Siswa-siswi berseliweran. Saling mengobrol satu sama lain, tentang pelajaran, guru menyebalkan, libur Saraswati, dan lainnya. Dimas melangkah sendiri di koridor sekolah, pagi ini agak berat karena tanpa ditemani gantungan kunci dari ayahnya. Belum lagi rencana panggilan Pak Wid ke ibunya, yang pastinya bakal berujung ke panggilan sekolah. Sungguh pagi yang berat.
"Hey, Anak Baru!"
Dimas berhenti dan menoleh ke belakang. Boy berjalan mendekat sambil tangan kirinya dimasukkan ke saku celana dan yang kanan memegangi tali tasnya di bahu. Dia sungguh sok keren, begitu pikir Dimas.
Mereka sudah berhadapan dan saling menatap tajam.
Boy tiba-tiba mengangkat tangannya, memperlihatkan perban yang masih menempel di tangannya. "Ini gara-gara kau. Sudah melukai malah pergi seenaknya kemarin," kata Boy dengan nada menyebalkannya.
Dimas menurunkan tatapan tajamnya. Dia sebenarnya khawatir, tapi dia juga sebal karena semua ini memang gara-gara Boy sendiri. "Gua minta maaf. Gua nggak sengaja," ucapnya lembut walau agak berbelit.
"Apa kata maaf bisa menyembuhkan tanganku yang robek?" Boy masih dengan sinisnya.
Dimas kini takut. Jika luka dibalas dengan luka, apa Boy akan mengiris tangannya? Apa gosip itu benar-benar nyata?
"Apa mau lu?" tanyanya rada ciut.
Boy mendekatkan wajahnya, matanya mengancam. "Kamu harus menebusnya."
Dimas menelan ludah mendengarnya. Benarkah dia akan melukai orang?
"Duduk denganku hari ini. Tanganku akan sakit jika menulis, kau gantikan aku."
Dimas langsung bernafas lega. Tapi kemudian kembali dengan raut juteknya. Bukankah itu sama saja dengan dia menjadi budak Boy? Sudah jelas Boy memanfaatkan dirinya. Dasar tukang drama! Tapi mau bagaimana lagi, Dimas harus membayarnya.
"Ayo, masuk kelas," cetus Boy dengan nada senangnya. Kemudian berjalan melawati Dimas yang masih kaget.
"Oh, iya." Dapat lima langkah Boy kembali berbalik menatap Dimas. "Sebelum itu tolong bawakan satu botol minuman, aku agak haus."
Dimas mangap lebar. Ini sungguh dilebih-lebihkan, pikirnya.
***
Kriiiinggg!!!
Dek! Satu botol minuman ditaruh Dimas di atas meja Boy dengan keras tepat saat bel masuk berbunyi. Dimas sangat kesal dibuatnya. Tanpa sepatah kata Dimas kembali melangkah menuju bangkunya, tapi Boy segera menahan tangannya.
"Mau kemana? Sudah kubilang, kau harus mencatatkan pelajaranku."
Dimas mendengus kesal. "Gue nggak mau dimarahi guru lagi!"
"Kau memang lutung, ya? Bagaimana bisa seseorang begitu tak mau minta maaf sepertimu?"
"Itu juga salahmu!" Dimas nggak mau kalah.
Kemudian tiba-tiba guru Bahasa Inggris memasuki kelas, masih muda dan cantik. Semua orang langsung duduk di tempatnya masing-masing. Dimas terpaksa harus nurut. Akan sangat memalukan dilihat bergandengan tangan begitu.
Dengan muka sebalnya, Dimas mengeluarkan bukunya dan berusaha mengikuti pelajaran sebaik mungkin.
Awalnya memang berjalan baik, namun perlahan Boy kembali dengan sifat usilnya.
"Kau punya kotak pensil? Sangat kekanak-kanakan," celetuk Boy melirik kotak pencil bergambar Doraemon milik Dimas.
Dimas tak menggubrisnya. Terus mencatat.
KAMU SEDANG MEMBACA
[BL] Pria Kecil di Bawah Payung
Teen FictionBerlatar belakang Bali yang indah seorang cowok terjebak cinta monyet dengan dua teman sekolahnya, si badboy teman sekelasnya yang sering membulinya dan kakak kelas yang tampan selalu menolongnya. Kehidupan sekolah yang penuh drama membawa Dimas pad...