Warning! 18+
*
*
*
*
*Semua orang sedang pergi. Di penginapan, hanya ada Alara dan Barata. Ala tahu itu karena saat tadi ke dapur, ia tak sengaja menemukan lelaki itu sedang berenang. Adi memang sudah memberitahu dan mengajak Alara sebelum ini. Katanya, mereka akan menikmati pantai lagi, tetapi di malam hari.
Alara tidak ikut karena sangsi pantai yang hendak mereka datangi akan lebih ramai dari tadi siang. Untuk apa ke pantai jika masih menemukan manusia? Alara inginnya hanya ada laut dan dirinya di sana.
Sejak sore Alara menghuni kamar. Gadis itu tidur, makan camilan dan membaca beberapa novel yang memang tersimpan di ponsel. Alara baru keluar kamar satu kali, itu pun untuk mengisi botol minumnya yang kosong.
Sekarang sudah gelap. Alara bisa melihat itu dari kaca jendela di kamarnya. Sebenarnya bukan masalah sendirian di penginapan di malam hari. Masalahnya perut si gadis keroncongan dan menolak diganjal hanya dengan wafer dan biskuit.
Alara butuh nasi dan sayur. Minimal nasi dengan telur dan kecap. Namun, bagaimana caranya dia bisa ke dapur tanpa ketahuan atau terlihat Bara?
"Kamu menghindari Pak Bara, Ala?"
Pertanyaan Adi itu terngiang di benak Alara. Jika kemarin ia menjawab dengan gelengan pada si teman, kali ini, tidak dilihat siapa pun, Alara mengangguk.
Ia memang menghindari Barata. Bagaimana tidak? Alara tak mengira akan bertemu lelaki itu di sini. Setelah bertahun-tahun, haruskah mereka bersua lagi?
Alara tak punya persiapan. Ditambah, saat kembali berjumpa Barata, perasaan yang selama ini Alara coba pendam dengan kurang ajarnya malah meronta ingin ditunjukkan. Alara nyaris memeluk Barata, ketika pertama kali mereka berjabat tangan lagi setelah delapan tahun.
Liburan yang Alara kira bisa sedikit memperbaiki ritme hidupnya yang kacau, nyatanya malah memberi guncangan hebat pada hatinya. Alara tidak bisa fokus pada apa pun seharian kemarin.
Harusnya Alara tidak perlu bertatap muka dengan Barata lagi hari ini. Namun, bisa-bisanya pria itu juga tak ikut bersama Adi dan yang lain ke pantai.
Suara perutnya yang nyaring menarik Alara dari lamunan. Perempuan itu memberi usapan di sana. Berniat menenangkan amukan para cacing, nyatanya kericuhan makin menjadi.
Alara mulai merasai jantungnya berdebar lebih kencang. Bayangan lambung yang perih jika terus-terusan dibiarkan kosong nyatanya memberi gadis itu tekad untuk berjalan ke arah pintu dan memutar kenopnya.
"Tiap orang harus mengambil keputusan sulit untuk bisa tetap hidup," gumam Alara putus asa sembari melangkah keluar dari kamar.
Ia berusaha fokus pada tujuan. Hanya perlu ke dapur. Lihat apa yang bisa dimakan, buat, kemudian kembali ke kamar. Alara bisa makan di kamar.
Tiba di dapur, Alara langsung memeriksa lemari pendingin. Matanya berbinar menemukan banyak bahan makanan di sana. Ada sayur, ada telur, dan semua yang dibutuhkan untuk membuat sesuatu yang lezat.
Namun, Alara segera mengusaikan bayang-bayang tumis sawi ketika ingat bahwa ia tak sendirian di rumah itu. Dengan gesit Alara mengambil dua telur. Makan malam dengan telur dadar saja itu sudah cukup. Yang penting ada nasi.
"Nasinya habis."
Tubuh Alara membeku di depan lemari pendingin setelah mendengar suara itu. Lama ia berdiri bak patung di sana. Berharap orang di belakang sana benar-benar mengiranya patung, kemudian pergi.
"Kamu keberatan kalau saya minta buatkan nasi?"
Barata berjalan mendekat. Suara langkahnya serupa hantaman palu yang mengenai dada Alara. Membuat laju jantungnya makin berantakan, mengaduk-aduk asam lambung di perutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alara Doesn't Need Husband
RomansaTak pernah Alara sangka jika liburan tiga hari bersama teman SMA akan mengubah seluruh jalan hidupnya. Alara bertemu kembali dengan Barata, laki-laki yang sudah diam-diam ia sukai selama delapan tahun. Selama liburan, sesuatu yang tak pernah diduga...