“Pergilah, kau dari sini!”
“Astaga, kepalaku pusing melihatmu setiap hari mondar mandir di depan toko!” usir Reyna frustasi.
“Aku tidak mengganggu aktifitasmu,” jawabnya datar.
Setelah mengatakan hal itu, Shane harus menggosok punggung susah payah. Meringis karena Reyna melempar kecil pada Shane.
“Coba mengerti diriku,”
“Tidak mau. Kau pikir kau siapa? Sampai aku harus mengerti dirimu!” potong Reyna cepat.
“Rey, aku pergi ke toko ujung sana. Guntingnya patah, aku akan menggantinya,” sela Zil sambil mengedipkan sebelah mata.
Untuk sejenak Reyna linglung. Karena guntingnya baru beli kemarin. Tapi ingat kembali kemana tujuan Zil. Sedikit gelagapan ia pun mengiyakan.
“Hei! Anda tuan bos, duduklah sana!” tunjuk Reyna.
“Aku tidak akan mengganggu toko ini, nona. Bahkan, sejak tadi aku juga menepi jika ada pembeli datang,” jawab Shane. Hatinya tidak karu-karuan saat ini. Gelisah tak menentu, berbagai dugaan tentang Hesley terus berputar.
“Terserah.” Putus Reyna. “Emm...tapi jika kau pingsan dan Hesley datang, aku tidak akan membangunkanmu.”
Mendengar ucapan Reyna sontak melotot kedua mata Shane. Menoleh cepat pada Retna yang menggosok ujung kuku santai.
“Kau benar.” Menjeda ucapannya. “Aku akan membeli makan di restoran sebelah, jika dia datang cepat panggil aku.” Imbuhnya.
“Ya, ya, ya..... pergilah!” malas pun jengah Reyna menjawab sambil mengibaskan satu tangannya.
Sejak kejadian satu minggu lalu, Shane dilanda gundah. Jangankan berbicara, melihat saja tidak. Bahkan, ia sampai membeli rumah yang berada tepat di belakang rumah Hesley karena salah satu kamar di lantai dua rumah itu menghadap langsung ke bagian rumah yang lebih sering Hesley pergunakan. Jendela dapur, kebun kecil, balkon tempat wanita itu bekerja atau santai, semua titik sudut bisa dilihat langsung dari kamar rumah itu.
Di tempat lain....
Kantong plastik juga paperbag memenuhi kedua tangan Zil. Ditentenglah barang banyak itu dengan langkah tergesa. Ah, tidak. Sedikit berlari lebih tepatnya. Sampai ditujuan ia segera menggedor pintu belakang. Agak lama pintu tak kunjung terbuka lantas Zil mengetuk lebih keras seperti ingin merobohkan.
“Iya, sebentar,” sahutan dari dalam rumah.
“Lama sekali kau ini!” kesal Zil ketika pintu itu akhirnya terbuka lebar.
Tanpa dipersilahkan Zil masuk begitu saja dan meletakkan semua di meja makan. Tanpa dipersilahkan juga, Zil membuka kulkas mencari sesuatu yang segar untuk membasahi tenggorokannya yang kering. Satu gelas besar jus buah ia ambil dan diminum hingga tandas.
“Segar sekali,” serunya lega.
“Ada banyak minuman, Mengapa kau mengambil yang itu?”
“Karena minuman lain membosankan. Sudahlah, tinggal buat lagi kan selesai,” jawab Zil tanpa dosa.
“Semua ini karena bos keparatmu itu. Hidupku seperti buronan,” marah Hesley sambil memukul lengan Zil menggunakan sisir rambut.
“Astaga, mengapa aku yang kau pukul?” seru Zil sambil mengusap lengannya.
“Lalu siapa?” malah bertanya.
“Selain galak kau juga aneh. Sebenarnya apa masalahmu dengan bosku,”
“Tidak ada. Semua yang dia inginkan telah aku berikan, sekarang dia kembali menggangguku dengan membeli rumah itu,” jawab Hesley. Kemudian menunjuk ke rumah belakang berlantai tiga.
“Dia menyukaimu, Sley...” ungkap Zil.
“Sejak dulu begitu. Aku lelah, benar-benar lelah.” Hesley menarik nafas dalam.
“Dia rela mempermainkan perasaanku hanya untuk pencapaiannya sendiri,” suara Hesley terdengar lebih santai kali ini. Tatapan kedua matanya tampak melihat jauh ke masa lampau.
“Bicarakan lagi dengannya, cari jalan keluar diantara kalian. Kau mau sampai kapan begini,” ucap Zil. Ia sandarkan tubuhnya pada meja makan yang terbuat dari keramik.
“Akan ku pikirkan,”
“Tidak perlu dipikirkan. Kau memang harus berbica dengannya agar masalah kalian selesai,”
“Masalahku dan dia telah usai. Tapi dia yang membuat panjang,” jawab Hesley. Ia menunduk lesu.
“Aku lelah, Zil. Lelah, selalu mempermainkan perasaanku hanya untuk keuntungan dia,” ungkap Hesley. Ia hapus titik air mata di sudut mata yang siap jatuh.
“Aku dan Reyna ada dipihakmu. kapan pun kau membutuhkan bantuan jangan ragu mengatakan pada kami,” ucap Zil sambil menepuk pelan pundak Hesley.
“Terima kasih,”
“Aku pergi. Jika kau ingin bicara dengannya, datanglah ke tokomu. Setiap hari dia ada disana,” ucap Zil.
Menaikkan sebelah alis, “bosmu itu seperti orang tidak punya pekerjaan saja,”
Zil tersenyum saja. Kemudian ia segera meninggalkan rumah Hesley sebelum diketahui Shane jika sahabatnya ini bersekutu dengan buronannya.
**
“Bagaimana keadaannya?” todong Reyna begitu Zil sampai. Tidak lewat depan, Zil lewat pintu samping.
Membungkam mulut Reyna sambil melihat Shane yang duduk di depan.“Pelankan suaramu,” bisik Zil.
“Lebih baik dari sebelumnya. Dia juga mulai kembali pada pekerjaannya,” sambungnya masih dengan suara pelan agar tidak terdengar oleh Shane.
Mentari telah berganti rembulan.Masih pada posisi sama, Satu hari berkeliling desa dan menjelajah ladang lalu kembali pulang mengamati rumah Hesley dari balkon kamar. Mondar mandir seperti setrika menimbang untuk mendatangi rumah wanita itu atau tidak. Perasaannya kuat ingin mendatangj, tapi ia takut membuat wanita itu tertekan. Terakhir kali pertemuannya cukup membuatnya sangat gelisah.
“Shane! Aku mau makan malam di luar, kau mau ikut?” tawar Zil. Masuk begitu saja karena kamar Shane terbuka lebar.
“Tidak,” singkat saja menjawab.
“Ingin ku pesankan makan malam?” tawar lagi.
“Pesankan saja,” jawab Shane dingin tak teralihkan pandangannya pada rumah Hesley.
Baru saja Zil berbalik meninggalkan kamar, Shane bersuara sehingga langkah Zil harus tertunda.
“Kau, makan malam dengan Reyna?” tanya Shane.
“Tentu. Tidak ada orang yang dekat denganku selain dia,”
“Suruh dia menyampaikan kepada Hesley, aku merindukannya.” Tanpa malu Shane menitipkan salam dari hatinya.
“oh. Okey,”
Zil segera melangkah pergi karena tak kuasa menahan tawa yang hampir saja ia semburkan di depan Shane. Wanita itu memang telah meracuni hati sahabatnya. Sungguh, ia semakin tertarik dengan kisah mereka masa lalu. Baru menyadari mengapa sahabatnya itu tidak pernah tertarik pada wanita lain, hatinya telah terbelenggu oleh satu wanita penjual bunga.
“Sialan! Lama sekali kau!” maki Hesley dari ujung gang.
“Santai, nona. Aku memastikan singa itu pada tempatnya,” jawab Zil setelah masuk ke dalam mobil yang dikemudikan oleh Hesley.
“oh, iya. Dia merindukanmu, itu pesannya. Sebenarnya menitipkan pada Reyna untuk menyampaikan kepadamu, tapi berhubung kau sendiri ada ya aku sampaikan langsung kepadamu,” imbuh Zil sambil memasang sabuk pengaman.
Hesley berdehem. Mengatur raut wajahnya agar tidak dicurigai jika berbeda. Bohong, jika ia tidak senang. Jauh dari lubuk hatinya masih ada nama pria itu. Hanya saja, ia timbun rapat agar tidak lagi berharap pada janji kosong. Bagaimanapun juga, Shane tetaplah pria pertama yang menumbuhkan rasa cinta kepadanya. Meski pria itu hanya memberi cinta kosong, tetap dialah yang pernah bertahta di hati.
“Aku ingin minum malam ini,” celetuk Hesley sambil menutup buku menu.
“Tumben. Kau tidak terbiasa minum, aku takut...”
“Kau hanya tau aku dua puluh persen saja,” potong Hesley.
“Kau! Jangan mabuk, karena kau yang akan mengemudi pulang.” Tujuk kepada Zil. Pria itu mengangguk saja.
Lima botol telah datang ke meja Hesley.Setelah selesai mengisi perut, ia mulai menuang wine ke dalan gelas. Diteguk hingga tandas, ia ulangi hingga puas.
Zil dan Reyna yang menemani hanya saling pandang saja, membiarkan wanita itu melakukan apa yang diinginkan. Mereka berdua belum tahu pasti apa yang pernah terjadi pada dua manusia yang di pertemukan di desa ini. Tapi, kurang lebih yang mereka berdua pahami adalah ada satu masalah yang belum terselesaikan. Tidak ada yang menghalangi karena biasanya, orang mabuk akan mengungkapkan sesak yang dialami tanpa sadar. Jahat? Tidak. Keduanya tidak ingin bertanya secara sadar karena takut membuat Hesley tidak nyaman akan pertanyaan sensitif. Lagi pula, setiap orang berhak membatasi privasi apa yang perlu disampaikan pada orang lain sekalipun itu orang terdekat.
“Jika Leon tahu dia mabuk, sudah pasti aku akan disemprot habis-habisan,” ucap Reyna setelah menelan camilan.
“Siapa Leon?” tanya Zil dengan suara datar dan tak suka.
“Sepupuku. Dialah orang paling dekat dengan Hesley,” jawabnya pelan.
“Mereka memiliki hubungan?”
“Tidak tahu pasti. Tapi kepeduliannya kepada Hesley cukup besar, apa pun dia pertaruhkan termasuk lavender yang memang sebenarnya perusahaannya membutuhkan.”
“Keuangan perusahaan Leon tak sebesar seperti milik bosmu, tapi demi Hesley dia rela membeli lavender di tempat lain yang jelas harga sedikit lebih mahal,” papar Reyna.
“Maafkan kami,” ucap Zil penuh rasa bersalah.
“Itu keputusan mereka, tidak perlu minta maaf.”

KAMU SEDANG MEMBACA
The Flower Girl
RomanceKetika kamu kembali dipertemukan dengan cinta disaat hatimu telah lumpuh untuk merasakan rasa itu lagi. Memilih untuk meninggalkan negara tercinta lalu menetap di sebuah desa dan memutuskan mendirikan toko bunga serta mengolah lahan, justru memperte...