56

14 2 0
                                    


  Sebuah cahaya menelisik ke celah-celah atap jerami yang berlubang menyebabkan seorang gadis cantik yang sedang tidur di dalamnya menggeliat tidak nyaman karena tidurnya yang terganggu. Ketika ia ingin terlelap lagi, bau asap memasuki indera penciumannya hingga membuatnya terbatuk dan akhirnya memutuskan untuk bangun.

  Netra cokelat itu mengerjap pelan seraya tubuhnya ia regangkan mencari kenikmatan bangun tidur untuk tulang-tulangnya. Setelah seratus persen sadar ia pun menyingkap selimut tambalan dan melipatnya rapi sebelum keluar.

  "Uhuk...uhuk....kak Ji sedang apa?"

  "Eoh, kamu sudah bangun? Makanannya bisa kamu hangatkan lagi di dapur," ujar Ji-min yang sedang menyapu dedaunan kering lalu melemparkannya ke api, oh dia sedang membakar sampah dedaunan.

  "Kakak bangun jam berapa? Hoamm...sudah membakar sampah."

  "Sebelum ayam berkokok."

  Pudwi langsung melihat ke sekeliling dan mendapati semua orang tengah melakukan aktivitasnya masing-masing. Ada yang menjemur pakaian, menggiring bebek, menambal pakaian dan anak-anak sudah berlarian ke sana kemari. Pudwi langsung masuk kerumah karena merasa malu bangun kesiangan dan tidak melakukan apa-apa. Setelah sarapan dengan bubur seadanya, ia pun mencuci mukanya dan bergegas membantu Ji-min memotong kayu di halaman.

  "Tidak usah, ini sebentar lagi selesai."

  "Tidak kak Ji, aku merasa merepotkan jika tidak melakukan apa pun. Jadi, aku boleh memotong kayu ya?" Tanya Pudwi dengan pup eyes.

  "Baiklah, terimakasih."
 
  Setelah memberikan kapaknya ke Pudwi, Ji-min pun segera beralih mengeluarkan kerajinannya keluar dan mulai membuat keranjang bambu," kak Ji, apa kerajinan itu akan dijual?"

  "Iya, dijual dipasar hari ini."

  Pudwi memotong kayu-kayu itu dengan cepat, walaupun akhirnya tangan-tangannya merah ia dapat menyelesaikan 2 tumpukkan kayu dengan rapi dan sesuai ukurannya dengan yang ada di dalam. Beruntung saja kapaknya tidak terlalu berat atau ia akan mengeluh di potongan kelima.

  Setelah menata kayu itu ke dalam, Pudwi pun beralih bermain dengan putra Ji-min yang sedaritadi diam bermain sendiri dengan mainan kayu berbentuk binatang. Melihat anak ini sebenarnya membuat hati Pudwi langsung sedih, anak ini sangat kurus dengan baju bertambal-tambal. Anak ini juga sangat pendiam dan tidak rewel seperti bayi biasanya ketika disibukkan oleh ibu-nya yang bekerja. Karena ini, semalaman Pudwi mempunyai tekad untuk memberikan anak ini baju baru dan terus mengajaknya bermain agar kembali aktif.

  "Halo Minseo, sedang main apa hem? Main mainan kuda?"

  Anak itu tidak menjawab melainkan terus menunduk memainkan mainannya dengan sendok sayur di tangan kanannya yang terus menggali tanah dibawah. " Minseo, apa kakak boleh main?"

  Karena selalu diacuhkan dan Pudwi tidak diperbolehkan memegang salah satu mainannya membuatnya bangkit lalu duduk di samping Ji-min yang sedang merapikan kerajinannya yang sudah jadi. Melihat keranjang bambu yang cantik ini Pudwi langsung berspekulasi kalau benda ini akan menghasilkan banyak uang." Kak Ji, satu keranjang bambu ini kamu jual berapa?"
 
  "50 tembaga."

  "Sepertinya itu terlalu murah," ujar Pudwi yang melihat lebih dekat ranjang itu yang dianyam dengan sangat rapi.

  "Banyak orang bisa membuatnya."

  "Ooh, lalu sehari kak Ji dapat menghasilkan berapa keranjang?"

  "Dua keranjang."

  Percakapan mereka pun langsung terpotong karena ada dua orang remaja laki-laki menghampiri mereka dengan keranjang di punggungnya masing-masing. Mereka menurunkan dua keranjang itu dan memperlihatkan dalamnya yang berisi banyak ikan dan satunya buah-buahan liar.

  Melihat ini mata Pudwi berbinar, sarapan tadi ia hanya makan bubur encer dengan sayuran liar yang tidak mengenyangkan perut. Dengan ikan-ikan segar ini ia jadi menginginkan tumis ikan ala ibu-nya.

"Apa ada ikan kecil?" Cicit Ji-min membuyarkan pandangan keduanya yang sedaritadi menatap Pudwi tanpa berkedip. Gadis ini belum pernah mereka lihat sebelumnya dan kulitnya bersih dengan kedua pipinya berisi mengalihkan pandangan mereka yang sampai sekarang belum mendapatkan gadis yang cocok untuk mereka nikahi.

  "Ada disini kak Ji-min, kami selalu menyiapkan ikan-ikan ini untukmu," ujar salah satu remaja itu memperlihatkan satu  bungkusan dedaunan yang berisi ikan-ikan sungai yang kecil, mirip seperti ikan teri.

  "Aku akan membelinya, berapa kamu menjualnya?"

  "Seperti biasanya, hanya 5 tembaga."

  "Aku akan mengambil uangnya."

  "Minseo ingin buah atau ikan?" Tanya Pudwi ke Minseo yang hanya berdiri diam di tempatnya bermain tadi.

  Karena sepertinya anak itu menginginkan sesuatu, akhirnya Pudwi pun berinisiatif menawarkan gendongan yang dengan perlahan Minseo ikut dengannya. Melihat ke keranjang, rasa ingin tahu Minseo pun terwujud dengan kedua mata berbinar cerah. Dirinya tidak pernah melihat ikan sebesar itu dan buah-buahan itu terlihat lezat, ia dulunya hanya bisa melihat teman-temannya yang makan lalu sekarang ia ingin memakannya juga. Tetapi, ibu-nya tidak pernah membelikannya setiap kedua kakak ini datang dan selalu hanya membeli ikan-ikan kecil.

  "Mau apel?" Tawar Pudwi namun Minseo hanya terdiam. Jika ibu-nya tidak membelikannya berarti ini mahal kan? Kata temannya ia tidak akan pernah mampu memakan buah yang lezat ini.

  "Kyungrin, Minseo tidak menyukainya. Biarkan saja," ujar Ji-min yang sudah selesai bertransaksi dan mendengar tawarannya.

  "Minseo mau?" Tanya Pudwi lagi lalu dengan lembut menyelipkannya di tangannya yang kecil membuat lelaki kecil itu sedikit gugup lalu menatap ibu-nya yang menggeleng," tidak perlu Kyungrin, dia tidak menginginkannya."

  Walau ibu-nya berkata seperti itu, putranya melakukan sebaliknya dengan memegang apel itu erat tapi masih terdiam dengan kepala menunduk. "Biarkan saja, berapa harga apel ini?"

  Karena gadis cantik yang bertanya, mereka berdua pun berebutan menjawab membuat Pudwi tertawa kecil karena menurutnya dua remaja ini sangat lucu.

  "Aku tidak bisa mendengarnya dengan baik, salah satu katakan berapa harganya?"

  "Satu apel hanya 20 tembaga, kamu mau berapa?" Tanya salah seorang dari mereka yang mempunyai lesung pipi bagian kanan. Kulitnya sedikit bersih namun penampilannya kurang menarik dengan baju bertambal dan rambutnya yang tidak terurus. Salah satunya tidak jauh berbeda, namun hanya sedikit lebih gelap.

  "Aku akan mengambil 9 apel lagi," ujar Pudwi membuat kedua remaja ini berbinar sedangkan Ji-min langsung tertekan, begitu banyak uang yang dia buang bukan?

  "Bukankah itu sangat mahal? Kamu jangan membuang-buang uang seperti itu," ujar Ji-min membuat Pudwi tersenyum, uang bisa dicari namun kebahagian anak kecil ini lebih penting.
"Tidak usah khawatir kak, uang bisa dicari lagi. Bisa kakak membawakanku salah satu ranjang itu? Untuk menaruh apel-apel ini."

  Dengan gugup, Ji-min membantu Pudwi untuk menyimpan apel-apelnya, buah-buahan ini sangat segar dan berair. Ia jadi ingin membelikan ibu mertuanya satu namun tidak ada cukup uang dirumah.

  "Ikan-ikan ini kelihatannya segar."

  "Benar nona, ikan-ikan ini baru saja ditangkap dini hari dan baru dibersihkan tadi. Jika nona membeli 4 kita beri ikan gratis 1 bagaimana?"

  "Satu ikan kamu jual berapa?"

  "Biasanya kami jual 22 tembaga per ekor, tapi karena nona yang beli jadi kami beri harga 20 tembaga. Bagaimana nona?"

  Pudwi tergiur dengan diskon harga dan bonusan ikan. Ia pun mulai menurunkan Minseo dan mulai memilah ikan-ikan itu yang menurutnya besar dan masih segar.

  "Aku ambil 4, kalian beri aku gratisan 1 ekor kan?"

  "Tentu, kami akan membungkusnya dengan cepat."

  Hari ini mereka untung besar sekali jalan, tidak hanya bertemu gadis cantik tapi juga jualan mereka laku keras.

  "Kyungrin, apa uangmu cukup?"

Bts×me time travelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang