“Tidak bisakah kau mematikan ponselmu, huh! Orang lain ingin menikmati makanan dengan tenang,” omel Hesley.
Meja makan yang biasanya Hesley huni sendiri atau dengan Reyna saja, malam ini penuh karena ada Zil dan Shane yang bergabung. Sejak tadi juga Shane sibuk dengan ponsel, bukan karena cemburu. Melainkan dering yang berkali-kali membuat Hesley tidak suka. Masih segumpal batu yang menyumbat dada Hesley Atas apa yang terjadi tadi pagi, hingga apapun yang Shane lakukan selalu salah, sekalipun itu hal wajar.
“Kau cemburu, jika ini pesan dari wanita lain?” jawab Shane santai sambil menyuapkan sup kentang ke dalam mulutnya sendiri.
“Kau bukan siapa-siapa dalam hidupku, sangat mustahil jika aku cemburu,” ucap Hesley santai, datar dan tanpa ekspresi.
Menoleh kepada Reyna, “Tolong kunci pintunya jika mereka sudah pulang, aku mau istirahat.” Pesannya.
“Habiskan makan malammu!” Seru Shane sambil menyimpan ponsel ke dalam saku celana.
Hening. Hesley hanya menatap dingin kilas kepada Shane. Ia bangkit dengan membawa piring yang masih penuh makanan serta gelas jus masuk ke dalam kamar. Menutup pintu dengan cara membanting, hingga ketiga manusia yang masih berada di meja makan terlonjak.
“Dia tidak suka suara berisik di meja makan,” tutur Reyna.
“Panggil aku jika terjadi sesuatu dengannya,” ucap Shane sebelum meninggalkan kursi.
Berbeda dengan suasana kamar. Di ruangan itu, Hesley tampak bahagia berbincang dengan seseorang melalui panggilan vidio Sambil menikmati menu yang tersedia di piring.
“Leon! Kau makan apa? Tampaknya lezat sekali?” tanya Hesley.
“Kepiting saus pedas dan spagetti,” jawabnya. Diperlihatkan capit besar ke arah kamera agar Hesley bisa melihat jelas.
“Aku jadi ingin makan itu,” ucap Hesley memelas. Liurnya seolah menetes melihat daging lembut yang dikeluarkan Leon dari cangkang.
“Daging panggangmu saja belum habis separuh, kau mau makan lain.”
“Mendadak aku tidak selera dengan daging panggang ini,”
“Kalau begitu, beli saja. Bukankah ada satu restoran seefood di sekitar rumahmu,”
“Rasanya sangat berbeda dengan yang kau makan, bumbunya saja sedikit lain.”
“Terbanglah ke sini!” ucap Leon enteng.
“Ck! Jika aku disana, kau akan menjadi pria pemalas...”
“Apa kau tidak senang aku ajak jalan-jalan?” potong Leon cepat.
“Senang. Tapi perusahaanmu butuh perhatian lebih, Leon.”
“Kau tau villa indah yang ada di Amalfi itu?” tanya Leon kepada Hesley untuk mengingat.
“Ya. Tentu saja,”
“Telah ku beli,” ucapnya sambil mengangkat sebuah map. Bibir pria itu tersenyum lebar sambil memainkan kedua alisnya naik turun.
“Aaakkkkhhhh....” pekik Hesley heboh.Ia berlari naik ke ranjang melompat lompat seperti monyet kegirangan. Lalu turun kembali menghampiri ponsel yang masih tersambung dengan Leon.
“Kemarilah! Aku akan mengecupmu!” seru Hesley masih heboh. Kemudian menempelkan bibirnya ke layar ponsel, ciuman jauh Hesley berikan pada pria itu.
“Hei! Jauhkan bibirmu yang menjijikkan itu,” ucap Leon bergedik ngeri.
“Baiklah. Baiklah... sebentar,”
Baru beberapa detik wanita itu terdiam. Leon seketika mengangkat sebelah alisnya.
“Kau, kenapa? Tidak cocok?” tanya Leon. Ia pun sejenak panik melihat wanita itu yang mendadak diam.
“Aku sedang memikirkan berapa tarif yang harus ditetapkan untuk penyewaan villa itu,” papar Hesley.
Leon berdecak. “Villa itu untuk tempat keluarga kita liburan ke sana, bukan untuk disewakan dan mencari keuntungan,” marah Leon tapi hanya bercanda.
“Semua sibuk bekerja, ada hari dan bulan yang bisa kita jadikan untuk menambah pemasukkan,” otak bisnis Hesley mulai bekerja meracuni Leon.
“Jangan mendadak seperti orang miskin. Aku tidak kekurangan uang,” omel Leon.
“Memang aku miskin. Lagi pula, apa salahnya jika disewakan,” Hesley menyengut dengan melipat tangan di dada.
“Hentikan, otak bisnismu itu.” Peringat Leon.
“Hei, wajahmu terlihat pucat. Kau sakit?” tebak Leon yang baru sadar perbedaan wajah Hesley.
“Ti-dak. Aku sehat,” elaknya.
Terlihat pria itu meneliti tajam pada wajah Hesley lewat layar ponsel. Tumbuh bersama sejak kecil dan berbagi dalam segala hal tidaklah sulit mengetahui perubahan setiap inci tentang Hesley.
“Aku membeli banyak buku cerita baru, membaca hingga larut sampai pagi dalam beberapa hari terakhir...”
“Lalu kau sakit?” potong Leon cepat menebak.
“Begitulah,” jawab Hesley pelan sambil menggaruk tengkuk yang tidak gatal.
“Kau tidak sedang menipuku?” Leon mengintimidasi.
“Kau pikir, ada sesuatu yang membuat aku lupa tidur selain menikmati kisah cinta fiksi itu?” berbalik bertanya agar tidak dicurigai.
“Baiklah, jaga kesehatanmu. Jika perlu, lupakan buku cerita tak bergunamu itu,” pesan Leon.
“Ku potong lidahmu! jika terus mengatai kisah fiksi itu tak berguna.” Desis Hesley mengancam. Sedangkan pria itu yang berada di seberang panggilan tertawa terbahak.
Obrolan mereka terputus. Melihat jam masih menunjukkan pukul sembilan, lantas Hesley memilih untuk memeriksa email atau data perusahaan. Jarak yang cukup jauh tidak mengubah Hesley yang masih ikut menangani perusahaa. Sebisa dan semampu dirinya ia akan melibatkan diri pada perusahaan milik Leon.
Titik fokusnya buyar saat ketukan pintu berkali-kali menggedor dengan tidak sabar. Sambil berdecak ia turun dari ranjang. Kedua bola matanya seakan ingin lompat dari tempatnya. Lalu keluar kamar mencari dua orang lainnya, tapi tidak ada. Kembali lagi pada pria yang masih berdiri di depan pintu kamar Hesley.
“Dari mana kau masuk?” sembur Hesley.
“Menembus tembok. Aku hanya mengantarkan ini, kau mau?” Ucap Shane enteng.
Dari bau sepertinya sangat lezat. Tampilannya saja menggiurkan. Bahkan telah dipotong menjadi beberapa bagian. Saus pedas yang diasingkan dalam mangkuk kecil juga tercium harum.
“Aku letak di sini. Jika kau tak ingin makan, simpan dalam kulkas,” ujar Shane sambil meletakkan nampan di atas meja makan.
Hesley masih diam menatap punggung Shane yang tidak tertutupi oleh apapun. Masih mengenakan celemek pria itu mengantarkan makanan yang sempat ia inginkan ketika berbicara di ponsel.
Menggeleng pelan untuk menepis segala pikiran aneh. Ia juga sadar, belasan tahun lalu dengan sekarang sangatlah berbeda. Dulu pria itu masih remaja kecil dan ia pun juga. Tapi sekarang, Shane telah menjadi pria sukses dengan segala yang pantas. Sedangkan Hesley sendiri hanya sebagai penjual bunga. Tidak, ia tidak ingin ada apapun yang terikat dengan pria itu.
Sampai di rumah, Shane menyugar rambutnya ke belakang lalu membuang nafas lasar sambil berkacak pinggang. Rongga dadanya seolah terbakar, mungkin sudah hangus. Ia sengaja memasang chip pada belakang kepala ranjang Hesley agar bisa mendengar suara wanita itu. Itu tujuan awalnya. Tapi, ia malah dikejutkan oleh kenyataan yang cukup memukul relung hatinya. Leon. Tawa serta obrolan yang di dengar Shane seolah menampar dirinya jika sebenarnya Hesley tetaplah wanita ceria yang ia kenal dulu. Wajah dingin yang ia dapatkan dari wanita itu semua karena dirinya.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Flower Girl
RomanceKetika kamu kembali dipertemukan dengan cinta disaat hatimu telah lumpuh untuk merasakan rasa itu lagi. Memilih untuk meninggalkan negara tercinta lalu menetap di sebuah desa dan memutuskan mendirikan toko bunga serta mengolah lahan, justru memperte...