Episode 14: Si Paling Dekat

112 7 3
                                    


Delina hari ini memasak, karena Dimas ada di rumah. Dia memutuskan untuk tak sekolah dulu agar kakinya tak kembali bengkak. Anak itu sedang ada di sofa, selonjoran sambil menonton kartun kesukaannya.

"Kenapa masih nonton kartun? Umurmu udah berapa?" seloroh Delina yang sudah rapi, siap berangkat ke restoran.

Dimas tak menjawab. Terus memakan kacang di toples pangkuannya.

"Mama berangkat dulu. Kalau makan tinggal ambil saja, Mama sudah masak banyak," pamitnya sambil memasang sepatu.

"Hati-hati, Ma," hanya itu yang keluar dari mulut Dimas.

Delina tak ambil pikir. Lantas dia pun pergi meninggalkan anak semata wayangnya itu di rumah.

Dimas masih anteng, terus mengemil kacangnya. Dia tak biasa sarapan, jadi ngemil saja. Kakinya sudah jauh lebih baik meski agak pincang. Tawanya menggema saat melihat tontonan lucunya, terasa lebih menyenangkan saat menonton kartun di jam sekolah. Jatuh kadang punya keuntungan juga. Kadang...

Tawanya berhenti teringat bagaimana Boy menciumnya. Tanpa sadar, dia mengusap bibirnya, bibir lembut Boy terasa masih membekas. Untuk ciuman pertama sepertinya tidak buruk, Boy cakep juga. Wait! Dimas buru-buru menggeleng, bahkan menampar pelan pipinya. Bagaimana bisa ia berpikir itu tidak buruk? Itu bencana!

Tapi... apa Boy memang seburuk itu? Dimas termenung. Orang pecinta kucing itu lembut, gosip tak masuk akal itu jelas palsu. Dia meraih ponselnya, jika memang ada pembunuhan saat persami sekolah pasti jadi berita heboh di internet. Dia membuka situs pencarian dan mengetik, 'siswa meninggal saat persami SMA Sandhi'.

Berita dan artikel langsung muncul. 'Seorang siswa meninggal di pantai saat melakukan persami. Korban bernama Arya. Kepalanya terbentur karang saat melakukan surfing bersama temannya. Kepolisian memastikan kejadian ini murni kecelakaan.'

Dimas bernapas lega, tapi itu masih belum menjelaskan kenapa ada gosip seperti itu. Juga mengapa kepala sekolah meminta murid untuk merahasiakan itu? Paling mencurigakan adalah ibu-ibu yang menampar Boy malam itu. Pasti ada alasan yang disembunyikan.

Ting ting!!! Notif pesan masuk terdengar. Dimas langsung bersemangat saat nama Prana muncul di layar ponselnya.

'Kamu nggak masuk sekolah, ya? Bagaimana keadaanmu?' pesannya.

Sambil tersenyum sendiri Dimas membalas, 'sudah baik kok, Kak. Besok aku sudah boleh masuk sekolah.'

Obrolan pun berlanjut.

***

Malam datang. Delina sempat pulang, tapi harus kembali lagi ke restoran. Dimas duduk di lantai balkon apartemennya, memandang kalut langit malam. Pikirannya sibuk tak tentu arah setelah menerima telepon dari papanya yang ada di Jakarta. Jujur, dia kangen papanya, tapi yang lebih menyedihkan lagi papanya masih berharap padanya untuk menjadi atlet panahan. Seolah papanya tak bisa menerima kenyataan. Dimas tak lagi bisa memanah, papanya yang mantan atlet harusnya tahu itu.

Rasanya, semesta tak mengijinkannya untuk membuat bangga keluarga.

Dia memeluk lututnya, berdiam diri di sana selama berjam-jam. Fakta cideranya seolah menariknya dalam jurang kesedihan tak berujung. Jauh di lubuk hatinya, dia masih ingin memanah lagi.

Delina akhirnya pulang. Dia menemukan anaknya itu sedang melamun di balkon. Dia juga merasa sedih, tak tahu harus bagaimana untuk membuat anaknya merasa lebih baik. Sampai sekarang rasanya dia masih belum bisa menyentuh perasaan anaknya itu.

***

Hari berganti. Dimas berjalan santai melewati gerbang sekolah, kakinya sudah tak sakit lagi meski masih belum sepenuhnya pulih. Bulu-bulu burung hitam yang menjadi gantungan tasnya bergoyang tiap kali ia melangkah. Seragamnya rapi abis disetrika, rambutnya di sisir rapi. Dia sudah terlihat seperti anak baik-baik.

[BL] Pria Kecil di Bawah PayungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang