17. Patah

567 83 21
                                    

Tampak Naruto bersiul-siul memasuki rumah besar nan mewah itu.


"Ah, Naruto, kamarmu di sebelah kamar Hinata," ujar Hiroshi ramah pada sanak familynya itu. Lelaki tua itu menunjukkan sebuah kamar cukup besar untuk ditinggalinya.

"Kakek, jangan terlalu memanjakanku, nanti aku tak ingin pergi di sini." Naruto tersenyum manis.

Dari jauh Neji menatapnya cemberut. Dia sudah selesai berkemas jika rencananya gagal. Namun, semua kekesalannya mendadak lenyap tatkala dirinya melihat pemuda berambut raven datang ke rumahnya bersama kakaknya yang hanya diam. Aneh memang, biasanya kakaknya itu suka berteriak-teriak tak jelas yang menurutnya bodoh jika sudah pulang. Ya seperti mengucapakan 'Aku pulang!' Tapi sekarang lihat, kakak hanya diam dan terlihat lebih bodoh.

"Oh, kau sudah datang, Sayangku?" Hiroshi tersenyum menyambut cucu perempuannya senang.

Hinata hanya melongo melihat kakeknya. "Eh? Iya," jawabnya linglung yang kemudian memasuki kamar yang akan ditempati Naruto.

"Hei, Hinata, kamarmu di sebelah sana, kenapa kau masuk ke kamar Naruto?" Hiroshi jadi heran.

"Oh ... ini kamar Naruto?" jawabnya masih linglung, dia menatap pemuda berambut kuning tersebut, kemudian beralih ke kakeknya juga Sasuke sejenak. "Selamat datang, Naruto! Semoga kau menyukai kamarmu." Gadis itu melambaikan tangannya tak acuh lalu dengan masa bodohnya Hinata menuju kamarnya. Pewaris Hyuuga itu benar-benar seperti orang habis kesurupan hantu amnesia. Bahkan saat berpapasan dengan Neji, dia hanya bersikap tak acuh seperti tak mengenalnya.

"Kakak, kau kenapa?" tanya Neji curiga.

Hinata menoleh. Dia menatap remaja berambut panjang kecokelatan itu heran. "Kakak? Kau yang tampan ini mengaku adikku? Rasanya kau lebih cocok jadi pacarku," ujarnya dengan mata yang masih terlihat kosong.

"KAKAK!" Neji menjerit frustasi. Dari jauh Naruto tertawa. Dasar sinting, awas saja kau!

Sasuke menatap Naruto. "Jadi kau tinggal di sini?"

"Mau bagaimana lagi, Kakek Hiroshi memaksaku. Aku bersyukur karena tak perlu menghabiskan uangku untuk membayar sewa apartemen, bagus bukan?" Naruto tersenyum. Dasar kucing manis. Selalu saja ingin tahu urusanku. Dia menoleh pada Neji yang memasang wajah hendak berperang. Namun, detik selanjutnya dia ingat akan misi pentingnya. Wajahnya tak lagi jutek.

"Naruto, bukankah kau jago matematika, kau setiap malam bisa mengajari kakakku yang bodoh itu. Lagi pula kamar kalian, kan, dekat. Kau bisa sekalian tidur di kamarnya."

"Mana bisa begitu," protes Sasuke tak suka.

"Kau mau, kan Chak ... eh Naruto?" Paksa Neji.

Bahaya. Batin Sasuke, dia harus membawa si kuning sialan keluar dari rumah ini sesegera mungkin.

"Tentu saja," Naruto tertawa sembari berkata, "mengajari Hinata adalah hal yang menyenangkan. Anak itu memang perlu guru privat. Aku rela menjadi gurunya."

Sasuke menarik putra Minato tersebut dan menatapnya datar. "Aku rasa Hinata tak perlu guru privat sepertimu. Bukankah kau masih baru di sini, kau belum tahu suasana Tokyo, apalagi Akihabara. Juga belum tahu sekolahmu? Aku bersedia menjadi tutor-mu sementara sampai kau mendapatkan apartemen baru. Untuk sementara bagaimana jika kau tinggal bersamaku di apartemenku?" tawar Sasuke sambil tersenyum.

[END] ✅ Oh, My PrincessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang