Episode 37 END: Si Pria Mars

119 11 4
                                    

Jakarta, kota terbesar dan terpadat di negara ini. Punya segudang cerita indah nan unik. Dimas bukan siapa-siapa di tengah belantara kota, yang merupakan lahan sengketa, gedung yang entah bertuan siapa. Manusia dan perkara memberi arti pada Dimas. Berkutat dengan salah benar, menang kalah. Serta berkuasa lebih atas siapa.

Pada langit Jakarta Dimas gantungkan impian barunya. Pada gedung-gedung bertingkat ia titipkan harapan. Dimas bukan dirinya yang dulu lagi. Selama setahun ini Dimas tumbuh bersekolah di pinggiran kota. Sekolah yang bisa menerimanya dalam waktu dua bulan sebelum kenaikan kelas. Dia tak lagi teropsesi dengan memanah, meski masih sangat merindukan arena. Dia punya mimpi yang lain.

Karena nilainya yang buruk, ia belajar siang dan malam untuk memperbaikinya. Juga sering nongkrong bersama teman-teman barunya. Ia berusaha menikmati masa mudanya, tapi tidak meninggalkan masa depannya. Kakinya juga berangsur angsur membaik, hingga sebelum ujian akhir sekolah ia melepaskan tongkatnya.

Tahun ini Dimas mengalami pertumbuhan yang signifikan, dia lebih tinggi enam senti dari tahun lalu. Kini dia bukan lagi pria kecil. Karena nilainya di kelas X dan XI yang jeblok, dia tak bisa lolos masuk universitas jalur nilai. Dia harus melalui ujian untuk bisa lolos ke universitas negeri. Dia ingin ke UI, bukan karena ada Prana di sana, tapi karena kampus itu yang paling bagus. Jiwa kompetisinya tak bisa dihilangkan, itu akan selalu melekat.

Serangkaian ujian ia lakukan sebagai syarat lulus sekolah. Kini dia mengerti kenapa dulu Prana sangat sibuk di akhir-akhir masa sekolahnya. Ternyata memang sangat melelahkan. Dengan Prana sendiri ia tak pernah berpapasan di jalan, Jakarta jauh lebih besar daripada Denpasar. Lalu orang-orang di Bali, Dimas masih berhubungan kok. Tapi dengan Boy, sudah tak lagi. Dia sudah mengucapkan perpisahan, jadi buat apa menjalin komunikasi? Itu akan merusak segala usaha mereka berdua untuk menata ulang hati.

Hari-hari terlewati. Setahun sungguh terasa amat singkat. Hingga akhirnya Dimas lulus dan lolos ujian masuk perguruan tinggi negeri. Dia berteriak sangat keras saat mengetahuinya. Ya, itu adalah perjuangan yang sangat berat. Papanya juga turut senang, meski tak lagi menjadi atlet, ia tetap bangga pada anaknya. Sebagai hadiah atas prestasi Dimas, papanya membelikan tiket ke Bali untuk mengunjungi sang Mama.

Terbanglah ia ke Bali dengan segala cerita yang telah dibuatnya di Jakarta.

Di sinilah ia. Restoran mamanya yang ada di tepi pantai Canggu. Mereka berbincang sepanjang malam sambil minum anggur merah. Anak dan ibu itu kita tak berjarak. Mereka saling memahami.

Malam berikutnya Dimas menemui teman-temannya.

Dimas datang di saat yang tepat, karena festival seni yang pernah ia kunjungi sewaktu di sini kembali diadakan. Dimas mengganti waktu itu yang tertunda, dia tak bisa main dengan teman-temannya karena Prana.

Seperti waktu itu, festival ini sangat ramai, meriah, dan penuh kebudayaan Bali. Dia menunggu di gerbang berhias penjor dan kerajinan dari janur lainnya.

"Dimaaaasss!!!"

Suara cempreng Tada menyeruak. Diikuti suara Sundari. Mereka berlari sambil merentangkan tangan. Dede yang ada di belakang mereka, seperti biasa, berjalan dengan cool. Dimas juga merentangkan tangan menyambut mereka.

Pelukan itu erat dan tulus. Sungguh Dimas amat beruntung punya sahabat seperti mereka bertiga.

"Wah! Khe (kata ganti kamu) tinggi sekarang. Bahkan melebihi aku. Khe ngemil tower ya di Jakarta?" canda Tada takjub.

"Wow... Kamu terlihat seperti anak kota sekarang, Dim."

"Apa kabar, Dim?" sapaan ini jelas dari Dede.

Malam itu mereka bersenang-senang. Festival kali ini dirasa lebih meriah dari sebelumnya, atau mungkin kali ini karena Dimas nggak fokus ke satu cowok, jadi lebih menikmatinya. Pertama-tama mereka berempat menonton teater yang entah menceritakan apa karena menggunakan bahasa daerah. Lalu melihat-lihat ke pameran seni, bahkan meminta dilukis oleh seniman karikatur. Mereka tertawa melihat hasilnya. Puas, mereka bergeser ke pasar malam. Bermain permainan ketangkasan, seperti lembar dart, tembak-tembakan balon, lembar ring ke paku, bahkan adu panco. Meski rugi besar mereka tetap bahagia, menikmati hari-hari terakhir mereka sebagai seorang remaja.

[BL] Pria Kecil di Bawah PayungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang