Episode 15: Si Pecemburu

110 10 4
                                    


Malam ini lebih lembab dari biasanya. Bintang-bintang tak menampakan sinarnya. Dimas sedang ada di beranda restoran, menikmati semilir angin laut yang menerbangkan rambutnya. Debur ombak terdengar lembut di telinga. Bola-bola lampu temaram melintang-lintang dari atap beranda hingga tiang-tiang di pasir. Sayup-mayup obrolan dari orang-orang di restorannya tak mengganggunya menatap layar ponsel. Kali ini bukan serial kartun yang ia lihat, melainkan chat room dengan pacar pertamanya. Prana.

Ini seperti mimpi bisa menjadi pacar dari ketua OSIS yang sekaligus siswa paling populer di sekolah. Ini terlalu indah untuk menjadi kenyataan. Lihat saja, senyum lebar tak henti-hentinya terlukis di wajahnya. Padahal hanyalah obrolan biasa, menanyakan kabar sedang apa, sudah makan atau belum, sampai membahas ogoh-ogoh di Hari Nyepi yang akan datang.

"Kenapa masih di sini? Kamu nggak punya PR?" Delina datang dan duduk di seberang meja.

Dimas mematikan ponsel dan mengantonginya, tak ingin ibunya tahu. "Sebentar lagi," gumamnya.

"Mama akan tanya untuk terakhir kali. Kamu yakin nggak mau ikut lagi panahan?" tanya Delina serius.

Dimas menunduk murung. "Aku tak ingin lagi," katanya bohong.

Delina menggigit bibir bawahnya lembut, ia tahu ketika anak itu berbohong atau menyembunyikan sesuatu. "Kalau kamu sudah memutuskan, apa kamu pengen sekolah di dekat sini saja?"

Dimas langsung menggeleng. "Aku sudah beradaptasi di sekolah ini. Aku nggak mau pindah lagi."

Delina mencondongkan badan, menumpuk telapak tangannya di meja. Tatapannya menyelidik. "Kenapa? Kamu sudah punya pacar?"

Dimas mendadak tersedak ludahnya sendiri. "Bukan begitu," tukasnya sengit.

Delina tertawa kecil. Sekali lagi, dia tahu Dimas menyembunyikan sesuatu. "Biar Mama kasih wejangan, jatuh cinta itu adalah hal yang normal apalagi di usia kamu ini. Tapi juga, di usia kamu ini, kamu masih belum banyak mengerti. Berhati-hatilah, cinta bisa melahapmu bulat-bulat."

Dimas termenung. Kalau ditanya soal cinta Mamanya ini mungkin sudah profesor, perceraian itu hal yang sulit. "Dimas tahu, Ma." Dia pun bangkit. "Kalau gitu, aku pulang dulu," pamitnya yang kemudian melangkah pergi.

Delina menghela napas besar, melihat punggung anaknya yang semakin menjauh. Mendidik anak bukanlah hal yang mudah, apalagi anak seperti Dimas. Tertutup, putus asa, dan homoseksual.

Menjadi ibu adalah pekerjaan paling memberatkan bagi Delina.

***

Hari ini cerah. Matahari bersinar dengan hangatnya. Sambil mengunyah biskuit sandwich berselimut coklat. Dimas dengan semangat berjalan di antara murid-murid lain menuju kelasnya. Ah, rasanya seolah punya energi lebih untuk pergi ke sekolah sekarang.

"Dimas!" seruan cempreng itu, siapa lagi kalau bukan Tada? Dia menyusul dan merangkulnya. "Kenapa kau begitu cerah hari ini? Kamu habis dapat arisan, ya?"

Dimas hanya tersenyum lebar dengan mulut penuh makanan. "Oh iya, sebentar lagi Nyepi, kita libur berapa hari?"

Tada menggangkat bahunya. "Nyepi kali ini gabung dengan akhir pekan, jadi bakalan lama. Kenapa? Kamu mau ikut nonton ogoh-ogoh bareng? Bakal kuajak Sundari sama Dede juga."

Dimas menggeleng. "Mungkin hari itu aku ada acara?"

"Acara apa? Kamu dapat pacar, ya?"

"Pfftt!!" Dimas langsung tersedak mendengarnya, tebakan Tada benar sekali.

"Woi!" Sundari datang berlari. Di sela napasnya yang memburu, dia berkata, "Kalaian sudah belajar? Hari ini ulangan matematika."

"Oh, aku lupa." Tada menepuk jidatnya.

[BL] Pria Kecil di Bawah PayungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang