Episode 17: Si Pendengar

104 12 2
                                    


Dimas terperangah menatap gedung mewah di depannya. Dengan gugup ia mengikuti Boy masuk. Cowok tinggi di depannya itu memberikan kunci motor dan helm yang tadi dipakainya ke seorang pria yang memakai seragam staf di pintu masuk. Dimas makin terperangah menatap interior mewah gedung itu, semuanya tampak berkilau, terutama lampu gantung raksasa di lobi dan tulisan 'HOTEL BLUE SEA'.

Boy terus berjalan lurus. "Maaf atas lantainya," ucapnya ke gadis yang berjaga di lobi.

"Jangan khawatir, kami akan segera bersihkan," sahut gadis cantik itu.

Dimas menunduk sungkan melihat lantainya yang basah karena mereka berdua basah kuyup. Ia terus mengikuti Boy hingga masuk ke lift.

"Gua harusnya pulang aja," gumamnya gugup.

Boy tak payah menoleh. "Kau nggak bakal dibiarkan masuk bus dengan kondisimu sekarang.

Dimas tak berkata-kata lagi. Boy ada benarnya. Lift terbuka, ia kembali mengikutinya melangkah hingga masuk ke sebuah kamar tanpa nomor. Boy menyuruhnya masuk ke kamar mandi di samping pintu masuk, begitu juga dirinya.

Kamar mandi itu luas. Ada wastafel di depan pintu masuknya dengan cermin bulat yang memantulkan bayangannya yang basah kuyup. Di meja wastafel itu ada sikat gigi, facial wash, dan obat kumur. Perlengkapan standar cowok biasanya. Sebuah bathup dari kayu yang tertanam di lantai tampak unik, sayangnya ada keranjang cucian yang menumpuk dan celena dalam yang jatuh. Ada bilik shower yang tampak serasi dengan bathup-nya. Beruntung sekali cowok di sebelahnya ini bisa hidup di hotel mewah ini, begitu pikir Dimas.

"Aku sudah mandi sebelum ke tempat tadi, jadi aku akan bilas saja. Kau mandilah setelahnya," cetus Boy. "Hadap dinding dulu" tambahnya. Dimas menurut, Ia langsung membuka pakaiannya satu per satu. Jaket ia lempar ke keranjang, begitu juga kausnya. Itu menjelaskan kenapa sempaknya bisa berceceran. Tanpa ragu Boy membuka celananya. Dimas tak sengaja melirik ke cermin, sejenak dia terdiam melihat pantulan tubuh Boy yang sempurna. Buru-buru dia kembali menatap dinding. Dia menggeleng-gelengkan kepala, pasti dia sedang mabuk, bisa-bisanya terpesona pada Boy si bajingan itu.

Boy masuk ke bilik, lalu terdengar kucuran air. Dimas memeluk dirinya sendiri. Dingin. Dia menggantungkan tas selempangnya di gantungan depannya, memeriksa ponselnya, untunglah tak basah.

"Mandilah," cetus Boy yang keluar dari bilik hanya mengenakan handuk. "Ada handuk bersih di dekat bathup. Kemudian dia meninggalkan kamar mandi.

Dimas menghela napas besar. Karena dia mantan atlet, meski sering berbagi kamar mandi dengan cowok lain, tapi dia adalah atlet panahan. Mereka tak saling memperlihatkan otot perut. Boy benar-benar membuatnya gugup. Dasar cowok lurus!

***

Boy sudah berganti memakai kaus dan celana pendek. Dia berdiri di depan kaca besarnya sambil mengolesi salep ke ujung bibirnya yang berdarah dan memar-memar di wajahnya. Sejenak dia termenung, kenapa kerap hilang akal jika mengenai cowok Jakarta itu. Langsung datang hanya dengan satu pesan singkat.

Drrtt.. Derit pintu kamar mandi terbuka. Dimas keluar dengan handuk yang melingkar di pinggangnya. Sejenak Boy terdiam menatapnya. Tubuh itu lebih mulus dari yang Boy kira, meski tak ada otot kotak-kotak seperti miliknya, tapi tubuhnya cukup terawat mengetahui dia juga mantan atlet. Pastilah Dimas juga rajin olahraga. Dan, rambutnya yang basah itu. Dia terlihat sedikit seksi.

"Pakailah bajuku di lemari. Pilihlah sesukamu," suruhnya gugup, kemudian kembali melihat cermin. Apa dia sedang tersipu? Ah, tak mungkin.

Dimas dengan malu-malu membuka lemari. Namun, bukan tumpukan pakaian yang ia dapat, melainkan lukisan-lukisan wajah Boy dan sebuah payung merah. Dimas mengambil satu lukisan, wajah itu sangat realistis meski di lukis dengan cat air yang tak terlalu garang.

[BL] Pria Kecil di Bawah PayungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang