Sore itu Prana menjemput Saniya dengan mobilnya, membohongi Dimas kalau dia tidak bisa datang ke pawai. Prana terkagum melihat gadis itu memakai kebaya putih dengan selendang motif emas di pinggangnya, bros besar khas Bali, dan bawahan kain yang dipintal dengan sutra warna ungu dan benang emas. Mewah dan berkelas.
"Terima kasih sudah mau mengajakku," ucap Saniya yang duduk di kursi depan.
Prana menyetir dengan santai, jalanan agak macet karena banyak ruas ditutup untuk pawai. Hujan ringan menciptakan titik-titik air kecil di kaca jendela, tak sampai mengalir. Untuk mengisi kekosongan Prana menghidupkan playlist musiknya, pelan tapi bisa mencairkan suasana. Lagu Avenged Sevenfold berputar.
Prana melirik Saniya yang berdendang mengikuti irama, merasa senang.
"Oh, iya. Katanya band ini mau konser di Indonesia, lho," celetuk Saniya.
"Katanya sih begitu. Tapi pasti konser di Jakarta. Kadang aku berharap Indonesia itu sempit."
Saniya manggut-manggut setuju. "Aku sering nonton live music di kafe, konser kecil. Kebanyakan lagu yang dibawa R&B, topfourties. Sangat jarang jaz atau keroncong, apalagi rock alternative," ceritanya.
"Sepertinya anak-anak jaman sekarang suka lagu yang begitu. Pop memang nggak pernah termakan masa. Buktinya, sekarang banyak banget lagu-lagu galau."
Saniya kembali mengangguk setuju. "Hampir semua teman-temanku di sekolah begitu, apalagi cewek-cewek, setiap hari yang didengar adalah K-Pop. Mungkin selera musik kita aja yang beda."
Prana tersenyum lebar sambil memutar setirnya. "Mungkin kita lah yang aneh," candanya membuat Saniya tertawa renyah.
"Kamu nggak masalah kalau kita lihat di persimpangan Cakur Muka? Mungkin kita berdesak-desakan nanti."
"Ah, tak masalah di mana pun itu."
Dan di sinilah mereka, di persimpangan lautan manusia itu. Hujan berhenti sepenuhnya, bahkan satu tetes kecil tak turun. Sorak dan tabuh gamelan harmoni dalam kebudayaan. Prana memimpin jalan membelah kerumunan hingga bisa melihat pawai dengan sangat jelas.
"Yang itu keren," puji Saniya menuding ogoh-ogoh babi dengan perhiasan emas.
"Yang itu serem banget!" Prana menunjuk ogoh-ogoh lain.
Dua anak muda itu sangat menikmatinya. Mengabadikan hal itu dengan ponsel mereka. Saat Saniya mengarahkan kameranya ke Prana, cowok ganteng itu langsung berpose sambil tersenyum indah memperlihatkan lesung pipinya.
"Kamu ganteng banget. Kamu punya lesung pipi yang manis," ucap Saniya sambil memandang jepretannya.
"Sebenarnya lesung pipi adalah cacat dari otot pipi yang nggak sempurna," timpal Prana.
"Tapi ketidaksempurnaan itulah yang malah menjadi kelebihan," celetuk Saniya yang kemudian melangkah ke depan untuk mengambil gambar lebih jelas.
Buk! Seseorang menyenggol Prana. Betapa terkejutnya ia saat menoleh dan melihat orang itu adalah Boy bersama gengnya.
"Ketua OSIS?"
"Boy?"
Dan teman-teman Boy tercengang. Ancaman Prana pada mereka masih membekas. Agak takut juga, kalau-kalau Prana bisa mencium bau rokok yang menempel di baju mereka. Boy yang masih membatu ditarik-tarik untuk pergi.
"Khe bareng siapa ke sini? Dimas?"
Prana diam tak menjawab.
"Pran!" Saniya kembali mendekat. "Siapa mereka? Teman-temanmu?" tanyanya memandang Boy dan gengnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[BL] Pria Kecil di Bawah Payung
Novela JuvenilBerlatar belakang Bali yang indah seorang cowok terjebak cinta monyet dengan dua teman sekolahnya, si badboy teman sekelasnya yang sering membulinya dan kakak kelas yang tampan selalu menolongnya. Kehidupan sekolah yang penuh drama membawa Dimas pad...