MZ 18. Hukuman

143 3 0
                                    

Jika berani berbuat, harus berani bertanggung jawab.


=MOZZERLAN=

MZ 18. Hukuman

=

Genta sudah berdiri di ruang keluarga dengan berdecak pingggang, menatap tajam ke arah Reyyand yang baru saja datang.

"Sudah berapa kali Daddy katakan?" Tanya Genta, pada Reyyand yang tertunduk takut.

"Maaf, Dad. Aku cuma antar teman, karena kakaknya masuk rumah sakit," jelasnya, berharap agar Genta memakluminya. Ternyata, ia salah.

"Daddy gak terima alasan apapun itu. Sekali lagi mengulangi kesalahan yang sama, kamu akan tau akibatnya."

"I-iya, Dad."

Genta mendudukkan dirinya di sofa ruang keluarga. Entah kenapa, akhir-akhir ini Genta selalu pulang lebih cepat. Hingga mengetahui jam pulang kedua anaknya.

Reyyand menghela napasnya, ia ingin ke kamar. Namun, Jennah lebih dulu memanggil Reyyand. "Rey, makan dulu."

Langkah Reyyand berhenti, menatap Jennah. Kepalanya menggeleng. "Nanti aja, Mom."

Jennah menatap punggung Reyyand yang mulai menjauh. Jennah juga mendengar obrolan Reyyand dengan Genta, ada rasa kasihan terhadap anaknya. Namun bagaimana pun, mungkin itu yang terbaik.

Punggung Genta bersandar pada sofa, ia merasa sangat lelah hari ini. Senyumnya terbit, saat Jennah menghampirinya dengan segelas teh.

"Ini diminum dulu, Dad." Jennah menyodorkan gelas teh tersebut padanya, yang dengan senang hati Genta terima.

Jennah ikut duduk di samping Genta, "Terimakasih, Mom. Memang terbaik," pujinya, Jennah tersenyum mengangguk.

Tengah menikmati masa berdua, Mozaya menghampiri mereka dengan wajah cerianya. Jennah membalas itu, tapi tidak dengan Genta.

"Mom," Mozaya memeluk Jennah, lalu beralih memeluk Genta, "Dad."

Sebelum Mozaya berbalik, Genta lebih dulu bersuara. "Moza, kamu Daddy hukum. Kunci mobil dan kartu kredit kamu akan Daddy sita."

"What?!" Sontak mata Mozaya melotot tidak percaya. "Why, Dad? Kenapa lagi?"

Hidung Genta pun mencium bau tidak enak. "Minum? Rokok? Club? Kamu sudah melanggar janji kamu," jelas Genta, ia mengadahkan tangannya di hadapan Mozaya.

Mozaya menggeleng, "Gak, Dad." Ia berusaha untuk mengamankan barang miliknya.

"Kita sudah sepakat, bukan? Dan kamu melanggarnya, jadi inilah konsekuensi yang kamu dapatkan. Apapun itu, harus kamu terima, karena kamu tidak bertanggungjawab atas janji kamu sendiri pada Daddy."

Mulut Mozaya menganga lebar, ia belum siap kehilangan itu semua. "Gimana aku berangkat sekolah nanti? Uang jajan? Aku perlu itu semua, Dad!"

"Daddy sudah memberikan kamu kesempatan, tapi kamu malah memanfaatkannya untuk hal yang buruk. Hingga mengakibatkan kamu kehilangan semuanya," jelasnya, mengingatkan Sang Anak bahwa tindakan yang dipilihnya, itu salah.

Menyesal?

Tentu.

"Dad..." Mozaya merengek, hingga air matanya sudah hampir jatuh. Tanggannya mengenggam lengan Genta, "Aku minta maaf..."

Genta menatap Mozaya yang berada di sebelahnya. "Kesempatan hanya satu kali, itu salah kamu sendiri yang tidak memanfaatkannya dengan baik." Tangan Genta kembali mengadah pada Mozaya.

Oke, Fine!

Mozaya melepas rangkulannya, dengan wajah masam, ia merogoh kunci serta kartu kreditnya di dalam tas. Di berikan pada telapak tangan Genta tersebut. Setelahnya, Mozaya langsung berlari ke kamarnya, menutup pintu kamar dengan keras dan menguncinya.

Tas sekolah terlempar ke lantai, Mozaya membaringkan tubuhnya di atas ranjang, menatap langit-langit kamarnya yang berwarna biru itu.

Hari ini cukup sial.

"Hari ini gue kenapa?" Dialognya pada diri sendiri, "Dijailin, sampe masuk BK, terus ketemu penghianat. Dan sekarang?"

"ARRGH! SIALAN!!!"

Teriaknya, ia benar-benar sangat frustrasi kali ini.

Seketika, pikiran Mozaya mengarah pada keadaan Zerlan yang tiba-tiba. "Kira-kira, Kak Zerlan kenapa bisa gitu?"

Tangan Mozaya menggapai ponselnya, lalu membuka room chat dengan Zerlan. Ingin mengetik pesan padanya, namun ia urungkan. Dan meletakkan ponselnya kembali.

Menghela napas lelah.

=MOZZERLAN=

Hari sudah malam, Genta duduk di tepi ranjang kamarnya, sembari memegang secarik kertas putih itu dengan lesu. Jennah yang baru saja keluar kamar mandi, ia menghampiri suaminya yang tampak murung.

Tangan Jennah menyentuh pundak Genta, Genta menoleh. Mata Jennah melirik tulisan dibalik kertas itu, ia pun turut bersedih.

"Semangat, Daddy!" Jennah tersenyum lebar, sembari memeluk Genta dari samping dengan kepala yang bersamdar dibahunya. "Aku tau kamu kuat, Dad. Kamu pasti bisa jalani semua ini, Mommy gak akan lelah buat terus dukung Daddy."

Setitik air mata Genta turun, ia benar terharu dengan Jennah yang memang terus berada di sampingnya. Ia mengusap lengan Jennah, mengecup dahinya sekilas.

"Terimakasih," Jennah melepas pelukannya, Genta menatap dalam mata Jennah sembari menggenggam kedua tangannya. "Terimakasih, sudah hadir dalam hidupku. Terimakasih, kamu selalu ada buat aku yang mungkin selalu menyusahkanmu. Maaf..."

Jennah menggeleng, mengusap air mata yang makin mengalir di pipi Genta. "Sayang, tetap fokus sama kesehatan kamu. Aku gak mau kamu terlalu berpikir yang belum terjadi dan buat kesehatan kamu makin menurun. Biarlah waktu yang menjawab, kita hanya menjalani dan terus berusaha, oke?"

Kepala Genta mengangguk, seperti anak kecil yang mengikuti perintah ibunya. Dengan segera, Genta memeluk erat tubuh Jennah. Ia sangat bersyukur memiliki istri sesempurna wanita seumur hidupnya ini.

Mereka melepas pelukannya, Jennah menangkup wajah Genta. "Urusan kantor, Daddy jangan terlalu capek, ya?" Genta mengangguk.

"Anak-anak gak tau soal ini kan, Mom?" Jennah menggeleng, Genta tersenyum lebar.

"Kapan Daddy cek up lagi?"

"Minggu depan. Katanya, Daddy harus rutin setiap satu minggu sekali."

Jennah mengangguk, "Nanti Mommy antar, ya?" Genta membalasnya dengan pelukan hangat.

Tidak ada yang mengetahui kehadiran seseorang di balik pintu kamar mereka yang tidak tertutup rapat.

"Cek up? Satu minggu sekali?" Gumamnya, ia dengan heran.

=

MOZZERLANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang