Menembus gelapnya pagi berteman suara burung kecil yang mulai membangunkan. Wanita berambut panjang yang diikat satu berlari mengikuti jalan selebar satu meter di salah satu sudut desa. Jalan menuju ke bukit tepat di atas desa. Keringat mulai bercucuran karena jalan yang semakin menanjak. Sejenak ia membungkuk memegang lutut untuk mengatur nafas terengah, hanya beberapa menit lalu kembali mengayunkan kaki agar segera tiba tepat waktu. Nafasnya semakin berat pun sesak tapi tetap ia lanjutkan.
Sampailah di tanah bebas berselimut rumput hijau. Melangkah santai ke arah pohon rindang. Satu bangku panjang yang terbuat dari semen, ia daratkan bokongnya. Nafasnya masih tersengal pun sesak, menarik botol kecil berisi air mineral yang sengaja dibawa dari rumah. Ia tenggak hampir habis dan menyisakan sedikit untuk menyiram wajah. Setelahnya merebahkan tubuh menatap langit pagi yang belum sempurna terang.
“Tuhan. Mengapa kau masih mempertemukanku dengannya?” celetuknya sendiri.
“Kau juga tahu, jika aku tidak ingin lagi melihatnya. Semua hanya tentang imbal balik, bukan?” Hesley berbicara sendiri. Tidak, ia sedang mengadu pada penciptanya.
“Kenapa tidak ingin melihatku? Bisakah aku menebus semua dosaku?” celetuk seseorang dari samping.
Sontak kedua bola mata Hesley membulat sempurna. Sedikit mendongak lalu berguling dan duduk dengan tegak menghadap pria itu. Jantungnya berdebar kecang, ingin menghindar lari seolah kedua kaki membeku keras. Tatapannya terkunci pada sosok yang tidak tahu sejak kapan duduk di satu bangku bersamanya. Beberapa menit lalu ia datang tidak ada siapa pun di tempat ini.
“Kau!” itu saja yang keluar dari bibir Hesley.
Shane menggeser duduknya agar lebih dekat dengan Hesley. Hanya mengenakan celana pendek dengan kaos oblong tanpa lengan dan sepatu sport. Membuka kaos yang telah basah oleh keringat lalu ia gunakan menghapus sisa keringat di wajah turun ke leher lalu dada.
Segera mengalihkan wajah ke samping lalu diikuti memutar tubuhnya menghadap ke depan. Susah payah menelan ludahnya sendiri melihat betapa sexy tubuh Shane. Bahkan tangan seperti ingin meraba pahatan daging liat yang tersusun sangat rapi.
“Sampai kapan kau bersembunyi seperti ini? Kau tidak lelah?” tanya Shane datar.
“Aku tidak bersembunyi dari siapa pun,” jawab Hesley datar.
“Lalu, kemana kau selama tiga minggu? Kau tidak pulang ke rumah orang tuamu. Kau kembali setelah musim panen.” Shane memaparkan semua.
“Itu urusanku. Aku tidak terikat dengan siapa pun, dan aku bebas pergi kemana pun aku mau.”
“Kau pergi bersama Leon, buka?” sahut Shane cepat.
Hesley menoleh ke samping dan hanya tersenyum datar. Lalu ia berdiri meninggalkan Shane. Ia tidak mau terlibat apa pun dengan pria itu. Cukup kaget melihat pria itu ada di sini lagi. Sebelum pulang ia telah memastikan jika tidak ada kegiatan apa pun yang membuat pria itu kembali ke desa ini. Bahkan lavender juga sudah terkirim ke pabrik pria itu.
Shane berdecak. Lantas bangun dari tempatnya duduk melangkah lebar ke arah Hesley. Ia cekal lengan wanita itu lalu ditarik kuat, dipeluk erat wanita yang telah menghilang belasan tahun dari hidupnya.
“Ku mohon, jangan pergi.” Bisiknya pelan.
Bibir Hesley bergetar mendengar ucapan Shane. Mendadak isi otaknya melayang pada belasan tahun silam. Telapak tangan yang menempel pada dada Shane pun juga ikut bergetar. Tenggorokannya semakin tercekat dan sesak. Sekuat tenaga mendorong dada Shane hingga pelukkan itu terlepas. Ia angkat satu telapak tangan agar Shane tidak mendekat.
Tidak ada lagi yang bisa ditutupi gejolak dalam jiwa yang selama ini terpendam. Bersamaan dengan mentari yang menyorot mereka, Hesley menumpahkan air mata. Memeluk tubuhnya sendiri erat dan perlahan luruh ke tanah. Suara tangisnya syarat betapa ia menahan sakit selama ini. Saking beratnya, suara tangisan itu terputus-putus.
Shane tak beralih dari posisinya berdiri. Pandangan terfokus pada Hesley yang sangat jelas menumpahkan seluruh derita selama ini. Dirinyalah pelaku dari semua hal yang menyakitkan.
“Sley,” panggilnya pelan.
“Jangan sebut namaku!” teriak Hesley.
“Aku muak!” imbuhnya semakin menjerit.
Wanita itu terus menangis sambil menutup telinga dengan kedua telapak tangan. Meski suara tangisnya semakin mengecil dan terputus-putus, enggan untuk berhenti. Bara yang bertumpuk belasan tahun kini menguap membakar seluruh jiwa Hesley.
Tak tahan melihat wanita itu menangis sendiri, melangkah cepat lalu ikut menjatuhkan diri ke tanah. Kembali ia peluk erat meski wanita itu meronta, maraung hingga suaranya serak. Punggung Shane bergejolak ikut menangis. Ini memang salahnya yang terlalu egois tanpa memikirkan perasaan orang di sampingnya.
“Katakan, harus bagaimana aku menebus semua yang telah aku lakukan padamu?” Tanyanya serak tanpa melepas pelukkan.
“Pergi! Pergi dari hidupku!” usir Hesley. Ia masih meronta agar terlepas tapi tenaganya semakin melemah.
“Tidak. Jangan menyuruhku pergi, aku tidak sanggup.” Shane menggeleng cepat. Semakin erat pelukannya bahkan kini ia menangis semakin deras.
“Sakit,” lirih Hesley pelan.
Shane melerai pelukkan saat Hesley tak lagi meronta. Ia pandangi wajah sembab Hesley yang tak kunjung ingin mengakhiri tangisan meski suaranya putus-putus tersendat. Mencoba menghapus jejak air mata di wajah Hesley dengan tangan gemetar. Detik ini, hari ini, pertama kali melihat betapa rapuh dan tak berdaya seorang Hesley.
“Per-gilah! Ji-wa i-ni sa-ngat saa-kit....” susah payah Hesley mengungkapkan.
“Ku mohon, berikan aku satu kesempatan lagi,” lirih Shane. Kedua mata masih mengucurkan cairan bening pun menunduk.
Hesley menutup kedua mata dengan satu telapak tangan agar emosinya sedikit mereka. Beberapa menit kemudian, membuka lalu menghempaskan kedua tangan Shane yang berada di kedua pundak. Lantas ia bangun dan berlari meninggalkan tempat itu. Tidak mepedulikan teriakkan Shane, terus berlari sekencang mungkin. Memilih jalan berbeda dari awal datang ke tempat itu. Terus berlari sampai ia terjatuh, terguling dari tanjakkan yang cukup tinggi. Tapi, ia tetap bangun dan kembali berlari menjauh. Sepanjang jalan juga menghapus kasar lelehan cairan bening yang sialnya tak mau berhenti. Sesampainya di rumah, ia segera menutup mengunci seluruh akses masuk. Jatuh tak berdaya di depan pintu, tubuhnya lemah pun lelah hingga kedua kaki tak mampu menumpu tubuhnya. Masih menangis tanpa suara.
“Hesley!” teriak Shane di depan pintu rumah Hesley.
Di atas lantai itu Hesley mendengar semua kata maaf serta permohonan Shane. Susah payah menyeret tubuhnya menuju kamar. Ia benci tak berdaya seperti ini. Bahkan, tubuhnya sendiri tak cukup kuat menghadapi Shane.
Sesuatu yang sangat menyakitkan adalah saat menyadari perasaanmu tertinggal pada kisah lama. Cinta itu terbelenggu pada satu tempat yang tidak pernah bisa kau alihkan. Sedangkan cinta baru adalah sisa warna yang tidak sempat terurai.
Hesley Gretha
KAMU SEDANG MEMBACA
The Flower Girl
RomanceKetika kamu kembali dipertemukan dengan cinta disaat hatimu telah lumpuh untuk merasakan rasa itu lagi. Memilih untuk meninggalkan negara tercinta lalu menetap di sebuah desa dan memutuskan mendirikan toko bunga serta mengolah lahan, justru memperte...