✨ Minal aidin wal faizin ✨
Mohon maaf lahir batin.
.Akhirnya bisa double up
HeheJangan lupa vote dulu terus komen banyak-banyak ya...
Happy reading
.
.
.Hari Senin adalah hari yang paling tak disukai oleh sebagian dari siswa. Apalagi jika disertai dengan cuaca yang terik seperti hari ini.
Hari ini Chandra kembali bersekolah setelah hari Minggu kemarin ia habiskan untuk istirahat. Tidak, Minggu Chandra tak sepenuhnya tenang. Sebab saat malam hari, Samuel diam-diam menemuinya dan memberinya beberapa buku tebal berisi soal-soal ujian nasional.
Chandra tak habis pikir dengan Ayahnya itu. Padahal sudah ada Deon dan Nathan yang memang pintar dari sananya. Tapi tetap saja Chandra dituntut untuk lebih pintar. Seolah Samuel tak mau kalau anaknya kalah dari anak-anak Reina.
Seperti biasa, Chandra berangkat bersama Rafa. Entah sejak kapan kebiasaan itu dimulai. Chandra dan Rafa mulai berkumpul dilapangan bersama yang lain setelah seorang guru memberi perintah melalui speaker.
30 menit berlalu, para siswa siswi mulai mengeluh kepanasan. Sang pembina upacara didepan sana masih belum juga menyelesaikan amanatnya. Belum lagi aksi pasukan putih-putih.
Mereka yang berbaris disisi paling kiri dengan seragam putih-putih adalah anggota baru OSIS. Dan hari ini adalah pelantikan mereka secara simbolis.
"Lama banget dah amanatnya. Panas banget lagi." keluh Rafa yang berbaris dibelakang Chandra.
Chandra sendiri tengah berusaha mengatur napasnya. Ia tak fokus dengan sekitar sebab pandangannya berputar. Tangannya ditaruh didada. Mengusap-usap dadanya berharap sesaknya segera hilang.
Rafa yang melihat gelagat aneh Chandra, menepuk pelan pundaknya.
"Chan? Lo oke?" Chandra tak menjawab, ia sibuk dengan kegiatannya mengatur napas.
Rafa mendekat. "Chan!" Chandra sadar namun tubuhnya bertumpu pada Rafa dan mulutnya yang terbuka berusaha mengais udara disekitarnya.
Anak PMR yang berjaga dibelakang pun inisiatif menghampiri. Membantu Chandra untuk berjalan ke barisan belakang. Mendudukkannya di pinggiran lapangan.
Anak PMR tersebut dengan cekatan membantu Chandra untuk menggunakan masker oksigen yang memang sudah mereka sediakan.
"Mau disini aja atau ke UKS dek?" tanya salah seorang petugas PMR dengan bet kelas XI dilengan seragamnya.
Chandra menggeleng pelan. "Disini aja kak." kata Rafa.
"Yaudah, kamu balik ke barisan lagi dek. Ada kita yang jaga teman kamu."
"Iya kak."
________________
Jam istirahat telah berbunyi lima menit yang lalu. Kini Chandra sudah duduk manis di kantin bersama Rafa, menunggu Mahen membeli makanan.
Sejak Mahen pindah ke sekolah ini, Chandra dan Rafa lebih sering bersama Mahen daripada bersama Nathan dan Jevan.
Mahen datang dengan sebuah nampan ditangannya. "Silakan tuan-tuan." candanya. Mahen duduk berhadapan dengan Chandra.
"Kata temenku kamu sakit Chan?" Chandra mendongak.
"Iya kak. Untung aja ada gue dibelakangnya." Chandra menatap tajam Rafa.
"Kalo masih sakit tuh gausah masuk dek."
"Udah sembuh kok."
"Nanti pulang sekolah kamu sibuk nggak?" Chandra menggeleng.
"Nginep dirumah Om Bara yuk. Udah lama kita nggak habisin waktu bersama."
"Tapi aku ada les kak."
"Izin sehari gak masalah kan? Lagian lesnya di Mamanya Rafa. Nanti biar Rafa ijinin ke Mamanya. Iya nggak Raf?"
Rafa mengangguk. "Bener tuh kak. Udahlah Chan ikut aja. Mama pasti ngerti kok."
"Tapi aku juga ada les di Bu Fira. Biasanya dateng langsung kerumah."
"Nanti kakak bilangin ke Nathan deh biar diijinin."
Chandra hanya bisa menghela napasnya. Kakaknya itu memang keras kepala. Lo gak bakal paham kak. Batinnya.
________________
Disinilah Chandra sekarang, dirumah yang kini Mahen tempati bersama Bara. Tadi, Bara yang menjemput mereka.
Saat ini, mereka sedang makan bersama. Bara sendiri yang memasak untuk mereka. Kebetulan, ia sedang tak ada pasien.
"Enak banget masakan Om. Mirip sama punya Bunda." kata Chandra.
"Iya dong. Om gituloh."
"Sombong amat." cibir Mahen. "Habis ini main game yok dek."
"Game apaan? Kakak mana bisa main game, pasti kalah terus."
"Eitss, itu dulu ya." elak Mahen.
"Terus sekarang?"
"Masih sama sih hehe." Mahen menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Sedikit malu kala adiknya kembali mengingatkan bahwa ia tak pandai bermain game.
"Game apa aja deh, yang penting main sama kamu."
"Udah ah habisin dulu itu makanannya. Kalo gak habis, Om jejelin ke mulut kalian." Chandra dan Mahen bergidik ngeri.
10 menit berlalu, mereka akhirnya menyelesaikan makan siangnya. Setelahnya Mahen menarik Chandra untuk kekamarnya, bermain game.
Sementara itu disisi lain, Nathan sedang berada dikamar Deon. Ia dilanda gabut. Alhasil, dirinya mengikuti Deon hingga kekamar. Padahal, disana dia juga akan bosan karena Deon sibuk dengan buku-buku dihadapannya.
Ujian kelulusan semakin dekat membuat Deon lebih sering belajar. Ia tak ingin mengecewakan mendiang Ayah kandungnya yang dulu berpesan agar ia masuk ke universitas negeri terbaik.
Nathan terus saja memandangi abangnya yang beberapa kali terlihat membolak-balikkan halaman buku didepannya. Nathan menguap, bosan sekali rasanya.
Brakk
Suara gebrakan itu mengejutkan keduanya. "Apaan itu bang?" Deon menggeleng, ia juga tak tahu. Suaranya berasal dari lantai bawah, tepatnya di ruang makan.
"Ayo cek."
"Jadi kamu nuduh aku?!!" suara Samuel menyambut keterjutan Nathan dan Deon. Mereka dibuat bingung dengan kedua orangtuanya yang kini sedang bersitegang.
"Aku gak bermaksud begitu mas!"
"Ada apa sih Bun?" tanya Nathan dan menghampiri Bundanya, berusaha menenangkan.
"Urus tuh Bunda kamu! Gak tau diri! Main tuduh orang sembarangan!" Samuel pergi keluar rumah membuat Deon ikut mendekat ke Bundanya.
Deon menuntun Reina dan mendudukkannya di sofa ruang keluarga. Mengusap-usap bahunya agar tangisnya mereda. "Ada masalah apa Bun?" Reina yang ditanya hanya menggeleng.
Reina mengusap sisa airmatanya dan merubah ekspresinya dengan cepat. "Eh kalian udah laper ya? Bunda lanjut masak deh." Deon dan Nathan memandang kepergian Bundanya dengan tatapan penuh tanya.
"Ayah sama Bunda kenapa sih bang?"
______________
23 April 2023
.
.
.Next...
KAMU SEDANG MEMBACA
Arrayan Chandraka ✔
Teen FictionArrayan Chandraka Diumurnya yang kini menginjak 16 tahun itu, sudah diuji oleh kerasnya dunia. Berusaha meluruskan satu persatu, namun takdir berkata lain. Takdir membawanya kepada kehidupan yang baru. Kehidupan yang entah bagaimana kedepannya. Sela...