Bab 27

17.5K 941 13
                                    

ACARA salam-salaman ucapan selamat dan doa telah selesai saat waktu menunjuk pukul 1 siang. Para kerabat dari pihak Dimas maupun Amel sudah banyak yang pulang ke rumah masing-masing setelah acara santap siang.

Beruntungnya tidak ada acara resepsi karena sungguh pinggang Amel rasanya sudah mau patah. Pipinya terasa kaku karena sedari tadi ia menampilkan ekspresi senyum palsu.

Perutnya terasa lapar, tapi yang ia inginkan hanya mandi, berbaring, dan tidur. Cukup itu saja. Karena meski perutnya sudah demo minta di isi, selera makannya tak kunjung mendekat.

Mengabaikan orang-orang di sekitarnya, Amel mulai menaiki tangga lantai 2 menuju kamarnya. Merealisasikan keinginannya untuk segera berbaring di kasur empuknya.

Amel tidak sadar sudah berbaring berapa lama, ia tidak terlelap meski sedari tadi ia memejamkan matanya. Suara ketukan pintu kamar dari arah luar sukses membuat Amel bangun dari posisi rebahannya.

Pintu kamar perlahan terbuka setelah sang tuan kamar mempersilahkannya. Dimas masuk dengan perlahan, tampak canggung setiap langkah geraknya.

"Ada apa?" tanya Amel.

"Ekhem.. em.. mami saya nyariin. Mau pamit pulang. Tapi kalau kamu masih capek gak apa biar saya bilang ke mami kalau kamu lagi tidur."

Amel mendengarkan suaminya berbicara. Hahaha.. suami ya? Emang bener kan dia sudah punya suami, batinnya.

"Oke. Kamu keluar dulu aja nanti aku nyusul."

Tak berselang lama Amel sudah berada di ruang tamu dengan posisi di rangkul mami Dimas.

Ternyata telah di sepakati bahwa selanjutnya Dimas akan tinggal di rumah Amel. Selamat kepada Amel karena dia tidak harus tinggal dengan mertuanya. Ya meski mertuanya kelihatannya sangat baik, namun tetap saja lebih nyaman tinggal di rumah sendiri kan daripada adaptasi lagi di tempat baru.

"Sayang mami sekeluarga pamit pulang dulu ya, sering-sering nanti main ke tempat mami. Kata mama kamu boleh menginap di tempat mami untuk seminggu ke depan."

"Iya mi" jawab Amel singkat.

Setelah berpamitan mobil keluarga Dimas pun pergi meninggalkan pekarangan rumah keluarga Rudi.

Amel melirik jam dinding ternyata waktu sudah menunjukkan pukul empat lewat dua puluh. Keadaan rumah sudah kembali seperti awal. Sepertinya sudah di bersihkan sewaktu Amel tidur tadi. Ah ralat.. sewaktu Amel berbaring memejamkan mata tadi.

Amel melanjutkan langkahnya berniat kembali ke kamar, namun ketika baru beberapa langkah ia berhenti karena merasa ada seseorang yang mengikuti langkahnya.

"Kenapa berhenti." Suara tanya dari belakang membuat Amel otomatis membalikkan badannya. Terlihat Dimas di belakangnya sambil menjinjing koper kecil berwarna navy dengan santai. Amel mendengus kemudian melanjutkan langkahnya.

*

*

Tak terasa pernikahan Amel dan Dimas sudah berjalan hampir empat bulan, kecanggungan di antara mereka sedikit demi sedikit mulai terkikis. Meski di awal pernikahan adalah saat-saat terberat bagi Dimas. Ce ileh bahasanya terberat, udah kayak yang paling tersakiti aja.

Karena memang hari-hari awal Dimas tinggal di rumah Amel tidak ada yang menerima kehadirannya. Amel, istrinya sendiri mengacuhkannya. Bahkan meski mereka tidur satu kamar dan di ranjang yang sama mereka jarang bertegur sapa. Papa mertuanya apalagi, beliau memandang Dimas masih sebagai musuh, karena kekecewaan dan rasa marah itu belum hilang. Mama mertuanya pun juga sama, ketika Dimas mencoba untuk beramah tamah, baru berkontak mata eh mama mertuanya itu langsung melengos.

Sewaktu sarapan di meja makan pun Dimas seolah-olah benda tak kasat mata. Istri dan mertuanya mengobrol santai tanpa melibatkan Dimas di dalamnya. Ketika Dimas mencoba bergabung dalam percakapan itu, ketiga nya langsung diam tak menanggapi dan lebih memilih melanjutkan sarapan yang ada di piring masing-masing. Hal itu membuat Dimas jadi jarang sarapan di rumah dan lebih memilih mencari sarapan di luar dengan dalih ada meeting pagi dan dia harus segera berangkat ke kantor jadi tidak sempat jika sarapan di rumah. Ya, Dimas memang hanya membual saja, karena walau bagaimana pun ia mencoba maklum dengan sikap mertua dan istrinya yang masih belum bisa memaafkannya.

Sebenarnya menikah dengan Amel tidaklah begitu rugi. Jika di lihat dari fisik Amel sudah masuk ke dalam kriteria nya, finansial pun Amel mempunyai bisnis usaha butik sendiri, dia juga bukan tipe anak konglomerat yang suka menghambur-hamburkan uang untuk membeli barang-barang yang tidak begitu penting. Hanya saja kekurangannya adalah sifat ketus dan judesnya itu. Dimas masih belum tau sifat itu muncul khusus untuk Dimas saja atau ke yang lainnya juga.

Pernah sekali waktu itu, oh tidak, mungkin dua atau tiga kali, Dimas terbangun dari tidur lelapnya karena mendengar suara orang muntah dari arah kamar mandi. Ia melirik ke samping dan tidak menemukan orang yang tidur seranjang dengannya itu berarti tebakannya benar, orang itu adalah Amel. Dimas bangun dari tidurnya dan menghampiri Amel ke kamar mandi yang kebetulan pintunya masih terbuka.

Amel terlihat lemas ketika dia membasuh mulutnya. Sepertinya drama mualnya telah usai. Dimas pun berniat membantu Amel untuk kembali ke tempat tidur dengan cara memapahnya, namun baru tangannya menyentuh pundak Amel, tangan Amel kembali menepisnya sambil mengatakan kalimat ini dengan nada ketusnya,
"Kamu tidak usah sok peduli deh, aku bisa sendiri. Kamu pikir selama ini kalau aku habis muntah ada yang mapah aku kembali ke tempat tidur? Jawabannya enggak. Jadi aku gak butuh bantuan kamu. Lagian bukannya selama belum tes DNA janin ini hanya milikku dan belum menjadi milikmu, jadi kamu jangan sok perhatian."

Dan begitulah jalan kehidupan rumah tangganya selama empat bulan belakangan ini. Syukurnya masa-masa itu sudah mulai bisa ia lewati.

Seperti mama mertua nya yang kini sudah menerimanya dengan baik, istrinya walau terkadang masih ketus namun dia sudah mau sedikit bermanja pada Dimas. Seperti minggu kemarin istrinya itu ngidam ingin makan buah rambutan padahal belum musimnya. Dan dengan raut wajah malu-malu istrinya meminta tolong Dimas untuk membelikannya karena sudah dua hari ini setiap memejamkan mata yang terbayang hanya rasa buah rambutan yang manis asam.

Tidak hanya itu, kini setiap malam sebelum tidur Dimas harus mengelus punggung atau perut buncit istrinya terlebih dahulu agar sang istri bisa tertidur. Hal itu bermula saat Amel masih sering mengalami morning sickness yang parah mungkin itu terjadi saat pernikahan mereka baru jalan dua bulanan, drama mual itu bisa langsung berhenti ketika Amel mencium aroma Dimas di sekitarnya. Bahkan ketika Dimas pergi bekerja, Amel tak mau jauh-jauh dari kaos  bekas Dimas pakai di pagi itu. Alhasil kaos itu selalu ada di genggamannya seharian. Dan ketika malam melihat istrinya yang membolak balik kan badan membuat Dimas yang berada di sampingnya jadi ikutan terusik. Dimas pun berinisiatif memeluk Amel sambil mengusap punggungnya dan hal itu menjadi keterusan sampai sekarang.

Dan tugas Dimas sekarang tinggal satu yaitu meluluhkan hati papa mertuanya. Oke, Dimas yakin dia pasti bisa.



.
Bersambung. . .

Bab ini narasinya panjang, percakapannya dikit.
Sampai jumpa di bab selanjutnya 🤗

Terimakasih sudah membaca, jgn lupa vote dan komennya 😁

130423 🌠

Skenario TuhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang