Belakangan ini cuaca tak menentu. Musim hujan hampir berakhir. Dimas duduk di serambi restoran, tongkat bantunya ada di samping. Sesekali dia menggerakan tangan dan kakinya, melatih tulang yang patah itu. Ombak bergiliran menjilat pantai, seolah ingin menggapai sesuatu yang tak pernah ia dapat. Sesuatu yang tak pernah menjadi takdirnya. Seperti Prana untuk Dimas.
Dia membuka pucuk surat dari Prana itu. Tenggelam dalam sebuah kesadaran dan kenangan akan cinta.
'Dimas, kuharap kau baik-baik saja. Selama beberapa hari ini aku berpikir bahwa hidup adalah pilihan, bukan keterpaksaan keadaan. Yang kulakukan padamu sungguh tak termaafkan. Meski pun begitu aku masih mau meminta maaf padamu, aku sangat menyesal. Kuharap suatu hari nanti kamu bisa memaafkanku.
Terima kasih sudah pernah mencintaiku dengan setulus-tulusnya. Aku akan selalu mengingatmu sebagai salah satu hal terbaik yang terjadi padaku. Aku tahu, aku akan merindukanmu setiap hari dalam hidupku. Saat memandang senja aku akan selalu mengingatmu.
Aku sadar bahwa aku tak sempurna. Tapi aku akan belajar menghargai dan jujur akan perasaan sendiri hingga tak menyakiti orang lain lagi.
Dimas, jika waktu mengijinkan kita bertemu lagi bisakah kau tersenyum padaku? kata orang, waktu adalah penyembuh terhebat, dan cepat atau lambat kita berdua akan baik-baik saja. Kuharap. Sekali lagi, terima kasih atas semua yang telah kamu lakukan untukku, aku tidak akan pernah melupakan itu. Selamat menjalani hidup, selamat tinggal.
Oh ya, Boy adalah orang yang paling tepat untukmu.'
Dimas tersenyum lebar membaca kalimat terakhir. Dia menoleh ke dalam restoran, memandang ibunya sedang berbincang dengan Boy sambil menunjuk-nunjuk nasi goreng gosong buatannya. Seperti mertua mengomeli menantunya. Dimas tersenyum geli melihatnya.
Boy dengan lesu berjalan keluar, mendatangi Dimas. "Standar rasa Mamamu sangat tinggi," ucapnya cemberut.
Dimas terbahak.
Boy juga tersenyum lebar. "Mau pergi sekarang?"
Dimas mengangguk mantap. Boy segera mengambilkan tongkat kruknya.
***
Jalanan ramai seperti biasa. Bus yang mereka tumpangi melaju menyusuri jalanan Denpasar. Dimas duduk di kursi prioritas, sementara Boy berdiri di depannya, tangan kirinya memegang tongkat kruk Dimas dan yang kanan buat pegangan. Bukan karena kursi yang lain penuh, hanya saja dia ingin dekat dengan Dimas dan melindunginya.
Dimas menatap lekat pria tinggi itu, menyadari caranya mencintai mungkin sedikit ugal-ugalan, tapi cara itulah yang meluluhkan hatinya.
"Boy..."
Boy menoleh, menatapnya lekat menanti kalimat selanjutnya.
Dimas tersenyum lembut. "Ingat pertama kali kita naik bus? Lu maksa gua ikut buat ngembaliin gantungan ini," ucapnya sambil menunjukan gantungan bulu anak panah di ransel mungilnya. "Mungkin ini terdengar aneh, tapi saat itu gua sadar bahwa lu nggak seburuk yang digosipkan. Bagaimana dengan lu? Lu ngeliat gua gimana waktu itu?"
"Mmm..." Boy berdeham cukup lama. "Kau orang lemah yang tiba-tiba curhat kegagalan."
Dimas berdecak sebal. Kalau kakinya nggak sakit pasti sudah ditendangnya.
Boy tertawa ringan. "Nggak, nggak... Waktu itu aku kira kau kutu buku yang pendiam, tapi ternyata kau orang yang lembut."
Dimas menatap menyelidik. "Lu langsung jatuh cinta ke gua waktu itu juga, ya?"
"Jangan geer!"
Lalu mereka tertawa.
Bus terus melaju. Dari Canggu ke Denpasar cukup jauh, Boy sudah pegal, tapi dia tak juga duduk. Hanya beristirahat saat di halte untuk pindah bus.
KAMU SEDANG MEMBACA
[BL] Pria Kecil di Bawah Payung
Teen FictionBerlatar belakang Bali yang indah seorang cowok terjebak cinta monyet dengan dua teman sekolahnya, si badboy teman sekelasnya yang sering membulinya dan kakak kelas yang tampan selalu menolongnya. Kehidupan sekolah yang penuh drama membawa Dimas pad...