keseharian bahkan sampai perasaannya. Namun, kendalanya ialah ia ternyata tak bisa melakukannya.
Tiap janji yang Dipta ucapkan, tiap kesepakatan yang harusnya ia pegang, ia baru sadar ternyata ia tak melakukannya dengan baik. Ini hal yang sangat lucu. Seperti janjinya, ia berjanji untuk membebaskan dan memberi Lia kebahagiaan, itu hilang begitu saja kala ia memiliki perasaan pada istrinya. Ia serakah, Dipta menginginkah hal yang lebih untuk memiliki Lia.
Dipta tertawa, namun matanya memerah berkaca-kaca, "Dan gue gagal, Ki. Harusnya gue nggak naruh perasaan sama Lia. Kalau Lia emang bahagia sama Yudha, gue nggak bakal jadi penghalang diantara mereka."
Rifki menghembuskan nafasnya perlahan, "Lu nggak gagal. Beberapa kali gue mergokin Lia nangis, lu tau kenapa alasan dia nangis? Dia nangis tiap kali liat lu bersama Karin. Dan waktu Lia mimpi buruk soal lu, lu liat sendiri kan gimana takutnya dia kehilangan lu, dan dari kemarin pun lu juga tau gimana khawatirnya Lia," ungkap Rifki.
Dipta lagi-lagi tertawa. Ia merasakannya, namun tiap kali ia memikirkan betapa bahagianya Lia ketika bermain bersama Yudha, saat itu pula ia menyangkalnya. Karena meskipun ia memiliki banyak celah dan kesempatan, tetap saja semua terasa salah dan gagal.
"Lu juga harusnya liat betapa bahagianya dia waktu bersama Yudha. Gue bikin Lia nangis, sedangkan Yudha bikin dia bahagia. Dari sini aja gue harus sadar diri," sahut Dipta.
Dipta memalingkan wajahnya ketika Rifki menatap Dipta lekat. Kenapa sulit sekali menyadarkan satu orang ini? Rifki tak habis pikir, banyak momen yang Dipta dan Lia miliki, dan Rifki yakin seribu persen bahwa pasti muncul perasaan cinta di antara keduanya.
"Gue udah selesai, gue duluan," pamit Dipta.
"Gue harap lu nggak gegabah ambil keputusan buat hubungan lu sama Lia," kata Rifki sebelum Dipta benar-benar pergi.
Rifki juga salah. Itu sah-sah aja bagi dia untuk memukul Dipta telak. Hanya kemarin sangat keterlaluan baginya. Harusnya 1 pukulan itu sudah cukup. Ia tak tau bahwa alasannya akan sangat sekonyol ini. Alasan yang konyol karena dari awal ini bukan salah Dipta. Tapi salah orang dewasa dalam mendidik anaknya.
Tak ada yang salah dalam perangai Dipta. Sudah berkali-kali dijelaskan bahwa Dipta orang yang baik dan bertanggung jawab. Bahkan ia bisa melakukan apapun ketika ia membuat satu kesalahan. Itu adalah Dipta yang Rifki kenal.
Dari sini, Rifki memaafkan perbuatan Dipta. Dan ia masih belum memaafkan dirinya sendiri. Ia tak bisanya bersikap gegabah waktu itu. Ia terkejut ketika tau seorang Dipta melakukan hal seperti itu. Dan tanpa memikirkan apapun lagi, ia memukulnya berkali-kali tepat saat Dipta butuh pertolongan.
Semua hal yang terjadi sampai hari ini, adalah kesalahan orang dewasa. Orang dewasa yang seringkali sudah merasa melakukan yang terbaik, nyatanya hanyalah manusia egois yang baru pertama kali hidup. Mereka membuat peraturan sendiri untuk dunia ketika dunia sudah memililki etikanya.
Bahkan meskipun hanya janji untuk berbuat baik, namun untuk masalah perasaan dan fikiran, tak ada yang bisa mengalahkannya. Meskipun orang-orang dewasa berusaha melakukan hal baik, itu tetap saja salah karena mengatur kehidupan orang lain, baik itu anaknya sendiri.
Disini, masa lalu yang buruk adalah pemicu kejadian hari ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
PRADIPTA (END)
Teen FictionKisah sederhana tentang dua siswa yang terjebak dalam kebejatan yang Dipta buat. Ini berawal dari kesalahan orangtua dalam mendidik anaknya. Takdir yang entah baik atau buruk itu datang pada Dipta dan Lia. Tak ada yang tau bagaimana akhir dan prose...