Senin pagi, Dimas memasuki gerbang sekolah dengan seragam rapinya. Seperti biasa. Murid-murid lain berseliweran, ada juga yang heboh karena dua orang guru sedang piket pagi menyambut anak-anak. Di pojokan, segerambolan murid berbaris menunduk di hadapan Pak Wid. Tada juga nyempil di sana. Pasti dia nggak pakai ikat pinggang lagi.
Dimas melihat Sundari yang berjalan di depan, ia langsung menghampirinya. "Pagi," sapanya.
"Pagi, kau pulang jam berapa kemarin?" balas Sundari dengan senyum cantiknya seperti biasa.
"Entahlah, aku cukup larut sampai rumah," jawab Dimas sambil menaikkan tali tasnya, membuat gantungan bulu di tasnya bergoyang.
"Waktu di jalan kemarin Dede ditelepon sama Ketua OSIS. Dia menanyakan keberadaanmu. Memangnya kau pulang dengan siapa kemarin?" tanya Sundari penasaran.
Dimas menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Bingung harus jawab apa. "Aku pergi dengan Boy dulu kemarin sebelum pulang."
"Boy?!" Itu suara Tada. Dia tiba-tiba ada di belakang mereka. Menguping. Membuat Dimas dan Sundari meloncat kaget.
"Bukannya tadi kamu sedang dihukum?" tanya Sundari sambil mengelus dadanya.
Tada menyusup di antara Dimas dan Sundari. "Aku kabur. Ehe." Dia nyengir kuda. Setelah berjalan beriringan. "Tadi kau bilang, kemarin pulang bareng Boy? Kapan kau ketemu dia?" tanya Tada ke Dimas.
Dimas makin bingung harus menjelaskannya bagaimana. "Kami nggak sengaja ketemu di tempat kita pisah kemarin."
"Sejak kapan kalian dekat?" timbal Sundari.
"Aku bilang itu kebetulan."
"Kebetulan yang aneh," sahut Tada curiga.
"Ah, sudahlah. Aku nggak mau membahasnya."
Mereka terus berjalan menuju kelas sambil bercanda layaknya tiga orang sahabat dekat.
Bel masuk akhirnya berdering. Murid-murid segera duduk di kursinya masing-masing dan seorang guru memasuki kelas. Sebelum memulai, seperti biasa, beliau melakukan absensi.
"I Putu Sundari Pramesti." Sundari segera mengangkat tangannya.
"I Wayan Tada Prasetya." Orang di sebelah Dimas buru-buru merapikan rambutnya dan mengangkat tangan. Sementara Dimas menyiapkan bukunya sambil menunggu namanya dipanggil.
"I Made Boy Nugraha." Tak ada jawaban. "Boy?"
Semua orang menoleh ke bangku belakang, tapi bangku Boy itu kosong. Dimas sejenak jadi tercenung, teringat kejadian semalam. Bertanya-tanya kemana orang itu. Buat masalah apa lagi dia?
"Ada yang tau Boy kenapa?" Semua orang diam. "Ketua Kelas, kamu tau Boy kemana?" Guru itu akhirnya bertanya pada Dede, tapi dia juga menggeleng tak tahu. Guru itu pun melanjutkan absensinya.
Tada menyenggol Dimas pelan. "Kamu nggak tau dia kemana? Katamu semalam kalian pulang bareng. Apa dia sakit?" bisiknya.
Dimas diam sejenak, lalu mengangkat bahunya. "Aku nggak tau, kemarin kita pisah di minimarket," jawabnya gelisah. Pikirannya terus bertanya-tanya. "Hei, Tada," seru Dimas ragu.
"Mmm..." gumam Tada sambil mengeluarkan bukunya.
"Kamu pernah bilang kalau Boy digosipkan pernah membunuh seseorang. Apa maksudnya itu?"
Mendadak Tada menatap tajam Dimas. "Kenapa kau sangat tertarik pada ceritanya?"
Dimas segera menggeleng. "Aku hanya penasaran."
Tada berdecak tak percaya. Walau hanya kenal beberapa minggu, tapi Tada bisa menyimpulkan kalau Dimas bukanlah tipe anak yang kepoan. Lalu Tada kembali menyiapkan bukunya sambil bilang, "setahun yang lalu waktu persami di pantai, ada seseorang yang meninggal. Di TKP hanya ada Boy dan anak itu. Gosipnya Boy sengaja menenggelamkannya karena berkelahi. Tapi itu cuma gosip. Kalau mau denger cerita yang asli tanyakan ke Dede, dia juga ikut persami waktu itu. Tapi jangan berharap apa pun, karena kasus itu ditutup-tutupi. Termasuk semua orang yang ikut persami."
KAMU SEDANG MEMBACA
[BL] Pria Kecil di Bawah Payung
Teen FictionBerlatar belakang Bali yang indah seorang cowok terjebak cinta monyet dengan dua teman sekolahnya, si badboy teman sekelasnya yang sering membulinya dan kakak kelas yang tampan selalu menolongnya. Kehidupan sekolah yang penuh drama membawa Dimas pad...