Episode 18: Si Pipi Bengkak

81 10 4
                                    


Langit cerah. Bumi masih basah oleh hujan semalam. Murid-murid berjalan santai melewati gerbang sekolah. Pun Dimas begitu, gantungan bulu anak panah di tasnya bergoyang-goyang. Hanya saja pikirannya tak tenang, mengetahui fakta bahwa Boy sama seperti dirinya. Dia bertanya-nyata, apa selama ini dia membulinya karena dirinya mirip dengan kekasihnya yang meninggal?

Dia menghela napas besar berkali-kali. Hingga ekspresinya langsung berubah begitu ia melihat pacarnya berdiri di persimpangan tempat parkir. Lagi-lagi dia memamerkan lesung pipi indahnya itu.

"Kak Pran sedang apa di sini?" tanyanya lembut.

"Menunggumu," balas Prana berbisik.

Mereka pun berjalan beriringan melewati halaman sekolah.

"Apa kamu pulang kehujanan semalam?"

Dimas mengangguk. "Begitu Kakak ngechat aku langsung naik bus," ucapnya menunduk. Bohong. Lalu tiba-tiba, "Hassffhh!!" Dia bersin. "Ya, aku sedikit kehujanan."

"Maaf karena aku pulang gitu aja kemarin. Ayahku akan marah kalau aku telat."

"Nggak apa, Kak. Kemarin sangat menyenangkan," kata Dimas memelankan suara, tak ingin ada yang mendengar.

"Mmm..." Prana bergumam cukup lama. "Aku sudah kelas tiga, sebentar lagi harus menghadapi ujian akhir. Jadi ayahku memintaku untuk tidak keluar rumah terlalu sering. Mmmm..." Dia lagi-lagi berdeham, tak enak menyampaikan. "Bisakah kita kurangi jadwal les kita?"

Dimas menahan lidahnya sebentar. Cukup kaget. Tapi dia tetap tersenyum. "Nggak masalah. Aku juga bakal nggak enak kalau terus nyusahin."

Prana lalu menoleh ke kanan kiri, memastikan nggak ada orang didekat mereka. "Tapi jangan khawatir, aku nggak bakal ngurangi jadwal kita pacaran," bisiknya.

Dimas langsung tersenyum kembali, bahkan telinganya memerah. Prana tersenyum makin lebar melihatnya. Gemas.

"Sebagai permintaan maaf semalam, aku pengin memberimu sesuatu. Temui aku di ruang Sekretariat Pecinta Laut. Oke?"

Dimas mengangguk patuh. Akhirnya mereka berpisah, kelas Prana masih lurus dan Dimas harus berbelok.

***

Bel masuk berdering nyaring. Semua murid bergegas ke bangkunya masing-masing. Dimas mengeluarkan buku dan kotak pensilnya. Melihat itu Tada menyeringai penuh arti. Tak tahunya dia mau pinjam pulpen. Lagi. Pulpennya hilang entah kemana. Kebiasaan.

"Pagi murid-murid!" Bu Guru masuk. Semua orang membalas salamnya. Setelah duduk di meja, guru itu mulai mengabsen.

"I Putu Sundari Pramesti."

Sundari yang duduk di depan Dimas mengangkat tangan.

"I Wayan Tada Prasetya."

Kini teman sebangkunya mengangkat tangan sambil nyahut, "Hadir, Bu!" dengan lantang.

"I Made Boy Nugraha."

Hening. Tak ada jawaban. Semua orang menoleh melihat meja di pojok kanan. Kosong.

"Ah, dia telat lagi," gumam guru itu.

"Dia nggak ada kapoknya padahal Pak Wid sudah memperingatkannya berulang kali," Tada ikut bergumam.

Dimas masih menatap meja kosong itu. Bertanya-tanya, apa Boy sakit? Mengingat dia dipukuli dan kehujanan. Ah, mengapa juga dia harus khawatir.

"Dimas Melviano Jayantaka?"

Dimas mengangkat tangannya.

Guru itu menyelesaikan absensinya. Semua murid disuruh membuka buku panduannya. Hingga mendadak Boy masuk dan menabrak pintu yang setengah terbuka itu. Wajahnya yang lebam sangat tegang dan langkahnya tegas. Semua orang dibuat terpegum. Dia terus berjalan melewati bangkunya, sorot matanya terfokus ke Dimas.

[BL] Pria Kecil di Bawah PayungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang