•♥︎ 𝕬𝔫ᦋ𝕜𝖆𝔰ꪖ d̷𝖆𝔫 𝕭i̴᭢ᡶ𝔞𝖓g҇ ♥︎•°
*°•♥︎. 𝕺ɾισɳ .♥︎•°*.
Langit siang ini terasa cerah dan hangat usai hujan turun, Wira dan angkasa duduk dibangku taman dengan dipayungi batang dedaunan dari pohon beringin besar yang berdiri tegak dibelakang mereka.
"Lo makan dulu ya? Tunggu disini, gue mau beliin lo makanan dulu dikantin"
" Ngga usah, gue ngga laper " angkasa berujar seperti sebuah gumaman yang ajaibnya masih dapat didengar wira.
Wira mengurungkan niatnya membeli makanan untuk angkasa, ia duduk kembali disamping adik kecilnya itu. Dalam keadaan seperti ini mungkin tidak baik untuk meninggalkan adiknya sendirian, jadi wira memutuskan tetap berada disamping angkasa untuk beberapa saat.Wira bimbang ketika ingin memulai percakapan terlebih dahulu, sementara terhitung jarang sekali ia bisa berinteraksi berdua seperti ini dengan angkasa apa lagi dengan situasi duka ditengah keluarga mereka.
Wira membawa angkasa tujuannya agar anak itu bisa menghirup udara segar supaya tidak terus merasa terkurung didalam kamar rawat, sekaligus wira ingin supaya angkasa bisa lebih terbuka padanya. Namun setelah ada disini mereka justru saling terdiam tanpa ada konversasi yang berarti, wira lantas beralih menatap wajah pucat adik nya yang sudah serupa mayat itu.
Selama hampir empat puluh lima menit terdiam, wira akhirnya membuka suara.
"Ini mungkin berat buat lo, sa. Gue tau, susah bagi gue, hendra dan mama juga buat ikhlasin papa"
Tangan wira meraih bahu angkasa mengusapnya mencoba memberi kekuatan walau mungkin tak banyak bisa berguna. Sekon menit kemudian kristal bening berlinang dari sudut manik angkasa, dia menangis tanpa berniat menghapus jejak sungai kecil diatas pipi nya atau pun mengeluarkan isakan yang menyayat hati. Angkasa menangis dalam diam menatap udara kosong dengan pikiran yang tertuju kesuatu tempat.
"Jangan gini, sa. Kalo pengen nangis nangis aja ngga perlu ditahan, keluarin semua yang mengganggu hati lo, kalo perlu teriak sekencang-kencangnya, ngga perlu pikirin tatapan orang-orang"
Wira diabaikan, ucapannya hanya dianggap angin oleh lelaki lebih muda, dia tidak merespon sekalipun wira sudah berusaha bicara sebaik mungkin dari biasanya.
"Semua ini salah gue, papa pergi gara-gara gue.. SEMUA INI SALAH GUE!!"
bukan seperti ini yang wira inginkan, ia justru benci ketika angkasa mulai menyalakan dirinya sendiri.
"Ini bukan salah lo. Berhenti mikir ini semua karena lo, ini kecelakaan, sa. Ini musibah" wira mencoba memberikan afeksi kehangatan pada angkasa yang sedang terguncang.
"Udah ya. Jangan diinget lagi.. papa udah bahagia disana.. dia bakal sedih kalo liat lo kayak gini jadi jangan sedih-sedih lagi, oke. Janji kita akan ngelewatin ini bareng-bareng ya, sa. Lo harus bahagia"
"Buat apa bahagia tanpa papa"
"Lo kan masih punya gue, mama sama hendra yang selalu ada buat lo. Jangan ngamuk kayak tadi, lo serem kalo udah ngamuk tau" wira menarik tubuh sang adik untuk bersandar pada bahunya.
Hari ini wira merasa telah melakukan perannya sebagai kakak yang hangat, walaupun ia harus menyingkirkan jauh-jauh rasa gengsi yang ia selalu junjung tinggi, tapi setidaknya wira sudah berusaha menjadi hangat dan penuh pelukan untuk sang adik.
.
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
Angkasa dan Bintang Orion [Slow Update]
Fanfiction[lokal fiction] . Ada sosok pemuda yang begitu tegar melewati hari esok dalam lubang kegelapan usai kepergian sang ayah kepangkuan sang kuasa. Mana kala kesunyian tidak lebih buruk dari kebisingan, yang dia lakukan hanya mendengarkan isi hati nya s...