Bab 25

19.8K 869 27
                                    

Hai hai hai..
Jumpa lagi..
Adakah dari kalian yang menanti-nanti akan nasib Dimas??..
Ada kannn.. masa enggakkk..
Kalo nggak ada ya.. adain aja deh. Aku sedikit memaksa 😂

Yuk tekan 🌟 nya dulu sebelum membaca. Yang ini aku nggak memaksa kok,  jadi aku serahkan kembali kepada hati nurani kalian😁.

Happy reading guys . . .

*
*

RUDI turun dari mobil dengan langkah tergesa-gesa. Mengagetkan mbok Rumi yang sedang menyapu halaman rumah.

"Amel sama mamanya udah pulang mbok, itu mobil di depan punya siapa. Ada tamu ya di dalem." tanya Rudi memberondong.

Mbok Rumi yang baru sadar akan pertanyaan majikannya pun menjawab, "sudah tuan, mobilnya punya tamunya non Amel, orangnya ada di dalam tuan."

Jawaban mbok Rumi hanya di balas anggukan oleh Rudi.

Rudi pun menuju pintu masuk dengan langkah sedang, tidak terburu seperti sebelumnya. Di depan pintu ia berhenti, mengamati siapa tamu yang kini sedang duduk di hadapan putrinya. Seseorang itu tampak tidak asing dari belakang. Benar ia mengenalinya, itu adalah orang yang sedang ia cari keberadaannya sekarang.

Rudi pun dengan spontan menarik kaos si tamu dari belakang hingga posisi menjadi berhadapan. Ia layangkan tinju hingga mengenai pipi sebelah kiri si tamu yang tak lain adalah Dimas. Dan hal itu tidak ia lakukan sekali.

Amel yang melihat hal itu hanya bisa teriak dan mencoba menghentikan aksi sang papa. Beruntungnya sang mama yang dari dapur cepat masuk ke arah ruang tamu dan membantu Amel memisahkan Dimas dari amukan papanya.

Tatapan tajam dari mata Rudi seakan menghakimi Dimas untuk menjelaskan secara rinci duduk awal mula permasalahan.

Untung saja Dimas tidak melawan ketika papanya memukulnya, karena jika Dimas melawan tentu papanya akan kalah tenaga.

Dan setelah amarah papanya reda, barulah sekarang mereka berkumpul di ruang keluarga dengan posisi Amel yang sedang membantu mengobati luka di wajah Dimas akibat pukulan papanya tadi.

Suasananya masih hening, tidak ada yang bersuara dari keempatnya. Hanya desisan dari Dimas akibat rasa perih dari pemberian obat yang sedang Amel oleskan ke wajahnya mengisi keheningan itu.

"Ekhem.." Dimas mencoba membasahi tenggorokannya, "saya rasa dengan kemarahan pak Rudi kepada saya, pak Rudi sudah mengetahui ceritanya. Jadi apakah masih perlu saya ceritakan kembali."

Amel masih diam di tempat, sedangkan mamanya yang masih belum tau mencoba mencerna situasi yang membuat suaminya itu meledakkan amarah.

"Brengsek kamu ya.. kamu sudah meniduri putri saya sampai dia hamil dan kamu lari dari tanggung jawab." Balas Rudi dengan suara tegasnya.

"Saya akan tanggung jawab jika itu memang benar terbukti anak saya, tapi putri bapak yang menolak untuk melakukan tes DNA pada janin. Jadi saya tidak berani menanggung resiko juga dengan menikahi wanita hamil yang masih belum pasti mengandung anak saya." Jawab Dimas lancar. Ini bukan rencana awalnya. Ia datang ke rumah Amel bukan untuk mengatakan hal ini, tapi entahlah.. mungkin karena ia merasa terdesak jadi sebisa mungkin ia merasa harus tetap mempertahankan harga dirinya.

"Lagian.. saya dan bapak tidak tahu kan setelah Amel tidur dengan saya bisa saja dia tidur dengan pria lainnya tapi dia bungkam." tambahnya.

Plakk...

Luka pipi Dimas akibat tonjokan dari Rudi masih belum kering obat olesnya, namun lagi-lagi pipi mendapatkan serangan tamparan dari wanita yang duduk di sebelahnya itu. Sudut bibirnya pun terlihat robek hingga sedikit darah mulai terlihat.

"Sssttt..." Dimas terlihat mengadu dan segera meraih tisu di depannya untuk menghalau darah di sudut bibirnya itu.

"Kamu pantas mendapatkan itu. Bagaimana bisa kamu menuduh putri saya melakukan perbuatan kotor itu berulang-ulang." Ucap Mutia geram mendengar jawaban anak teman arisannya itu.

Tangan Amel masih gemetar setelah menampar mulut lelaki di sampingnya itu. Sedangkan papanya, Rudi terlihat menghembuskan nafas kasar dan menahan diri agar tidak memukul lagi pria itu hingga babak belur.

"Baik, saya akan tanggung jawab. Saya akan menikahi putri anda. Saya akan melakukan tes DNA setelah bayi itu lahir dan jika memang terbukti bukan milik saya, saya akan menceraikan putri anda detik itu juga." Ucap Dimas dengan tegas memaku kan pandangannya ke arah Rudi tanpa sedikit pun menoleh ke arah Amel.

"Oke. Kamu bawa orang tua kamu ke sini besok. Dan pernikahan kalian harus berlangsung di bulan ini. Sekarang kamu boleh keluar dari rumah ini." Jawab Rudi cepat.

"Pa..." Amel yang mendengar keputusan papanya hanya bisa menggeram putus asa.

Dimas pun bangkit dari duduknya dan pamit untuk pulang.

Setelah kepergian Dimas, Mutia menatap suaminya mencoba meminta penjelasan dari keputusan cepat suaminya itu.

"Apa ma.. yang papa lakukan itu udah benar. Amel hamil. Semakin hari perutnya akan semakin membesar dan hal itu tidak bisa terus-terusan kita tutupi, jadi dia butuh sosok suami." Menyadari wajah pucat putrinya, Rudi buru-buru menyanggah kalimatnya.

"Bukan, bukannya papa malu Mel, tolong kamu jangan salah paham. Kamu butuh sosok suami itu demi kebaikan kamu dan cucu papa nanti kedepannya. Karena stigma sosial masyarakat itu kejam dan tak lekang oleh waktu. Papa takut anak kamu nanti kedepannya mendapat ucapan-ucapan buruk itu. Tolong kamu renungkan ya Mel. Papa harap kamu setuju untuk di nikahi Dimas."

Setelah mengucapkan itu, Rudi beranjak untuk menuju ke kamarnya dan Mutia mendekati sang putri untuk memberikan sebuah pelukan hangat.

*

*

Dimas sampai di rumahnya ketika hari sudah mulai petang. Niatnya setelah masuk ke dalam rumah ia ingin segera membersihkan tubuhnya agar rasa pegal akibat flight nya dari Bali pagi ini di tambah kejadian di rumah Amel yang sukses membuat pikirannya semakin carut marut tadi segera hilang. Namun tampaknya niat itu tidak bisa langsung terealisasikan.

Di ruang tengah ia sudah di sambut mimik muka marah dari papi nya. Sedangkan sang mami terlihat menangis sesegukan di pelukan sang adik.

Tanpa ada kata-kata pembuka, Tama yang melihat putranya mendekat langsung menerjang sang putra. Dimas yang tak siap dengan terjangan yang di berikan papinya langsung jatuh tersungkur. Rupanya tak sampai cukup di situ, Tama menarik kerah leher Dimas dan kembali memberikan pukulan kepada putranya.

"Papi sama mami gak pernah mengajari kamu jadi lelaki brengsek yang niduri perempuan sana-sini. Apalagi sampai lari dari tanggung jawab begini. Memalukan!!. Kamu gak mikir apa kalau kamu masih adik perempuan. Bagaimana jika hal itu terjadi sama adikmu. Hah.. jawab papi Dimas." Hardik Tama ke arah Dimas.

"Pi.. janin itu masih belum pasti anak Dimas pi.. kita masih bel.." Ucapan Dimas terpotong oleh tonjokan dari papinya yang semakin berang memukulinnya.

"Pi.. stop pi.. kakak bisa kehilangan nyawanya kalau papi terus memukulinnya." Mami dan Adik Dimas mencoba melerai dengan menarik tangan sang papi agar berhenti memberikan pukulan.

Dimas yang di ambang kesadarannya mengucap syukur dalam hati karena sang papi sudah berhenti memberikan pukulan. Karena jika seandainya pukulan itu tidak berhenti sepertinya Dimas akan benar-benar kehilangan nyawanya.

Setelah di rasa papinya sudah bisa meredakan emosi, mami menghampiri Dimas dan mengusap pelan wajah anaknya itu masih dengan air mata yang berderai. Dan berubah panik ketika mata anaknya itu terpejam tak sadarkan diri.

"Dim.. Dimas.. bangun Dim..." Jerit sang mami sambil menggoyang-goyangkan tubuh anaknya.


To be continue. . .


*
*

060423
Terimakasih sudah membaca, vote & komennya 🤗
Selamat hari kamis untuk kita yang manis.. 😁

Skenario TuhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang