How Can

241 43 10
                                    

.

.

.



Sudah jam 9 saatnya pulang. Aku coba cek balasan Rose dan aku tidak paham dengan apa yang dia tulis ini.

R _ Lisa, I have trouble here. _

What trouble?

Tinggal bilang saja apa masalahnya kan. Kenapa tidak dilanjutkan? Aneh sekali.

Ah ya sudahlah, alamat pulang telat sih ini. Lebih baik aku tidak menunggunya.

Aku pun berjalan ke arah eskalator turun. Mau jalan-jalan sekalian olahraga sikil.

"Udah kelar ngajar un?"

Aku menoleh ke sumber suara. Dimana Ryujin sudah berdiri di samping pintu IndoApril nya YG.

"Udah. Mau jajan apa udah kelar jajan?" tanyaku sekedar basa-basi.

"Mau bayar."

Apa yang bisa dibalas selain ohh aja. Begitu mau turun di lantai bawahnya lagi, Ryujin memanggil.

"Un, bisa ngobrol bentar?"

Aku hentikan langkah, dan mengangguk padanya. Ini pasti soal pesan balasan dari Rose, yang tak sengaja dilihatnya kemarin.

"Hayuk." balasku. Ryujin pun berlari kecil menyusulku. Dengan kantong belanjaan di tangan kanan. Turun eskalator sembari diam-diam bae.

"Unnie, ternyata benar apa yang mereka gosipkan selama ini ya."

Yap aku sangat mengerti kemana arah tujuannya sekarang.

"Hm aku tahu kau sudah melihat apa yang muncul di handphone ku kemarin kan."

"I-iya. Tidak sengaja."

"I understand,"

Begitu sampai pintu keluar, aku mengajaknya ke cafe langganan seberang gedung.

Sesudah didalam aku memesan satu cangkir cappucino.

"Pesan apa? Aku traktir deh."

"Seriusan un?"

"Iya, keburu berubah pikiran nih."

Kemudian ia pun pesan caramel macchiato. Duduklah kita di rooftop. Dengan wajah yang kalem, ia masih menunggu penjelasan dariku rupanya. Lucu sekali.

"Jadi, aku harus minta maaf dulu ya Ryu. Tapi Rose dan aku memiliki sebuah hubungan istimewa memang."

Ia mendengus kesal. Seperti anak SMA yang tidak diberi uang jajan.

"Semua orang tahu tentang itu?"

"Tentu saja tidak. Yang seperti itu tidak bisa diumbar disini sweety."

Raut wajahnya tidak bisa berbohong. Seperti dia kecewa mendengarnya.

"Memang kau naksir sungguhan pada Rose?"

"T-Tidak."

"Tidak usah bohong."

"Tidak naksir yang seperti itu."

"Terus yang seperti apa dedek??"

Dia nya malah diam. Lebih baik aku tidak memaksanya bicara.

Aku menyesap kopi, sembari melihat ke arah bawah. Lampu perkotaan sangat indah.

"Aku juga tidak paham un, tapi kalau sudah tahu rahasianya ternyata seperti ini. Mau gimana lagi."

Ternyata seperti itu. Aku tersenyum lalu mengacak-acak rambutnya.

STRANGERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang