Menyerahkan

7 2 0
                                    

“Sepertinya kau kurang sehat, pergilah istirahat.” Tegur Reyna.
Pasalnya sejak pagi memperhatikan Hesley memegangi kepala dan terlihat wajahnya pucat.

“Aku sehat. Sungguh,” ucap Hesley meyakinkan.

Meski Suaranya terdengar ceria dan kedua mata yang dipaksa terbuka lebar, namun tak merubah. Ia tak mengerti tentang sahabatnya itu, dirinya tahu dari mana Hesley berasal dan kedua orang tuanya bukan orang yang serba kekurangan.

“Aku tidak butuh alasan apapun darimu. Aku antar kau ke klinik, sekarang!”

“Aku sehat,” ucap Hesley memelas. Ia cekal lengan Reyna yang siap memakai helm.

“Kau butuh dokter.” Putus Reyna dengan wajah datar pun serius.

“Aku yang akan mengantarkannya!” Sahut seseorang dari ambang pintu.
Serempak kedua wanita itu menoleh ke asal suara. Serempak pula keduanya mendelik melihat siapa yang baru saja datang. Pria tampan dengan setelan formal tanpa jas berwarna hitam berdiri gagah.

“Leon!” teriak Hesley. Lantas ia menghampiri dengan langkah sedikit berlari. Saat jarak tidak terlalu jauh, ia melompat. Pria itu pun sigap menangkap tubuh kecil Hesley.

“Kau ini. Sama sekali tidak berubah,” dengus Leon.

“Kau sakit?” tanya Leon.
Hesley menarik diri tapi tidak turun dari gendongan. “Sepertinya demam,” jawabnya dengan nada melas pun manja.

“Menjijikkan sekali kalian ini,” Seru Reyna sambil merotasikan kedua bola mata jengah.

“Bawa dia ke dokter!” imbuh Reyna sedikit memerintah.

Leon menurunkan Hesley lalu memasangkan helm ke atas kepala wanita itu. Jarak ke klinik juga tidak terlalu jauh, menggunakan motor cukup.

Sepuluh menit setelah kepergian Hesley, Shane mendatangi toko. Hanya memakai pakaian casual. Masuk ke dalan toko tanpa permisi atau sekedar berseru ‘halo’.

“Dimana temanmu itu? Aku mendatangi rumahnya, semua pintu terkunci,” todong Shane tanpa basa basi.

“Tidak tahu.” Ketus tanpa memandang Shane. Pandangannya fokus pada layar macbook.

Shane menutup Macbook Reyna dengan kasar. Selama ini tidak ada satu orang pun yang mengabaikan pertanyaannya. Tapi, dua wanita bersahabat yang ia temui di kota menganggap dirinya angin. Hello, ia pemimpin perusahan besar yang selalu diberi hormat dan disegani seluruh sudut.

“Jawab dengan benar,” desis Shane geram.

Menyandarkan punggung pada sandaran kursi sambil menghembuskan nafas pelan. Wajahnya santai tanpa takut siapa yang ada di depannya.

“Aku sudah menjawab dengan benar Tuan,” jawab Reyna tenang. Membalas sorot tajam Shane.

Meski ia tahu, tidak akan ia katakan keberadaan Hesley saat ini. Terlebih, saat ini sahabatnya itu bersama Leon. Ia juga tidak tahu maksud pria yang ada di depannya apa. Mungkin pria ini menyukai sahabatnya atau terobsesi. Entahlah, ia hanya menebak dari ungkapan sahabatnya semalam. Sangat aneh bukan, saat sesuatu yang diinginkan ada yang lain bahkan kualitas lebih bagus tapi ditolak.

“Lupakan temanku, Tuan.”

Suara keras memenuhi ruangan persegi. Shane menggebrak meja sangat keras hingga membuat Reyna tersentak singkat.

“Kau tidak punya hak untuk mengaturku. Kau siapa? Kau hanya gadis desa penjaga toko bunga!” Ucap Shane dengan nada tinggi pun menunjuk wajah Reyna.

Tersenyum miring. Berdiri lalu menendang kursi ke belakang hingga membentur tembok. Reyna tatap tajam Shane dengan santai, namun jiwa terdalamnya sedang menyala.

“Tidak perlu anda jelaskan, saya tahu.”

“Jangan sampai, aku membuat bibirmu pecah,” desis Shane tajam.

“Silahkan!” tantang Reyna mendongakkan wajah.

“Shane!” teriak Zil dari ambang pintu.
Bergegas masuk lalu menarik kerah belakang baju Shane. Ia tarik dan menyeretnya keluar dari toko bunga. Zil hempaskan tubuh Shane sekuat mungkin, sampai Shane hampir tersungkur.

“Pantaskah, kau menunjuk seorang wanita dan mengatainya sesuka mulutmu!” marah Zil dengan suara cukup keras. Ia melupakan siapa yang ia sembur.

“Kau membela karena kau menyukainya?” sinis Shane.

“Iya. Aku tidak suka kau berlaku seperti tadi. Silahkan! Jika kau ingin memecatku!” jawab Zil cepat. Lantang, tegas pun penuh kesadaran.
Terkekeh rendah, “Mempertaruhkan karir demi seorang wanita,” ejek Shane.

Zil melempar map berisi data transaksi pembelian Lavender yang memang diinginkan Shane sejak menginjakkan kaki ke desa ini. Ia lempar pada wajah Shane.

“Hesley telah menyerahkan lavendernya kepadamu. Itu yang kau inginkan, bukan?”
Setelahnya mengatakan dan menyerahkan map, Zil berbalik meninggalkan Shane. Belum melangkahkan kaki, ia menoleh ke samping.

“Aku akan segera mengirimkan surat pengunduran diri,” imbuh Zil.
Shane terdiam menatap Zil yang masuk ke dalam toko bunga. Masih berdiri di luar toko sambil berkacak pinggang. Sekilas ia tersadar, lalu menyusul ke dalam toko bunga.

“Kau bertemu dimana?” sosor Shane. Tidak sadar apa yang ia lakukan baru saja kepada Zil.

Zil menyunggingkan senyum miring. Ini kah temannya, sekarang ia tahu betapa egois dan tidak pedulinya dia pada perasaan orang lain. Kedua bola matanya melirik ke segala arah mencari sesuatu.

“Untuk apa? Untuk apa kau menanyakan dia? Yang kau inginkan telah dia serahkan!” teriak Zil sambil mencekik batang leher Shane dan mendorongnya hingga membentur tembok.

“Kau menekannya sampai dia sakit! Kau tak manusiawi, Shane!” teriak Zil di depan wajah Shane. Kemudian melepaskan cekikan itu dengan kasar.

“Mengapa kau katakan jika Hesley ada di rumah?” marah Reyna mulai khawatir.

“Aku tidak mengatakan di rumah. Lagi pula temanmu itu sudah pergi,” jawab Zil. Lalu melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan.

“Dia sudah terbang,” imbuhnya.

“Huh! Maksudmu? Em- kau tahu dia pergi? Ma-maksudku dengan seseorang,” gugup Reyna hingga suaranya terbata.

Menaikkan sebelah alis, “seseorang? Dia pergi sendiri. Aku melihatnya dia memesan taksi dan masuk sendiri. Bahkan aku menunggu di gang siku satu jam sebelum datang kesini,” jelas Zil.

Seperti di siram air es di tengah terik mentari. Seketika hatinya lega. Entahlah, sepupu dan sahabatnya itu aneh dan selalu memiliki rencana di luar perkiraan.

“Lalu, mengapa bos gilamu tidak bertemu dengan Hesley?” kini Reyna yang bingung.

“Dia menyerahkan lavender terlebih dahulu sebelum aku bersuara. Saat kami ke rumah Hesley, tidak ada dia. Mungkin dia mencari ke lubang tikus,” jelas Zil. Sontak Reyna terbahak.
Begitu terlepas, Shane segera berlari ke rumah Hesley. Wajah tampannya terlihat sangat panik. Rambut yang selalu tertata rapi berantakkan. Dadanya kembang kempis memikirkan keadaan Hesley. Benarkan wanita itu tertekan hingga jatuh sakit? Langkah kakinya tak bisa ia tahan, terus berlari. Bibir serta kedua tangannya bergetar.

**

Tersenyum masam setelah membaca pesan dari Reyna. Menyimpan kembali ponsel ke dalam tas. Hesley menoleh ke samping saat tangan besar menggenggamnya.

“Maaf,” ucapnya pelan dengan suara parau. Bulir bening perlahan jatuh berlinang.

“Tidak apa, kedamaianmu jauh lebih penting dari pada lavender itu,” tutur Leon sambil menghapus air mata yang membasahi kedua pipi Hesley.

Mereka berdua telah berada di bangku pesawat menuju ke Italia. Sejak kembalinya dari klinik, ia tidak sengaja bertemu dengan Zil. Setelah mempertimbangkan dengan Leon, ia memutuskan untuk menyerahkan lavender itu kepada Shane. Ia pun juga menjelaskan apa yang terjadi antara dirinya dengan Shane di masa sebelumnya.

“Dia kembali muncul,” ucapnya pelan.
Leon segera menarik kepala Hesley. Ia tenggelamkan dalam pelukkan besarnya. Firasatnya tidak salah, sejak beberapa hari ia sangat gelisah. Lalu, kemarin malam hampir pagi Reyna mengirimkan pesan tentang keadaan Hesley. Tanpa berpikir panjang, ia tinggalkan semua urusan kantor lalu terbang pagi itu juga.

“Masih ada aku. Kau akan aman,” hibur Leon. Hesley mengangguk dalam pelukkan.

Sekilas Leon melirik jam yang melingkar di pergelangan tanganya. Menarik tubuh Hesley dan menatap wajah sayu sembab. Ia tarik dagu wanita itu dengan telunjuk agar tatapan mereka pun bertemu.

“Waktunya minum obat, makanlah sedikit. Kau harus sehat,” ucap Leon lembut.

“Lidahku pahit,” ungkap Hesley.

“Sedikit saja,” bujuk Leon.

“Kau memaksaku?”

“Memang harus dipaksa. Tidak mungkin aku membiarkan orang penyakitan berada di dekatku,”

“Hei. Aku ini hanya demam, tidak memiliki penyakit bahaya atau penyakit mematikan. Dokter sudah memeriksa detail,” bantah Hesley. Seketika memukul mukul bahu Leon. Sedangkan yang dipukul malah terbahak.

“Sudah puas memukulku?” tanya Leon setelah beberapa saat. Bahkan, nafas terengah Hesley masih kembang kempis.

“Menyebalkan.” Ketus sahutan Hesley.

The Flower GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang