Hujan rintik membasahi halaman luas itu. Prana duduk membaca buku di kursi kayu panjang dekat jendela. Menikmati alam yang diberikan dari jendela besar kamarnya.
"Sedang belajar?" Kakak prempuannya masuk sambil membawa dua cangkir teh.
Prana menggeleng tersenyum. "Cuman baca buku kok." Dia menutup menurunkan kaki memberi ruang untuk kakaknya duduk dan menutup bukunya. "Teh leci lagi?" tebaknya yang mencium aroma enak.
Kakak perempuannya itu duduk dan memberikan satu cangkir ke adik kesayangannya. "Hujan-hujan begini ya enaknya ngeteh," ceteluknya.
Prana berdecak. "Kakak memang bangsawan berkelas. Hujan dan teh."
"Ahaha!!" Perembuan itu tertawa, membenarkan rambut panjangnya di cat pirang sebelum meminum tehnya. "Bagaimana dengan sekolahmu?" tanyanya lembut.
Prana meminum tehnya dan menjawab, "seperti biasa, ujian dan ujian."
"Kamu masih marah sama Ayah?"
Prana termenung menatap hujan di luar.
Perempuan itu menaikkan kakinya, posisi nyaman. "Ayah memang kadang sangat keras, nggak cuman ke kamu. Aku dan semua kakak-kakakmu lainnya. Tapi berkat didikannya kami semua bisa di posisi ini. Disegani dan dipercaya orang banyak. Mendapat pengakuan."
"Orang dewasa sangat sulit dipahami."
Perempuan itu kembali meniup cangkirnya dan meminum tehnya. "Kamu benar. Kami sangat sulit dipahami. Jadi jangan berusaha untuk memahami, kau akan mengerti bila waktunya nanti."
Prana menaruh cangkirnya di meja samping bersama bukunya. "Karena itu aku ingin cepat dewasa agar mengerti."
"Aku sudah bicara dengan Ayah dan Ibu. Mereka mengijinkanmu untuk mengambil kuliah kedokteran."
Prana langsung berbinar. Membenahi duduk untuk menghadap kakaknya. "Benarkah?"
"Ayah mungkin agak berlebihan, tapi beliau adalah ayah yang baik. Kami diskusi panajng tadi."
Prana bernapas lega. Senang di wajahnya tak bisa ia sembunyikan. Dia memeluk kakaknya itu dengan semangat, membuat cangkir ditangannya hampir tumpah. "Makasih, Kak. Makasih banyak."
"Tapi kamu harus nurut sama ayah dan dapat peringkat satu dalam ujian kelulusan nanti."
Prana melepas pelukan dan memberi hormat ala tentara. "Siap!"
Kakaknya itu tersenyum ikut senang, lalu beberapa detik kemudian memudar. "Ngomong-ngomong gimana kabar pacarmu?"
Sejenak Prana membatu. "Ah, pacar? Dia baik," balasnya kikuk sambil melirik boneka beruang putih di kasurnya.
"Kalau soal dia aku tak bisa membantu. Kakak-kakak yang menikah juga tak ada yang dari kalangan kasta biasa. Tapi tenang saja, kamu masih sangat muda. Toh kamu masih nggak berniat berumah tanggakan setelah lulus SMA? Kamu masih punya jalan yang panjang dalam mencari pasangan hidup, masih punya banyak waktu buat yakinin Ayah."
Prana termenung.
"Hei!" Kakaknya menepuk bahunya, menguatkan. "Aku tahu ini bukan pilihan yang mudah, tapi kalau kamu nggak ingin Ayah berubah pikiran soal kuliahmu, maka turuti dia. Jika dia sampai murka lagi, aku tak bisa membantu, bahkan saudara kita yang lain."
Prana menatap kalut.
"Apa salahnya Saniya? Dia adalah gadis yang sempurna untukmu," gumam kakaknya. "Intinya sekarang fokus saja sama ujianmu, jangan banyak pacaran. Oke?"
Prana mengangguk lemah.
***
Prana bersiap untuk ke sekolah setelah melakukan sembahyangnya. Dia menuruni tangga dengan seragam yang sudah rapi dan mengenakan tasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[BL] Pria Kecil di Bawah Payung
Teen FictionBerlatar belakang Bali yang indah seorang cowok terjebak cinta monyet dengan dua teman sekolahnya, si badboy teman sekelasnya yang sering membulinya dan kakak kelas yang tampan selalu menolongnya. Kehidupan sekolah yang penuh drama membawa Dimas pad...