Bab 33

14.7K 686 25
                                    

Curcol dikit bestie,
Sebenernya aku lagi sakit dari kemarin, tapi sempetin ngetik biar bisa update spesial buat kalian yang sudah komen. Ternyata ada yang menunggu kelanjutan cerita ini bikin aku seneng dan semangat buat lanjutin cerita nya.

Thanks all and Happy Reading . .

*

*

DIMAS yang sedang fokus bekerja di alihkan ke ponselnya yang berbunyi nyaring menampilkan panggilan telepon dari sang istri. Tumben, batinnya. Karena jarang-jarang sang istri menghubunginya kalau tidak ada hal penting.

Dimas melirik waktu pada jam dinding yang masih menunjuk angka 2 dan 3 sebelum menjawab panggilan dari Amel.

"Halo.. iya mel ada apa. Tumben kamu telepon jam segini. Jam pulang ku masih lama. Masih ada berkas penting yang harus aku selesaikan hari ini juga. Jadi aku gak bisa pulang cepat. Kamu kalau ada titipan kamu WA aja entar mau pulang aku baca. Aku usahakan akan carikan sampai dapat" Jawab Dimas langsung panjang kali lebar sama dengan luas. Padahal ia belum mendengar suara istrinya satu kata pun.

Karena memang Amel menghubunginya terkadang hanya di jam-jam 5 atau 6 sore sewaktu Dimas akan pulang dari kantor untuk menyampaikan titipan pesanan untuk di beli nya.

Mendengar ucapan panjang dari Dimas, wanita di seberang telepon hanya bisa menghembuskan nafas kasar. Hilang sudah rasa gusarnya sedari tadi.

"Apa sih. Siapa juga yang mau titip-titip." Suara Amel jelas terdengar ketus masuk ke pendengaran Dimas.

"Ohh.. aku kira kamu mau nitip sesuatu. Tumben soalnya kamu ada telepon aku jam segini. Kenapa udah kangen ya." Goda Dimas.

"Sembarangan aja kamu siapa juga yang kangen. Habisnya aku belum ngomong maksud dan tujuan aku menelepon kamu udah menyerobot banyak." Jawab Amel makin sewot.

"Iya udah ya udah maaf, ada apa..."

Amel bingung mau menjelaskannya. Tiba-tiba muncul keraguan dalam benaknya. Mengingat ancaman tadi yang mengisyaratkan Amel untuk tetap bungkam. Tetapi bukankah sumber masalahnya ada pada Dimas. Jadi sudah seharusnya laki-laki itu juga ikut menyelesaikannya. Benarkan apa yang akan Amel lakukan ini, ia mencoba meyakinkan hatinya kembali.

"Mel..." panggil Dimas dari seberang telepon karena sang istri tak kunjung kembali berbicara.

"Iya.."

Oke Amel sudah memutuskan untuk melaporkannya ke Dimas. Biarkan laki-laki itu yang menyelesaikannya.

"Aku barusan dapat telepon dari nomer tak di kenal, dia mengaku namanya Fara. Katanya dia adalah pacar kamu dan kalian telah memiliki anak perempuan. Wanita itu memintaku untuk bercerai dari kamu."

"Mel.."

"Jangan di potong dulu, biarin aku jelasin sampai selesai." Ucap Amel tegas.

"Dia menyiksa anak perempuan itu. Dia juga mengancam akan mencelakai ku dan calon bayiku jika kita tidak segera bercerai. Aku bahkan di kirimi gambar foto-foto kalian dan anak kecil itu."

Amel menghela nafas pelan sebelum melanjutkan, "Sekarang aku minta kamu untuk jujur. Apa benar Fara adalah pacar kamu?"

Dimas berdehem membasahi tenggorokannya yang mendadak kering.

"Ya benar. Tapi itu dulu. Lima tahun yang lalu tepatnya. Sebelum dia menghilang entah kemana. Dan dengan tiba-tiba sekarang dia kembali muncul dengan seorang anak perempuan." Jawab Dimas.

Tangan Amel mengelus perutnya, seakan meminta sumbangan keberanian dari calon bayinya itu.

"Lalu, apa benar anak perempuan itu adalah anak kalian berdua" tanya Amel melanjutkan.

Dimas diam. Dia tidak langsung menjawabnya. Ia mengusap wajahnya demi melampiaskan rasa frustasi.

Amel yang tak sabar mendengar jawaban dari Dimas kembali bertanya, "Jadi benar ya? Itu anak kalian?".

"Mel, aku masih belum tahu itu benar anak ku atau tidak. Maaf, kasih aku waktu untuk membuktikannya."

"Oke baik. Pertanyaan terakhir. Apa kalian berencana untuk kembali bersama?"

Amel sebenarnya ragu untuk menanyakan hal ini. Ia takut jawaban Dimas tidak memihaknya. Jika begitu, bagaimana nasib bayi dalam kandungannya kelak.

Dimas masih diam. Amel semakin cemas menunggu jawaban dari Dimas.

"Aku juga tidak tahu Mel, tapi yang jelas aku tidak akan meninggalkan kamu dan calon bayi kita."

Jawaban Dimas memang masih belum meyakinkan. Tapi yang jelas Amel sedikit senang karena Dimas menyebut bayi dalam kandungannya dengan sebutan calon bayi kita. Setidaknya Dimas mau mengakui calon anaknya itu.

"Tapi kalian sering bertemu akhir-akhir ini kan?" Tanya Amel lagi.

"Enggak Mel, itu nggak bener. Kita ketemu itu selalu tidak sengaja. Aku selalu menghindar jika bertemu dengannya."

"Bagaiman dengan kedai ice cream? Aku mendapat kiriman foto kalian bertiga sedang menikmati es krim. Kalian sudah tampak seperti keluarga kecil yang harmonis." Sindir Amel.

"Kecuali itu. Terakhir kali kita tidak sengaja bertemu, dan Fara meminta waktu ku sebentar dan begitulah aku menemani mereka masuk ke kedai ice cream itu. Waktu itu aku gunakan juga untuk mengambil rambut anak perempuan itu untuk aku cocokan DNA nya dengan rambut milikku. Hasil nya baru keluar besok. Jadi memang aku belum berani cerita apapun ke kamu."

"Oke kalau begitu aku tidak berani mengambil langkah dulu. Kita nunggu hasil tes DNA nya besok. Tapi Dim, aku takut jika Fara beneran menyiksa anaknya itu. Kasihan dia masih kecil."

"Sebenarnya aku kurang yakin dengan pernyataan kamu yang ini. Setahuku dulu Fara itu orangnya baik, lemah lembut jadi sepertinya dia tidak mungkin menyakiti anaknya sendiri."

"Entahlah kalau menurut kamu memang begitu, tapi tadi aku sempat dapat kiriman foto yang hanya bisa aku lihat sekali aja dan gak bisa aku screenshoot layarnya, di foto tangan dan kaki anak kecil itu kelihatan berdarah, wajah nya juga sedikit lebam. Aku beneran kasihan. Dia masih kecil jika memang benar-benar mendapat penyiksaan dari ibunya sendiri hal itu pasti akan menimbulkan trauma kedepannya. Gimana kalau kamu coba temui dan lihat keadaan anak itu."

Apa benar begitu. Dimas sebenarnya masih tak percaya jika Fara akan tega menyiksa anaknya sendiri. Tapi jika foto yang di dapat Amel sungguh benar terjadi, berarti mungkin waktu lima tahun membuat Dimas sudah tak mengenal lagi wanita itu.

"Aku tidak tahu tempat tinggal mereka sekarang Mel, aku memang tidak berniat kembali pada masa lalu makanya waktu terakhir ketemu pun aku tidak bertanya tentang itu." Aku Dimas tenang.

"Terus bagaimana nasib anak itu. Apa kita harus lapor polisi?" Tanya Amel memberi solusi.

"Jangan dulu. Kita lihat besok apa kamu masih dapat ancaman lagi atau tidak. Kamu dimana sekarang, di rumah aja kan?"

"Aku di butik. Tadi jam 11 ada barang baru datang makanya aku sempetin ikutan cek. Tapi habis ini udah mau pulang pinggang aku sakit rasanya dari tadi minta di lurusin terus. Udah jadi generasi rebahan pokoknya."

"Ya udah pulangnya entar hati-hati. Pakai supir kan tadi. Aku gak bisa pulang cepet hari ini masih ada berkas yang harus selesai hari ini."

Sambungan telepon pun terputus setelah Dimas mendengar jawaban iya dari istrinya itu.

Dimas masih terpaku pada penjelasan  Amel. Bahkan berkas di hadapannya pun ia acuhkan. Apa ia harus mencari informasi tentang Fara. Nama Ratna muncul di pikirannya. Ratna dan Fara kan dulunya bersahabat, pasti Ratna tahu informasi tentang Fara. Dimas menatap ponsel di tangannya itu. Apa sekarang ia harus menghubungi Ratna, tanya nya dalam hati.

*

*

Bersambung. . .

14.05.23

Terimakasih sdh membaca, vote dan komen 🌠

Skenario TuhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang