Kesialan Shane

18 5 0
                                    

“Hesley! Ini masih pagi. Mereka masih tidur!” Teriak wanita paruh baya.

Pemilik nama yang sedang memetik bunga pun menoleh ke asal suara, Tersenyum hangat. Berdiri diantara lautan lavender.

“Apa mereka mengatakan kepada bibi?”

Wanita paruh baya itu tergelak. Ia menghampiri gubuk kecil yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Meletakkan keranjang anyaman berisi roti dan susu yang ditutupi oleh kain.

“Bibi tidak pergi ke toko kue?” Tanya Hesley begitu sampai di gubuk.

“Ada Rayna,” jawabnya sambil mengeluarkan kanyong kertas berisi beberapa roti dan satu botol susu segar yang masih hangat.

Matanya membulat, “Kapan dia pulang? Mengapa tidak datang ke rumahku?” Hesley menodong pertanyaan.

“Tadi malam. Apa kau sudah selesai mengambil bunga?”

“Em... aku rasa empat keranjang itu cukup,” jawabnya sambil melihat keempat keranjangnya penuh dengan aneka bunga.

“Segera pulang, bawa roti ini untuk mengisi perutmu. Lalu, segera buka tokomu!” perintahnya.

“Bibi, ini masih jam 6.45 menit. Aku buka jam 8 tepat bibi,”

“Hari ini ada festival, banyak orang akan membeli bunga. Beberapa jalur jalan juga akan ditutup,” jelasnya.

“Ah, benarkah? Pantas saja kemarin banyak yang memesan bunga kepadaku. Baiklah, aku akan segera pulang untuk mandi,” terkesiap mendengar ucapan wanita paruh baya.
Hanya sebentar, lantas ia memasukkan roti dan susu pemberian wanita itu ke dalam keranjang bersama bunga.

“Berdandanlah secantik mungkin. Hari ini semua orang akan keluar, banyak pria tampan.” Goda wanita itu sebelum meninggalkan Hesley.

“Bibi bisa saja. Lagi pula, aku belum berniat mencari pasangan,” ucap Hesley dan wanita itu terkikik. Lalu keduanya meninggalkan gubuk dengan arah berlawanan.

Tergesa ia melangkahkan kaki sambil mendorong gerobak yang menampung empat keranjang bunga miliknya. Pikirannya terus ingin segera sampai di rumah. Wajar saja tidak tahu, ia baru tinggal di kota ini sepuluh bulan.

7.30 Hesley sampai di toko bunga miliknya. Roti dan susu pemberian tetangganya ia bawa karena tidak ingin waktunya terbuang. Membuka  jendela samping kanan dan kiri, lalu mengeluarkan tabung hitam yang telah ia isi air agar bunga tetap segar. Ia letakkan berjajar di rak kayu berundak yang telah tersedia, setelahnya ia masukkan bunga-bunga segar sesuai jenis. Selesai dengan display, melanjutkan merangkai bunga pesanan. Fokuslah pada kertas, gunting dan tangkai berbagai jenis bunga.

“Huft! Akhirnya selesai!” soraknya melihat lima belas buket bunga yang tersimpan rapi di dalam pendingin.

Melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan lalu melihat ke luar toko yang mulai banyak orang berjalan kaki lalu lalang. Menghela nafas sejenak lalu menghampiri meja dekat jendela, disana ada roti dan susu yang belum sempat ia nikmati. Tenang ia menikmati sarapan.

Gedung tinggi bertingkat dengan ratusan jendela berderet hanya satu yang terbuka. Disana, seorang pria tanpa mengenakan kaos menjulurkan separuh tubuh ke luar jendela, kedua siku bertumpu pada bingkai pembatas.  Kedua kornea itu menatap lekat dari sudut ke sudut, mengamati aktifitas di luar hotel.

“Turun dan menikmati langsung lebih menarik dari pada hanya melihat dari kejauhan,” celetuk seorang pria dari belakang.

Mengerutkan dahi lalu berbalik badan. Tidak menggeser posisi, tetap pada tempat menyandarkan punggung ke pembatas jendela sambil bersedekap di depan dada.

The Flower GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang