Hari berganti dan berganti. Hari Raya Kuningan terlalui. Ujian semakin dekat. Prana terus memfokuskan diri, keluar dengan pacarnya hanya untuk makan. Sebenarnya, ia juga merasa bersalah pada Dimas. Tapi mau bagaimana lagi, kalau try out ujian nilainya turun sedikit saja ayahnya bakal muring-muring. Menekan Prana untuk lebih giat belajar lagi.
Tapi, dia tak benar-benar mengabaikan Dimas. Buktinya mereka masih teleponan tiap malam, mengobrol mesra hingga larut. Baginya, Dimas adalah penyemangat, tempat istirahat yang nyaman. Seperti dicharge ulang. Harus ia akui, jadian dengannya adalah hal paling hebat yang ia lakukan. Namun akhir-akhir ini dia sangat khawatir.
Tada yang mengetahui hubungan mereka hanya dengan melihat saja, mungkin ada juga orang lain yang sadar. Ia takut jika hubungannya terungkap, semuanya akan berantakan. Hidupnya akan berakhir.
Pagi ini cerah, Prana melakukan sembahyang di pura keluarganya, memakai sarung balu dan selendang. Canang dengan dupa yang membara ia persembahkan pada Tuhan. Berdoa agar hidupnya dipermudah. Sembahyangnya diakhiri dengan menempelkan butir beras di kening dan kelopak bunga di kedua sela telinganya.
Dia memasuki rumah. Di ruang keluarga ada ayah dan ibunya sedang bersantai. Prana memberanikan diri untuk menghadap mereka, menyampaikan keinginan terbesarnya. Melihat anaknya yang alim mungkin bisa membuat mereka luluh.
"Prana," malah Ayahnya yang memanggil duluan.
Dia duduk di sofa berhadapan dengan mereka.
"Kapan terakhir kamu ketemu Saniya? Kalian masih bergaul, kan?"
"Ah, benar. Pasti hari ini dia juga libur sekolah, kan? Bisakah kamu memanggilnya kemari? Ibu sangat pengin main masak-masakan bareng dia," timpal ibunya.
Dipikir ada apa, ternyata hanya Saniya. Orangtuanya itu benar-benar menyukai gadis bangsawan satu itu. Prana mulai gelisah. "Kami masih berteman. Hanya saja..." dia menghentikan kalimatnya, mmemilah-milah kata yang sopan. "Tidakkah menurut kalian ini agak berlebihan? Saniya punya kehidupannya sendiri. Mungkin dia sedang belajar, dia juga sama kelas tiga."
Ibunya menghela paham. "Benar. Dia pasti belajar juga. Dia pasti gadis yang rajin."
"Kalau begitu, sebaiknya kamu juga belajar juga," cetus ayahnya yang kemudian menyeruput kopinya. "Setelah lulus kau bisa ke Amerika, atau ke Australia, atau kemana pun itu. Harvard, Oxford, Cambridge, apapun itu pilihlah sesukamu. Nilai dan otakmu bisa diterima ke semua itu," tambahnya enteng.
"Ada yang ingin aku sampaikan mengenai itu," kata Prana memberanikan diri.
Kedua orang tauanya kompak menatap.
Prana makin gelisah. "Bisakah aku tidak keluar negeri? Ada yang ingin aku lakukan selain berbisnis."
"Apa?" Ayahnya terkejut.
"Aku ingin mengambil kuliah kedokteran."
"Apa kau serius, Nak?" tanya ibunya.
Prana mengangguk mantap. "Aku tak pernah seserius ini sebelumnya. Inilah cita-citaku. Aku ingin menjadi dokter."
Ayahnya menaruh cangkirnya dengan kuat hingga berdenting. Raut tegas di wajahnya menegang. "Menjadi dokter memang menjamin, tapi tidak menjamin hidupmu mudah. Ambillah jurusan bisnis, dengan begitu kau bisa menjamin segalanya. Perdagangan, sekolah, wisata, semua bisa kau dapat."
"Aku ingin menjadi dokter," tekan Prana kekeh.
Ayahnya bangkit. Marah itu siap meledak. "Tidak." Nada itu absolut. Tak bisa dibantah.
Prana ikut bangkit. Dia muak dengan ayahnya itu. "Bisakah ayah tidak serakah?!" Ia meninggikan nada. "Selama hidupku, aku tidak pernah membantah. Melakukan apa pun untuk membuat kalian bangga. Sedikit saja, apa ayah pernah memujiku? Sekali saja, apa Ayah pernah mengatakan bangga denganku?"
KAMU SEDANG MEMBACA
[BL] Pria Kecil di Bawah Payung
Teen FictionBerlatar belakang Bali yang indah seorang cowok terjebak cinta monyet dengan dua teman sekolahnya, si badboy teman sekelasnya yang sering membulinya dan kakak kelas yang tampan selalu menolongnya. Kehidupan sekolah yang penuh drama membawa Dimas pad...